10 Asas Dakwah Walisongo dalam Menyebarkan Agama Islam di Indonesia

10 Asas Dakwah Walisongo dalam Menyebarkan Agama Islam di Indonesia

PeciHitam.org – Para wali dapat menampilkan agama Islam yang sejuk, Islam toleran dan moderat di tengah-tengah masyarakat, mereka dapat mengakulturasi antara agama dan kultur lokal, dengan tidak mengorbankan prinsip-prinsip agama yang pasti petunjuknya (qat’iy al-dalalah).

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Walisongo dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya mempergunakan cara yang elegan, tidak mempergunakan pendekatan black and white atau halal dan haram apalagi kekerasan. Dalam praktek dakwahnya, walisongo amat mengapresiasi budaya lokal yang sudah ada di wilayah tersebut.

Dalam buku Tasawuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Sri Mulyati menjelaskan bahwa dalam menyiarkan agama Islam Walisongo tidak berpidato atau ceramah di depan umum seperti yang berlaku dengan penyiaran agama sekarang ini. Namun dalam halaqah-halaqah yang terbatas.

Kegiatan halaqah ini sebagian besar dilakukan secara rahasia, berhadap-hadapan langsung, yang selanjutnya ditransmisikan dari mulut ke mulut. Barulah saat pengikutnya mulai bertambah banyak, diadakan tabligh-tabligh di dalam rumah-rumah perguruan, yang disebut madrasah atau pondok.

Dalam buku Dakwah Sunan Kalijaga karya Purwadi, dijelaskan bahwa para wali menunjukkan jalan atau alternatif baru dengan tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal serta mudah ditangkap oleh orang awam karena pendekatan-pendekatan Walisongo yang kongkret, realistis dan tidak njlimet (rumit) dan menyatu dengan kehidupan masyarakat (model of development from within).

Baca Juga:  Kontekstualisasi Ajaran-Ajaran Islam Walisongo dalam Masyarakat Jawa

Wali Songo dapat memperlihatkan kesantunan ajaran Islam disertai perilaku-perilaku yang ramah dan meneduhkan. Islam didakwahkan kepada masyarakat melalui ruang-ruang dialog, majelis taklim, pagelaran seni dan sastra, serta aktivitas-aktivitas budaya lainnya yang jauh dari unsur paksaan dan nuansa konfrontasi.

Cara seperti ini nyatanya mampu menampilakan wajah Islam sehingga memiliki daya tarik yang luar biasa bagi penduduk pribumi. Bahkan pengaruhnya ini sampai merambah ke jantung kerajaan pada masa tersebut.

Oleh karena itu, tidak heran jika dalam waktu yang begitu singkat, ajaran agama Islam berkembang pesat di Nusantara. Bahkan sampai saat ini dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia.

Tercermin dalam sebutannya, Walisongo memiliki 9 wali yang masing-masing tokoh memiliki peran yang berbeda dalam menyebarkan agama Islam. Syaikh Maulana Malik Ibrahim berperan sebagai tabib bagi kerajaan Hindu Majapahit, Sunan Kalijaga berperan sebagai seniman yang mampu menciptakan karya kesenian bernuansa Islami yang mengadopsi kesenian Hindu dan Buddha yang dulu dianut oleh masyarakat Jawa.

Sunan Ampel mempunyai strategi yang sangat efektif yaitu, pertama, pembauran dengan masyarakat akar rumput yang merupakan titik sentral dari sasaran dakwahnya. Selain itu ia berhasil menyejajarkan kaum Muslimin dan kaum elit Majapahit. Kedua, Pendekatan intelektual dengan memberikan pemahaman logis. Metode ini ditempuh ketika menghadapi cerdik-cendikia.

Baca Juga:  Pengaruh Walisongo Terhadap Munculnya Tradisi-tradisi di Pulau Jawa

Walisongo dalam berdakwah mempergunakan 10 asas yaitu:

Pertama, Sugih tanpa bondo artinya kebahagiaan itu tidak tergantung pada harta, dakwah tidak tergantung pada harta, tetapi kebahagiaan itu terletak pada ketenangan jiwa.

Kedua, Nglurug tanpa bolo artinya keberhasilan dakwah itu tidak bergantung kepada sedikit-banyaknya jumlah akan tetapi keberhasilan adalah pertolongan dari Allah.

Ketiga, Menang tanpa ngasorake artinya dalam berdakwah seorang da’i tidak boleh menganggap rendah mad’u-nya, semua manusia sederajat di hadapan Allah.

Keempat, Mulyo tanpa punggawa artinya bukan karena pengikut yang banyak, kemuliaan itu ada. Melainkan karena keimanan dan amal perbuatan seseorang.

Kelima, Mletik tanpa Sutang artinya mereka berkeyakinan penuh bahwa pertolongan Allah dalam berdakwah ke seluruh penjuru alam selalu menyelimutinya.

Keenam, Mabur tanpa lar artinya dakwah yang dilakukan dengan cara mendatangi umat tanpa mengharapkan balasan.

Ketujuh, Digdaya tanpa aji-aji artinya mereka terus berjuang dan tegar dalam menghadapi setiap tantangan dakwah, baik itu secara fisik maupun mental.

Baca Juga:  Asal-Usul dan Nasab Sunan Giri; Cucu Raja Blambangan dan Anak dari Maulana Ishak

Kedelapan, Menang tanpa tanding artinya dakwah yang dilakukan dengan metode hikmah, atau dengan cara-cara dan nasehat yang baik, santun dalam tiap dakwahnya.

Kesembilan, Kuncoro tanpa woro-woro artinya dakwah yang dilakukan secara istiqamah (terus-menerus) menemui umatnya meskipun tanpa diumumkan (dipamerkan).

Kesepuluh, Kalimasada senjatane artinya kalimasada (kalimat syahadat) senantiasa ditegakkan dalam berdakwah kemanapun.

Demikian 10 asas dakwah Walisongo dalam menyebarkan agama Islam di Nusantara ini. Keberhasilan dakwahnya yang tergolong dalam waktu singkat mampu mengislamkan hampir sebagian besar wilayah Jawa tersebut memang tidak dapat terlepaskan dari 10 asas dakwah walisongo di atas. Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq