Meneladani Zuhud Tingkat Langit Abu Bakar As Siddiq

abu bakar as siddiq

Pecihitam.org – Abu Bakar As-Siddiq dinobatkan sebagai orang terbaik dari kalangan umat Rasulullah Saw. Rasulullah Saw juga menobatkannya khalil atau kekasih terdekat bagi beliau. Faktor utamanya bukan karena banyaknya amal yang beliau lakukan, tapi karena totalitas hatinya. Hatinya serba total untuk Allah dan Rasul-Nya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pada saat Rasulullah Saw mengumumkan agar kaum Muslimin menyumbangkan harta mereka untuk dana perang melawan Romawi di Tabuk, Abu Bakar As-Siddiq membawa seluruh hartanya kepada Rasulullah Saw.

Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?” tanya Rasulullah kepada Abu Bakar. “Allah dan Rasul-Nya” jawab Abu Bakar tanpa keraguan sedikitpun.

Inilah totalitas hati Abu Bakar; “Orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati tak menyisakan apapun melainkan apa yang ia cintai”, demikian komentar Imam Ghazali tentang kisah beliau ini.

Totalitas hati itu membawa Abu Bakar As-Siddiq menjadi orang yang paling makrifat kepada Allah diantara umat Rasul yang lain.

Abu Bakar As-Siddiq mengorbankan segalanya untuk Allah dan Rasulullah. Hingga, hidupnya begitu miskin setelah mengucapkan ikrar Islam di hadapan Rasulullah Saw. Padahal, sebelumnya Abu Bakar saudagar yang disegani di Quraisy.

Setiap malam jumat, usai shalat Isya’, tubuh yang dibalut jubah kasar itu duduk berdzikir. Kepalanya menunduk sangat rendah sampai menyentuh lutut. Begitu khusyuk dan khidmat, tak sedikitpun bergerak untuk mendongak.

Menjelang fajar terbit, kepalanya baru diangkat, menghela nafas yang panjang dan tersendat-sendat. Kontan, aroma di ruangan itu berubah dan tercium bau hati yang terpanggang.

Itulah ibadah khusus Abu Bakar yang diceritakan oleh istri beliau setelah mendapat permintaan dari Umar bin Khattab. Umar menitikkan air mata, terharu mendengar cerita dari istri pendahulunya itu.

Baca Juga:  Meski di Rumah Aja, Ini 7 Ibadah di Bulan Ramadhan yang Bisa Kita Lakukan

“Bagaimana mungkin putra al-Khattab bisa memiliki hati yang terpanggang,” desahnya. Hati yang terbakar oleh rasa takut melihat kebesaran Allah, terbakar oleh rasa cinta karena memandang keindahan Allah, juga terbakar oleh harapan yang memuncak akan belas kasih Allah.

Abdullah bin Umar bercerita: Suatu ketika Rasulullah duduk. Disamping beliau ada Abu Bakar As-Siddiq memakai jubah kasar, di bagian dadanya ditutupi dengan tambalan. Malaikat Jibril turun menemui Rasulullah dan menyampaikan salam Allah kepada Abu Bakar.

“Hai Rasulullah, kenapa aku lihat Abu Bakar memakai jubah kasar dengan tambalan penutup di bagian dadanya?” tanya Malaikat Jibril. “Ia telah menginfakkan hartanya untukku sebelum Penaklukan Mekkah”.

“Sampaikan kepadanya salam dari Allah dan sampaikan kepadanya: Tuhanmu bertanya: Apakah engkau rela dengan kefakiranmu ini ataukah tidak rela?”

Rasulullah menoleh kepada Abu Bakar. “Hai Abu Bakar, ini Jibril menyampaikan salam dari Allah kepadamu, dan Allah bertanya: Apakah engkau rela dengan kefakiranmu ini ataukah tidak rela?”

Abu Bakar menangis: “Apakah aku akan murka kepada takdir Tuhanku? (Tidak!) Aku ridha dengan takdir Tuhanku, Aku ridha akan takdir Tuhanku”.

Semua miliknya habis untuk Allah dan Rasulullah. Inilah totalitas cinta. Cinta yang mengorbankan segalanya untuk Sang Kekasih, tak menyisakan apa-apa lagi selain Dia di hatinya.

“Orang yang merasakan kemurnian cinta kepada Allah, maka cinta itu akan membuatnya berpaling dari pencarian terhadap dunia dan membuatnya merasa tidak asyik bersama dengan segenap manusia”.

Baca Juga:  Adab Buang Air dalam Islam Menurut Imam Al-Ghazali

Demikian untaian kalimat tentang tasawuf cinta yang pernah terucap dari mulut mulia Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq.

Oleh karena itu, Abu Bakar memilih zuhud sebagai jalan hidup utama beliau. dunia bukanlah fasilitas yang hendak dinikmati, tapi godaan yang harus dihindari.

Faktor utama yang menyebabkan manusia lupa dan mendurhakai terhadap Allah adalah kesukaan dan kegilaannya terhadap hal-hal duniawi. Karena kegilaan terhadap duniawi merupakan sumber dan induk dari segala kesalahan yang dilakukan manusia.

Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq pernah menangis hanya karena merasakan nikmatnya minuman yang terbuat dari campuran madu dan air. Seteguk minuman itu disuguhkan pada saat beliau benar-benar dahaga.

Kenikmatan di dunia adalah godaan, bila manusia mengejarnya maka maka ia akan menjadi budak dunia. Oleh karena itu, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq menangis sampai beberapa kali karena merasakan kenikmatan tersebut.

Para Sahabat heran. “Engkau menangis sedemikian rupa hanya karena seteguk minuman ini?”

“Iya. Aku pernah berduaan dengan Rasulullah. Di rumah itu tak ada orang lagi selain aku. Tiba-tiba beliau melakukan penolakan keras seraya bersabda: ‘Enyahlah diriku!

Aku bertanya: “Demi ayah dan ibuku, aku tak melihat orang lagi disini. Siapa yang engkau maksud?”

Rasulullah menjawab, “Ini dunia. Ia mendekatkan leher dan kepalanya kepadaku dan berkata: ‘Hai Muhammad, ambillah aku!’ Maka aku jawab: ‘Enyahlah dariku!’ Lalu ia menjawab: ‘Jika engkau selamat dariku, maka orang setelahmu tidak akan selamat dariku”.

Baca Juga:  Meneladani Toleransi Beragama dalam Islam dari Rasulullah

Kezuhudan adalah mata rantai dari totalitas hati beliau terhadap Allah dan Rasul-Nya. Seperti pula sifat wara’nya yang luar biasa, bukan sekadar watak yang lahir secara alamiah, tapi didorong oleh kemantapan penuhnya terhadap apapun yang datang dari Rasulullah Saw.

Konon, dengan sangat bersusah payah, Abu Bakar berupaya memuntahkan seluruh isi perutnya ketika tahu bahwa sesuap makanan yang beliau dapatkan dari budaknya adalah makanan haram atau syubhat.

“Semoga Allah merahmati engkau. Engkau lakukan semua ini hanya gara-gara sesuap makanan itu?” tanya orang-orang heran.

“Demi Allah, seandainya makanan itu tidak mau keluar kecuali dengan keluarnya nyawaku, maka akan aku keluarkan nyawaku. Karena, Rasulullah Saw telah bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih utama untuknya“.

Disinilah letak keunggulan Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq. Dengan keistimewaan hati, beliau menjadi manusia yang paling berhak menyandang gelar ash-Shiddiq yaitu orang yang memiliki kemantapan iman sejati setelah para rasul dan para nabi.

Sesuatu yang tersembunyi di hati memang merupakan kesejatian yang paling hakiki dari keseluruhan unsur rohani-jasmani manusia.

Sumber: Menjadi Sufi Berduit. Sidogiri