Abu Hasan al Syadzili dan Berdirinya Tarekat Syadziliyah (Bagian 1)

abu hasan al-syadzili

Pecihitam.org – Nama pendiri Tarekat Syadziliyah adalah Abu al-Hasan al-Syadzili ‘Ali bin ‘Abdillah bin ‘Abd al-Jabbar al-Syadzili. Beliau lahir pada tahun 593 H/1197 M di Ghamarah. Lokasinya tidak jauh dari kota Saptah, negeri Maghrib, Maroko, Afrika Utara.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Daerah Maghribi merupakan satu bagian wilayah dunia Islam yang mempertahankan semangat spiritual, meskipun pada akhir separuh abad ke-13 H./19 M. Abu al-Hasan al-Syadzili adalah ke-22 dari Rasulullah Saw. Urutannya adalah sebagai berikut:

(1)Rasulillah Saw., (2)Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib dan Fathimah al-Zahra’, (3)Sayyidina Hasan, (4)Hasan al-Muthanna, (5)‘Abdullah, (6)Idris, (7)‘Umar, (8)Idris, (9)‘Isa, (10)Muhammad, (11)Ahmad, (12)‘Ali, (13)Bathal, (14)Wardi, (15)Yusya’, (16)Yusuf, (17)Qushayy, (18)Khatim, (19)Hurmuz, (20)Tamim, (21)‘Abd al-Jabbar, (22)‘Abdullah. (al-Mafakhir al-Aliyah fi al-Ma’atsir al-Syadziliyyah, halaman: 11)

Sejak kecil Abu al-Hasan al-Syadzili biasa dipanggil dengan nama ‘Ali, dan dikenal sebagai orang yang punya akhlak sangat mulia. al-Syadzili punya cita-citanya tinggi dan luhur, dan juga tergolong orang yang memiliki kegemaran menuntut ilmu.

Di tempat kelahirannya al-Syadzili mendapat pendidikan akhlak dan ilmu agama lainnya di bawah bimbingan langsung ayah-bundanya. Pada usia yang masih muda itu al-Syadzili juga sudah menghafal Alquran serta menekuni banyak hadits Nabi Muhammad Saw.

Karena berlatar keluarga yang berkecukupan, sejak usia kanak-kanak al-Syadzili sudah terbiasa mengenakan pakaian yang indah, bersih, dan rapi. Namun, dalam hal makan dan minum al-Syadzili lebih gemar dengan kesederhanaan.

Itu sebabnya nilai-nilai keshalehan, ketakwaan, dan kebajikan sebagai seorang calon pemimpin umat yang agung, panutan bagi kaum muslimin, dan imam bagi para muttaqin, sudah tergambarkan dari kepribadian dan perilakunya beliau masih usia kanak-kanak.

Baca Juga:  Wara', Suatu Maqam yang Harus Dilalui Oleh Seorang Pengamal Tasawuf

Mencari Ilmu ke Tunisia

Pada tahun 599 H./1202 M al-Syadzili hijrah ke Tunisia (sekarang ibu kota Tunisia, Afrika Utara). Selain untuk mencari ilmu juga untuk menggapai cita-cita luhurnya menjadi orang yang memiliki kedekatan dan derajat kemuliaan di sisi Allah Swt.

Di Tunisi inilah Abu Hasan al-Syadzili pernah didatangi oleh Nabi Khidhir As. yang mengabarkan bahwa al-Syadzili akan diangkat menjadi wali agung. Kabar ini lalu ia utarakan kepada salah satu gurunya, Syaikh Abi Sa’id al-Baji (w. 628 H) ulama’ besar Tunis saat itu.

Al-Syadzili tinggal bersama Syaikh Abi Sa‘id kurang lebih 19 tahun untuk menimba berbagai cabang ilmu agama, di antaranya Alquran, Hadis, fiqh, akhlak, tauhid, beserta ilmu-ilmu alat.

Bersama Syaikh Abi Sa‘id, al-Syadzili berkali-kali menunaikan ibadah haji, dan bersamaan dengan ibadah haji itu pula al-Syadzili banyak menimba ilmu dari berbagai ulama’ di Makkah yang datang dari segala penjuru dunia.

Walaupun sudah banyak menimba ilmu, al-Syadzili merasa bahwa ilmu yang didapat dirasa hanyalah kulitnya saja belum isinya, sehingga al-Syadzili memutuskan untuk menyelami kedalaman hakikat agar bisa mencapai ma‘rifat.

Tempat pertama yang dituju oleh al-Syadzili adalah kota Makkah yang merupakan pusat peradaban Islam dan tempat berhimpunnya para ulama’ dan shalihin. Namun setelah berbulan-bulan tinggal di Makkah, al-Syadzili belum juga berhasil menemukan orang yang dimaksud.

Baca Juga:  Gerakan Kaum Sufi dalam Melawan Penjajah Kolonial

Sampai akhirnya pada suatu saat al-Syadzili memperoleh kabar dari beberapa ulama’ di Makkah bahwa Sang Wali Quthub yang dicarinya itu kemungkinan ada di negeri Iraq yang berjarak ratusan kilometer dari kota Makkah.

Sesampainya di Iraq, segeralah al-Syadzili bertanya ke sana-sini kepada setiap ulama’ dan masyayikh yang berhasil ditemui tentang seorang Wali Quthub yang ia cari. Akan tetapi, mereka semua berkata tidak mengetahui keberadaan seorang Wali Quthub di negeri tersebut.

Akhirnya, al-Syadzili mendengar adanya seorang ulama yang merupakan seorang pemimpin tarekat Rifa‘iyah yaitu al-Syaikh al-Shalih Abu al-Fatah al-Wasithi ra. Syaikh Abu al-Fatah merupakan sosok yang memiliki pengaruh dan pengikut cukup besar di Iraq pada waktu itu.

Segeralah al-Syadzili menemui Syaikh Abu al-Fatah dan mengemukakan bahwa ia sedang mencari seorang Wali Quthub yang akan diminta kesediaannya untuk menjadi pembimbing dan pemandu perjalanan ruhaninya menuju Ma’rifatullah.

Mendengar penuturan al-Syadzili, al-Syaikh Abu al-Fatah sembari tersenyum lalu berkata,

“Wahai anak muda, Engkau mencari Quthub jauh-jauh sampai ke sini, padahal orang yang Engkau cari sebenarnya berada di negeri asalmu sendiri. Dia adalah seorang Quthub al-Zaman nan Agung pada saat ini. Sekarang pulanglah Engkau ke Maghrib (Maroko) daripada bersusah payah berkeliling mencari di negeri ini. Pada saat ini dia sedang berada di tempat khalwatnya, di sebuah gua di puncak gunung. Temuilah yang Engkau cari di sana”.

Setelah mendapat nasehat dari Syaikh Abu al-Fatah al-Wasithi, al-Syadzili segera mohon diri sekaligus minta do‘a restu agar ia bisa segera bertemu dengan sang Quthub yang sedang dicarinya.

Baca Juga:  Tasawuf dan Fiqh, Dua Ilmu yang Melahirkan Hakikat Kebenaran

Sesampainya di Maroko, al-Syadzili langsung menuju ke desa Ghamarah, tempat ia dilahirkan. Beliau bertanya kepada para penduduk setempat maupun setiap pendatang dan hampir setiap orang yang al-Syadzili temui selalu ditanyai tentang keberadaan sang Quthub.

Setelah sekian lama mencari didapatlah keterangan bahwa wali yang dimaksud oleh Syaikh Abu al-Fatah tiada lain adalah Sayyid Syaikh al-Shalih al-Quthub al-Ghauts al-Syarif Abu Muhammad ‘Abd. al-Salam bin Masyisyi al-Hasani (w. 625 H./1228M.).

Sang Wali Qutub tersebut pada saat itu sedang berada di tempat pertapaannya, di sebuah gua yang terletak di puncak sebuah gunung di padang Barbathah. Demi bertemu dengannya, segera saja al-Syadzili menuju ke tempat yang ditunjukkan itu.

Bersambung … ke bagian 2

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik