Adakah Konsep Wahdatul Wujud Dalam Al-Quran? Ini Penjelasannya

Adakah Konsep Wahdatul Wujud Dalam Al-Quran Ini Penjelasannya

PeciHitam.org – Pandangan Wahdatul Wujud sebenarnya telah ada jauh sebelum Ibn ‘Arabî. Bahkan pandangan tersebut dipegang oleh keempat sahabat Nabi Muhammad yang paling utama, hanya saja Wahdatul Wujud menjadi lebih sistematis dan terkenal sejak masa Ibn ‘Arabî. Sebagian kalangan meyakini ajaran Mansûr al-Hallaj, Junayd al-Baghdâdî, Bâyazîd al-Bistâmî juga termasuk dalam kategori Wahdatul Wujud.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Namun karena kosakata dan gramatika yang digunakan belum secanggih yang dimiliki Ibn ‘Arabî, sebab itulah sebagian kalangan lain tidak memasukkan ajaran-ajaran mereka sebagai bagian dari wahdat al-wujûd. Istilah yang digunakan yaitu ‘ittihâd’ dan ‘hulûl’. Padahal makna ittihâd’ dan ‘hulûl’ tidak berlaku dalam wahdat al-wujûd karena kedua terma tersebut masih meniscayakan komposit dalam wujûd.

Berbeda dengan pengertian wahdat al-wujûd, ittihâd dan hulûl merupakan dua ajaran yang masih meniscayakan adanya dualitas, sementara wahdat al-wujûd hanya meyakini ada satu wujud. Meskipun demikian, penganut wahdat al-wujûd sebelum Ibn ‘Arabî, seperti Bâyazîd al-Bistâmî dan Junayd al-Baghdâdî terpaksa memakai istilah ittihâd dan hulûl karena mereka belum memiliki perangkat bahasa yang memadai dalam mengkomunikasikan kashf (penyingkapan) yang mereka alami. Dalam hal ini, Ibn ‘Arabî berhutang kepada Ibn Sina.

Di Nusantara, konsep wahdat al-wujûd diajarkan oleh Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Syaikh Maldin dan Sayful Rijal. Syamsuddin al-Sumatrani secara konsisten mengikuti ajaran wahdat al-wujûd. Dia mengajarkan paham tersebut dengan skema martabat tujuh sebagaimana diajarkan Muhammad Fadhullah Burhanpuri. Martabat tersebut adalah ahadîyah, wahdat, wahîdîyah, ‘âlam arwâh, ‘âlam mithâl, ‘âlam ajsâm dan ‘âlam insân.

Baca Juga:  Perbedaan Wahdatul Wujud dan Wahdatul Syuhud dalam Tasawuf

Dalam ajaran wahdat al-wujûd, keberagaman makhluk ini seperti cahaya yang dihasilkan dari pantulan prisma. Sumber cahayanya satu dan hasilnya beragam. Keberagaman ini hanya sebagai proyeksi mental, bukan berarti menjadikan sumbernya banyak.

Dengan demikian, perubahan-perubahan yang terjadi pada segenap mawjûdât tidak berarti menunjukkan ada perubahan pada Allah Ta‘ala sebagai sumber, beragam bentuk mawjûdât ini merupakan hasil pantulan dari ‘cahaya’ yang satu.

Memang tidak ada ayat-ayat Al-Quran yang secara eksplisit membahas tentang wahdat al-wujûd. Bahkan kata ‘wujûd’ saja tidak ada dalam Al-Quran. Secara terminologis, ‘wujûd’ berasal dari kata ‘wujida’ yang berarti ‘ditemukan’. Wujûd dalam arti ‘ditemukan’, erat kaitannya dengan diskursus pengetahuan (epistemologi), karena pengetahuan sebenarnya sudah ada dalam diri manusia.

Berikut ini merupakan ayat Al-Quran yang dalam makna batinnya sejalan dengan konsep wahdat al-wujûd, yaitu dalam firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 186:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Baca Juga:  Ketika Manusia Mempertuhankan Ibadah

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Maksudnya, Allah dekat dengan makhluk karena sebenarnya pada eksistensi makhluk seluruhnya adalah kehadiran Allah. Makhluk tidak memiliki daya apapun. Segalanya adalah dari Allah. Dia meliputi segala sesuatu, menjadi makhluk hanya dalam status mental, nama-nama dan sifat saja. Eksistensi makhluk persis seperti eksistensi bayangan.

Syamsuddin al-Sumatrani menganjurkan agar menjauhkan diri dari ketertarikan duniawi, mengendalikan hawa nafsu, dan terus-menerus mendekatkan diri dengan Allah, “Agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. Dia juga menganjurkan agar manusia berusaha menuntut ilmu makrifat agar dapat menjadi ahl Allâh.

Begitu juga dalam Surah an-Nisa’ ayat 126, yang berbunyi:

وَلِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُحِيطًا

“Kepunyaan Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu.”

Semua tunduk pada kuasa-Nya. Allah meliputi segala sesuatu, karena “segala sesuatu” yang beragam itu sebenarnya tidak memiliki eksistensi mandiri. Segala sesuatu selain Allah secara mutlak wujudnya bergantung kepada Allah. Segala keberagaman itu sebenarnya hanya proyeksi mental manusia. Persis seperti sebuah cahaya yang menghantam prisma. Lalu prisma memancarkan beraneka ragam cahaya.

Baca Juga:  Mengekang Nafsu Menurut Syaikh Abdus Shamad Al-Falimbani

Keanekaragaman itulah yang diumpamakan dengan alam, secara bentuk dia ada, tetapi hakikatnya tiada. Sebagaimana pandangan Syamsuddin al-Sumatrani, “Sungguhpun segala makhluk namanya berlain-lainan dan Allah pun nama￾Nya lain, tetapi pada hakikatnya esa jua.”

Syamsuddin al-Sumatrani menganjurkan untuk memahami hakikat realitas bahwa ia hanya satu wujûd. Katanya, “Barang siapa ada ia mengesakan yang zahir dengan yang batin itu, niscaya diperolehnyalah kesudah-sudahan makrifat Allah yang sempurna itu.”

Mohammad Mufid Muwaffaq