Adakah Nilai Kebenaran dalam Tafsir al-Quran? Pahami Teori Berikut Untuk Memahaminya

Adakah Nilai Kebenaran dalam Tafsir al-Quran? Pahami Teori Berikut Untuk Memahaminya

PeciHitam.org – Dibalik penafsiran, mufasir memiliki pandangan dan ketentuan-ketentuan yang sedikit banyak mempengaruhi aktifitasnya dalam menggali kandungan al-Quran. Misalnya, pemilahan para mufasir terhadap ayat-ayat qat’i mengindikasikan bahwa mereka tidak menabrak batas wilayah yang dilarang oleh ketentuan syariat, karena perselisihan mereka hanya pada ayat-ayat dhanni.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Begitu juga dengan adanya ayat muhkamat dan mutasyabihat, mengindikasikan tidak semua ayat al-Quran dapat digali melalui ra’yu. Ini merupakan kesadaran para mufasir terhadap peran akal yang terbatas, sekalipun al-Zamakhsyari dan Abduh mempunyai keyakinan bahwa akal mampu menyingkap segala hal.

Bahkan, al-Thabathaba’i dan Syahrur menyatakan semua ayat al-Quran termasuk ayat mutasyabihat dapat diketahui akal manusia.

Walaupun demikian, al-Thabathaba’i masih menyerahkan pemaknaannya kepada Allah, karena ia memandang ayat itu sebagai isyarat Allah kepada Nabi yang tidak pernah diketahui maknanya oleh orang lain.

Sementara Syahrur masih menunggu kemungkinan tersingkapnya ayat mutasyabihat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Ini artinya, semua mufasir memandang bahwa ayat mutasyabihat merupakan ayat yang tidak diketahui maknanya. Lalu, bagaimana nilai kebenaran dalam tafsir al-Quran itu?

Kebenaran merupakan nilai sebuah perbuatan dan pemikiran yang telah mendapatkan justifikasi sah dari al-Quran dan hadis serta tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah yang dijadikan sebagai hujjah. Dalam konteks tafsir al-Quran, kebenaran penafsiran suatu ayat tidak boleh bertentangan dengan ayat lain, hadis sahih serta dapat diterima akal sehat.

Baca Juga:  Tafsir Surah Al Baqarah Ayat 158-162 dan Terjemahannya

Penafsiran yang membawa pertentangan dengan ayat lain akan mengakibatkan kebenaran absolut al-Quran ternodai. Oleh karena itu, jika hasil penafsiran salah, dapat dipastikan itu merupakan akumulasi dari ketidakmampuan mufasir dalam memahami maksud al-Quran.

Ini sama halnya dengan penafsiran yang bertentangan dengan hadis sahih akan berimplikasi pada runtuhnya otoritas risalah Nabi Muhammad, sebab segala sesuatu yang keluar dari Nabi dituntun oleh wahyu. Penafsiran al-Quran pun tidak boleh bertentangan dengan akal sehat, karena prinsip-prinsip logis akal merupakan sunatullah, yang sama-sama sempurna kerangka alurnya sebagaimana al-Quran.

Meski standar ini terpenuhi, penilaian kebenaran penafsiran tidak dapat begitu saja disepakati, sebab tolak ukur kebenaran tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang. Tafsir dalam kapasitasnya sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, secara epistemologi mempunyai beberapa teori yang bisa dijadikan standar nilai kebenarannya, yakni teori koherensi, teori korespondensi, dan teori pragmatisme.

Teori Koherensi

Teori koherensi menilai suatu penafsiran dianggap benar apabila terdapat konsistensi logis filosofis antara proposisi-proposisi yang dinyatakannya. Bagian-bagian proposisi yang digunakan dalam sebuah penafsiran tidak terjadi pertentangan antara satu sama lainnya, sehingga proposisi-proposisi tersebut sampai kepada suatu kesimpulan logis yang dapat diterima oleh akal sehat lantaran sesuai dengan proposisi yang dibangun sebelumnya.

Baca Juga:  Jangan Baca Kitab Kuning Sebelum Paham Rumus dan Istilahnya!

Teori Korespondensi

Teori korespondensi menitikberatkan kebenaran penafsiran, jika sesuai dengan kenyataan empiris. Artinya, selain mempertimbangkan validitas pada tataran idealis metafisis, teori ini juga harus melihat realitas empiris yang sesuai dengan ilmu pengetahuan. Selain itu, cakupan penerapannya hanya pada ayat-ayat yang berkaitan dengan realitas ilmiah.

Teori Pragmatisme

Kedua teori diatas berbeda dengan teori pragmatisme yang mengukur kesahihan penafsiran dengan mendasarkan kepada asas fungsi dalam menawarkan alternatif solusi terhadap persoalan realitas. Konsekuensinya, apabila suatu penafsiran tidak dapat menjadi solusi terhadap pemecahan persoalan yang dihadapi masyarakat, maka penafsiran tersebut dinyatakan tidak absah, sehingga perlu ditinjau ulang atau direvisi.

Dari sini dapat dinyatakan bahwa penafsiran yang mencapai tingkat kesahihan tidak boleh hanya bersifat idealis metafisis saja, akan tetapi juga harus realistis empiris dan solutif terhadap persoalan yang dihadapi oleh masyarakat.

Kebenaran tafsir tekstual dan kontekstual, keduanya bersifat relatif. Kategori al-Thabari dan al-Zamakhsyari sebagai mufasir tekstual misalnya, secara akademis tidak lantas dapat menyangsikan akurasi keduanya sebagai mufasir, karena ra’y yang disertai ilmu dan pemahaman dapat menjamin perolehan makna yang akuntabel.

Al-Thabari berupaya memilah dan memilih riwayat-riwayat yang bisa dipertanggungjawabkan dan menjaga orisinilitas makna al-Quran agar lebih dekat kepada pemaknaan Nabi, sahabat, dan tâbi‘in.

Baca Juga:  Surah Yunus Ayat 98; Terjemahan dan Tafsir Al Qur'an

Sedangkan al-Zamakhsyari berupaya menulis tafsir atas desakan orang-orang yang menginginkan agar dia menyingkap hakikat makna al-Quran, kisah-kisah, dan segi penakwilannya.

Ini artinya, kebutuhan masyarakat dapat dikatakan sebagai kondisi lingkungan yang secara implisit merupakan konteks dari penafsiran. Oleh karena itu, penafsiran keduanya dalam konteks kesejarahannya sangat relevan dengan kondisi yang mereka hadapi, sebab kebutuhan tafsir pada masa itu lebih cenderung kepada bentuk penafsiran idealis-metafisis.

Itulah pembahasan mengenai ada atau tidaknya Nilai Kebenaran dalam Tafsir al-Quran. Maka dari itu, kita perlu untuk mempelajari teori-teori diatas untuk dapat memahami tafsir secara utuh.

Mohammad Mufid Muwaffaq