Kisah Aisyah dan Ali Bin Abi Thalib; Fitnah, Perang Jamal Hingga Penyesalan Keduanya

Kisah Aisyah dan Ali Bin Abi Thalib; Fitnah, Perang Jamal Hingga Penyesalan Keduanya

PeciHitam.orgDua tokoh yang  sangat berperan dalam perjalanan islam antara lain adalah Aisyah binti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib. Gelar Aisyah adalah ummul mukminin, karena memang beliau diperistri oleh Nabi Muhammad SAW sebagai satu-satunya istri perawan Rasul.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sedangkan Ali bin Abi Thalib adalah sepupu dan menantu Rasulullah SAW, karena dari garis Ali-lah Rasulullah mendapatkan cucu. Keutamaan dan kecakapan Ali dalam ilmu pengetahuan merupakan anugerah yang diberikan Allah kepadanya. Bahkan ia dalam beberapa riwayat dikatakan sebagai babul Ilmi, gerbangnya Ilmu.

Asiyah dan Ali bin Abi Thalib tidak terlepas dari sifat-sifat kemanusiaan yang mana mempunyai rasa sentiment satu sama lain. Bukan berarti rasa sentimen itu terlarang sama sekali, karena hal itu bagian dari sifat kemanusiaan manusia.

Awal Mula Sentimen Aisyah-Ali Ra

Tulisan ini bukan bermaksud untuk menjadikan inferior dua tokoh besar dalam islam, Aisyah dan Ali bin Abi Thalib RA. Namun bermaksud menjelaskan bagaimana keberkahan yang terjadi dalam perseteruan dua tokoh besar serta mengambil ibrah darinya. Allah berfirman;

إِنَّ فِي ذَلِكَ لَعِبْرَةً لِمَنْ يَخْشَى

Artinya; Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang takut (kepada Tuhannya) (Qs. An-Naziat: 26)

Cerita dalam sejarah Islam baik kelam atau cerah bisa diambil pelajarannya guna membangun sikap yang tepat dimasa depan. Sikap tepat dalam berbagai permasalahan berlandaskan sejarah menjadikan orang islam menjadi bijak, dan tidak sembrono.

Aisyah RA pernah terkena sebuah fitnah besar yang terkenal dalam ilmu hadits sebagai riwayat hadits ifki, atau kabar dusta/ bohong. Ketika Ummul Mukminin, Aisyah RA mengikuti Rasul dalam perang Marisi dan setelah selesai para rombongan pulang dengan pasukan besar.

Ketika ditengah perjalanan, Aisyah RA harus keluar dari tenda sekedup (jenis tenda yang ada dipunggung unta) untuk memenuhi hajatnya. Selesai menunaikan hajat, beliau bergegas kembali ke rombongan, akan tetapi beliau sadar bahwa kalungnya terjatuh.

Dan segera mencari kalung dan diketemukan beberapa saat kemudian. Akan tetapi beliau mendapati rombongan pasukan sudah meninggalkan ia sendiri.

Baca Juga:  Ketika Kaum Khawarij Iri dengan Sabda Nabi "Ali bin Abi Thalib Adalah Pintu Ilmu"

Beberapa saat kemudian ada pasukan pembersih yang yang dipimpin Shafwan bin Muathal, mempersilahkan Aisyah untuk menunggangi untanya.

Sesampainya di Madinah tersiar kabar tentang perselingkuhan Aisyah dengan Shafwan RA, dan dalam hal ini Ali bin Abi Thalib berkomentar yang membuat Aisyah geram. Ali mengatakan,

Ya Rasulallah SAW, (kaitannya dengan berita Aisyah berzina) saya tidak tahu beliau benar atau salah, akan tetapi wanita selainnya (Aisyah RA) masih banyak.

Kisah ini diceritakan dan dinarasikan oleh KH Bahaudin Nursalim dalam menerangkan Hadits Ifki dan perseteruan Aisyah dan Ali bin Abi Thalib RA. Sentimen antar keduanya juga berimbas dalam periwayatan Hadits, yang mana Ali tidak pernah disebut oleh Aisyah RA secara langsung.

Aisyah RA merasa kurang cocok dengan anak menantunya tersebut karena dikomentari yang kurang berkenan dihati ummul mukminin. Akan tetapi ketidak-cocokan Aisyah dan Ali bin Abi Thalib tidak menjadi permusuhan lebih besar laiknya orang masa sekarang. Ketidak-cocokan hanya sekedar menjalar pada riwayat Aisyah RA yang menyebut Ali bin Abi Thalib dengan kata Rajul (seorang laki-laki).

Keterang lain menyebutkan tentang redaksi Rajul ditanyakan kepada Abdullah bin Abbas tentang penggunaanya. Maka Sayyid Fadhal dan Ibnu Abbas menjawab bahwa Rajul yang dimaksud adalah Ali bin Abi Thalib. Maka perseteruan antara Aisyah dan Ali bin Abi Thalib menjadi cerminan dan pelajaran bahwa ketika marah-pun harus beradab.

Perang Jamal dan Fitnah Besar Umat Islam

Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah Islam yang keempat mengggantikan Usman bin Affan yang terbunuh dalam kerusuhan. Cerita tentang kerusuhan yang menewasakan Usman bin Affan menjadi fitnah besar dalam sejarah Islam.

Gerakan-gerakan untuk menuntut meninggalnya dilakukan oleh banyak sahabat kepada pengganti Utsman, Ali bin Abi Thalib. Aisyah RA, ummul mukminin terlibat dalam gerakan orang-orang yang menuntut balas atas pembunuhan khalifah ketiga itu.

Caranya adalah menekan Ali bin Abi Thalib bertanggung jawab atas kewafatan Utsman tersebut. Konflik inilah yang kelak dikenal dengan Perang Jamal (unta).

Aliansi Aisyah dibela oleh Abdullah bin Zubair, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. Sedangkan pihak Ali bin Abi Thalib terdapat beberapa sahabat Besar seperti Abdullah bin Abbas, Amar bin Yassir, dan Muhammad bin Abu Bakar, saudara Aisyah RA.

Baca Juga:  Salahudin Al-Ayyubi; Jenderal Perang dari Kerajaan Seljuk

Kejadian perang Jamal ini tidak terlepas dari provokasi dan berita hoaks yang disebarkan seorang Khawarij, Jalabah.

Ketika pertempuran terjadi, pasukan Aisyah RA, dan Ali RA memerintahkan Muhammad bin Abu Bakar, saudara Aisyah, untuk mengantarkan Ummul Mukminin dengan terhormat.

Bukan sebagai tawanan. Tahanan perang yang kalah peperangan. Hak-hak Aisyah RA tetap dihormati sebagai ummul mukminin, dan dikembalikan ke Madinah.

Muhammad bin Abu Bakar mengantar Aisyah RA ke rumah Abdullah bin Khalaf Al-Khuzai, seorang kombatan meninggal pada perang Jamal. Kemudian Ali menyiapkan segala sesuatu, berupa tunggangan, perbekalan, dan makanan untuk Aisyah.

Hebatnya seorang Ali bin Abi Thalib serta akhlaknya terlihat ketika Aisyah RA hendak meninggalkan kota Basrah. Ali bin Abi Thalib datang padanya dan berdiri di sampingya, dan mengucapkan salam perpisahan kepada ummul mukminin.

Aisyah RA berkata kepada segenap orang yang hadir dalam majlis tersebut sebagai pengingat atas kejadian perang Saudara Islam pertama kali.

Wahai anak-anakku, kita saling menegur satu sama lain dengan santun dan sopan untuk mencari kebenaran, maka janganlah kalian saling bermusuhan satu sama lainnya yang dapat menimbulkan perpecahan. Sungguh demi Allah, apa yang terjadi antara diriku dan Ali di masa lalu merupakan sesuatu yang terjadi antara perempuan dan kawan karibnya. Sesungguhnya bagi diriku merupakan teguran dari orang-orang yang terpilih.

Perang Jamal juga menjadi penanda perang saudara pertama dalam Islam, namun memiliki hikmah besar tentang perang banyak dilator-belakangi provokasi dari orang Munafik, seperti Jalabah al-Khawariji.

Nilai kebijaksanaan dan penerimaan Aisyah dan Ali bin Abi Thalib harus menjadi contoh bagi semua muslim.

Ali bin Abi Thalib menambahkan kata-kata Aisyah tentang hikmah perang yang telah terjadi diantara keduanya;

Wahai manusia, benar ucapan Aisyah, demi Allah apa yang disampaikannya merupakan kebenaran yang sesungguhnya. Apa yang telah terjadi antara diriku dan dirinya sebagaimana yang telah diucapkannya. Sesungguhnya dia adalah istri Nabi kalian di dunia dan akhirat.

Diantarkannya Aisyah RA oleh Ali bin Abi Thalib adalah momentum pertama ummul mukminin mengucapkan nama Ali dengan jelas, bukan dengan redaksi Rajul sebagaimana yang lalu.

Baca Juga:  Kisah Gus Dur Tinggal di Rumah Tokoh Muhammadiyah

Hal ini mengindikasikan bahwa permusuhan antar Aisyah dan Ali bin Abi Thalib tetap terkendali dan masih dalam kategori wajar.

Berita meninggalnya Ali bin Abi Thalib di Najaf, Irak ketika sampai ke Madinah juga menjadikan Aisyah RA merasa kehilangan. Riwayat menyebutkan bahwa reaksi Aisyah RA ketika mendengar Ali meninggal sama persis saat kesedihan menghadapi wafatnya Rasulullah SAW.

Keesokan harinya, dikatakan Aisyah pergi menuju makam Rasulullah dan berkata di atas pusaranya. Beliau berkata bahwa;

Wahai Rasulullah, dan juga para sahabatmu, Aku datang membawa berita duka padamu. Orang yang paling kau sayangi, orang yang selalu kau ingat sepanjang hidupmu, orang yang paling mulia di sisimu telah terbunuh. Demi Allah, orang yang mempunyai istri terbaik diantara para wanita itu telah terbunuh. Demi Allah, orang yang beriman dan memegang teguh amanah telah wafat. Sungguh diriku merasa sedih dan banyak orang yang menangis karena kepergiannya.

Pola hubungan antara Aisyah dan Ali bin Abi Thalib memang kurang terlalu harmonis, akan tetapi tidak menghalangi untuk saling menghormati sebagai sesame Muslim. Hal ini menunjukan bahwa perbedaan pendapat  tidak menghalangi untuk mengakui kebenaran, keunggulan pihak lain. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq