PeciHitam.org – Abu Sana’ Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud Afandi al-Alusi al-Baghdadi adalah nama lengkap mufassir kondang asal Irak. Sebutan ini merujuk kepada suatu daerah di dekat sungai Eufrat yang terletak di antara Baghdad dan Syam (Syiria), di mana keluarganya bertempat tinggal. Al-Alûsi dilahirkan pada hari Jumat, tanggal 14 Sya’ban 1217 H di daerah dekat Kurkh, Irak.
Ayahnya merupakan ulama Irak yang sangat terkenal dengan kedalaman ilmunya. Sejak kecil al-Alusi belajar agama langsung dari ayahnya. Selain itu, dia juga belajar tasawuf dari seorang sufi bernama Shaikh Khalid al-Naqshabandi.
Terlahir di tengah-tengah keluarga yang berpendidikan, al-Alusi tumbuh menjadi anak yang cerdas. Dia mempunyai ingatan yang kuat, dan berpengetahuan luas baik dalam berbagai bidang keilmuan. Menginjak usia 13 tahun, al-Alusi menjadi salah satu pengajar di universitas yang didirikan oleh Syekh ‘Abdullah Shalah al-‘Aqulani di daerah Rasafah. Dalam bidang aqidah, al-Alusi mengikuti aliran Sunni-Maturidiah. Sedangkan dalam bidang fiqh, pada mulanya al-Alusi bermadzhab Syafi’i.
Namun kemudian, al-Alusi memutuskan untuk mengikuti mazhab Hanafi di tahun 1248 H, ketika menjabat sabagai ketua badan perwakafan lembaga pendidikan al-Marjaniyyah. Selanjutnya pada tahun 1263 H, saat usianya mencapai 31 tahun, al-Alusi diangkat sebagai mufti Baghdad.
Sejak usianya masih 20 tahun al-Alusi memang ingin sekali menyusun sebuah kitab tafsir yang dapat memecahkan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat waktu itu, dia kemudian melepaskan jabatannya tersebut dan lebih memilih untuk mulai menyusun kitab tafsir.
Keinginannya menulis tafsir ini pun baru terwujud, ketika al-Alusi bermimpi diperintah melipat langit dan bumi dengan mengangkat satu tangan ke arah langit dan satu tangan ke tempat mata air. Mimpi yang terjadi pada malam Jum’at di bulan Rajab tahun 1252 H tersebut merupakan isyarat bahwa dia diperintahkan untuk menulis sebuah kitab tafsir. Dia pun mulai menulisnya pada tanggal 16 Sya’ban 1252 H, pada waktu dia berusia 34 tahun, pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Khan bin Sulthan Abdul Hamid Khan.
Kitab ini kemudian diberi judul, Ruh al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an al-‘Azim wa al-Sab’ al-Masani oleh Perdana Menteri Ali Ridha Pasha. Karena nama tersebut dirasa sesuai dengan tujuan awal penulisannya, yaitu “semangat makna dalam tafsir al-Qur’an yang agung dan sab’ul mastani”, maka, al-Alusi pun menyetujuinya.
Setelah tafsirnya selesai ditulis, tepatnya pada tahun 1266 H, al-Alusi melakukan perjalanan ke Konstatinopel, di mana menurut sebagian riwayat dia sempat tinggal selama dua tahun di sana. Dia pun lantas menunjukkan tafsirnya itu kepada Sultan yang berkuasa saat itu, yaitu Abdul Majid Khan untuk mendapatkan pengakuan dan kritik. Dan sebagai bentuk apresiasi yang luar biasa dari Sultan, dia kemudian dihadiahi emas seberat timbangan kitab tersebut.
Selain menulis tafsir, al-Alusi juga banyak menghasilkan karya dalam bidang ilmu logika, seperti: Hashiyyah ‘ala al-Qatr dan Syarh al-Salim. Selain itu, karya-karyanya yang lain adalah: al-Ajwibah al-‘Iraqiyyah ‘an As’ilah al-Lahariyyah, al-Ajwibah al-Iraqiyyah ‘ala As’ilah al-Iraniyyah, Durrah al-Gawas fi Awham al-Khawass, dan masih banyak lagi. Al-Alusi wafat diusianya yang ke-53 tahun pada hari Jum’at tanggal 25 Zulhijjah 1270 H/1854 M. Jasadnya dimakamkan di dekat makam Syaikh Ma’ruf al-Karakhi, salah seorang tokoh sufi yang sangat terkenal di kota Kurkh.
Melihat cara pandang al-Alusi dalam memaknai kata “tafsir” di atas semakin menguatkan bahwa ayat-ayat al-Quran harus dijelaskan secara menyeluruh, dari segala aspek. Ada kecenderungan al-Alusi yang sering menggunakan akal dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran. Karena itulah tafsirnya dapat dimasukkan ke dalam tafsir bi al-ra’y.
Alasan Al-Aulsi menggunakan tafsir bi al-ra’y dalam tafsirnya ini terlihat dalam pendahuluan tafsirnya. Menurutnya tafsir bi al-ra’y itu dibolehkan. Mengenai hadis yang artinya: “barang siapa yang menjelaskan Al-Quran dengan pendapatnya, dan pendapatnya itu benar berarti ia telah melakukan kesalahan.”, al-Alusi meragukan kesahihannya.
Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: “barang siapa yang berpendapat tentang al-Quran tanpa ilmu maka ia akan ditempatkan di neraka”, bukan menunjukkan keharaman tafsir bil al-ra’y. Seseorang diperkenankan menafsirkan al-Quran dengan ra’y dengan syarat tidak menjadikan tafsir tersebut tersebut mengikuti hawa nafsu mazhabnya.