PeciHitam.org – Pertumbuhan tasawuf dalam abad ke-3 tidak dapat dilepaskan dari seorang sufi yang luar biasa. Boleh dikatakan al-Hallaj menjadi puncak perkembangan kaum sufi pada zaman itu. Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughis al-Husain bin Mansur bin Muhammad al-Baidawi, dan lebih dikenal dengan nama al-Hallaj.
Dia dilahirkan pada tahun 244 H/858M di salah satu kota kecil Persia, yakni di Thus dekat kota Baidha (sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran). Kakeknya, Muhammad seorang penyembah api pemeluk agama Majusi. Ada yang mengatakan dirinya berasal dari keturunan Abu Ayyub, sahabat Rasulullah.
Ia belajar kepada seorang sufi besar dan terkenal, yakni Sahl bin Abdullah al-Tustury (wafat 896 M/ 282 H) di wilayah Ahwaz. Setelah kurang lebih dua tahun belajar di negeri Ahwaz ia pergi ke Bashrah dan belajar kepada Amr al-Makki. Selanjutnya pada tahun 264 H ia melanjutkan belajarnya kepada al-Junaid di kota Baghdad yang merupakan seorang sufi besar pula.
Pada tahun 283 H/ 897 M, ketika berada di Mekah ia memutuskan mencari jalan sendiri untuk bersatu dengan Tuhan. Pada tahun ini bisa dikatakan bahwa dia telah memulai pemikiran-pemikirannya tentang bagaimana menyatu dengan Tuhan. Namun setelah ia menemukan cara bersatu dengan Tuhan dan menyampaikan ajaranya kepada orang lain.
Ia justru dianggap sebagai orang gila, bahkan diancam oleh pengusa Mekah untuk dibunuh, yang akhirnya ancaman tersebut membawanya untuk kembali ke Baghdad. Dalam pandangan hidup serta pandangan tasawuf, al-Hallaj telah membuat kontroversi dunia fiqih karena ajarannya dipandang oleh ulama-ulama merusak kepada pokok kepercayaan Islam.
Hal ini terjadi ketika ia kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya dan kembali lagi ke Baghdad untuk menyebarkan ajaran tentang kecintaan kepada Allah. Ajaran itu ia sampaikan di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Selain itu dalam ceramah-ceramahnya ia sampaikan keinginannya untuk mati secara terhina di tangan kaumnya seraya berkata “Wahai kaum muslimin, selamatkan aku dari Allah. Karena Allah telah menghalalkan darahku untukmu. Maka bunuhlah aku”.
Pada saat inilah ia merasa bahwa hijab-hijab Tuhan telah tersingkap yang menyebabkan dirinya dapat bertatap muka dengan sang kebenaran (al-Haq). Pada saat itu pula ia mengungkapkan perkataan yang cukup ganjil dipandang saat itu ; “Ana al Haq/I am Truth/Akulah Yang Maha Benar”.
Di kalangan cendekiawan dan pemikir Islam timbul ikhtilaf tentang substansi dari perkataan al-Hallaj. Sebagian berasumsi bahwa ungkapan yang keluar dari dirinya tersebut adalah ajaran yang keluar dari ajaran Islam (bid’ah).
Sebab, mustahil manusia dapat bersatu dengan Allah (hulul). Al-Haq (Yang Maha Benar) adalah salah satu nama Allah. Ketika al-Hallaj berkata,“Ana al-Haq,” berarti dia telah menyatakan dirinya sebagai Tuhan. Inilah yang kemudian dianggap oleh penguasa Abbasiyah ketika itu sebagai justifikasi untuk menjatuhkan hukuman gantung kepada al-Hallaj yang dianggap telah murtad.
Riwayat al-Hallaj pada hakikatnya adalah riwayat perjuangan yang hebat diantara ulama fiqh dengan ulama tasawuf atau boleh dikatakan juga pertentangan di antara ulama ahli lahir dan ulama ahli batin. Ulama yang terkenal mementingkan hukum-hukum lahir lebih banyak putaran pikirannya pada otak.
Sedangkan ulama batin pendapatnya hanya berdasar pada pengalaman batin dan kehalusan perasaan yang tidak dapat diterima oleh otak. Itulah sebabnya, ahli kebatinan kerap dituduh sesat karena melenceng dari al-Quran dan Hadis.
Salah satu ajaran Al-Hallaj yang terkenal dan masih menjadi perdebatan adalah konsep al-hulul. Dalam ajaran ini terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak Ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan.
Demikian juga tindakannya. Berbagai ragam perkataan orang tentang al-Hallaj. Setengahnya mengkafirkan dan setengahnya lagi membela. Beberapa perkataan, terutama dari pihak kekuasaan pada masa itu tersiar bahwasanya ajaran al-Hallaj sangat merusak ketenteraman umum.
Penyebab kontroversi al-Hallaj berangkat dari konsep tasawuf yang ia tawarkan jauh berbeda dengan tradisi tasawuf ketika itu. Ungkapan al-Hallaj yang mengatakan “Ana al-Haq” (Akulah Yang Maha Benar) ditafsirkan para ulama sebagai sesuatu yang sangat jauh keluar dari garis-garis ketauhidan. Sehingga polemik pemikiran ini berakhir ditiang gantungan sebagai eksekusi terhadap dirinya.