Begini Posisi Akal Manusia dalam Kacamata Aliran Maturidiah

Begini Posisi Akal Manusia dalam Kacamata Aliran Maturidiah

Pecihitam.org- Ulama-ulama aliran Maturidiah (yang dalam fiqh menganut mazhab Hanafi), terutama Maturidiah muta’akhirin, mencoba mengambil jalan tengah. Mereka berpendapat bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Akan tetapi dengan mengetahui baik buruknya suatu perbuatan itu tidak dengan sendirinya akan mengetahui hukum Allah tentang perbuatan tersebut.

Dengan kata lain pengetahuan tentang baik dan buruk itu tidak meniscayakan adanya pahala atas mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk serta dosa atas mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk.

Dosa dan pahala tergantung kepada adanya dalil sam’i. Jadi menurut Maturidiah, Tuhan adalah pemberi hukum, syara’ pemberi informasi tentang hukum dan akal hanya bisa mengetahui yang baik dan buruk. Konsekuensinya adalah bahwa tidak ada kewajiban hukum syar’i sebelum datangnya Rasul dan sebelum sampainya dakwah agama.

Dengan demikian pandangan ini sejalan dengan Mu’tazilah dari segi kemampuan akal manusia mengetahui yang baik dan yang buruk serta sejalan dengan Asy’ariyah dari segi adanya taklif dan hukum sebelum datangnya syari’ah dan sebelum sampainya dakwah.

Baca Juga:  Tiga Amal yang Dicintai Allah dalam Kitab Ihkamu al-Ahkam

Akan tetapi ini adalah pendapat yang dipilih oleh Maturidiah (Hanafiah) mutakhir. Banyak tokoh awal mereka seperti Abu Mansur al Maturidi (330/945) sendiri, Fakhr al Islam al Bazdawi (483/1089) dan Sadru As Syari’ah (747 H) sejalan dengan pandangan Mu’tazilah.

Mereka berpendapat bahwa sebelum datangnya syari’ah wajib melakukan kesyukuran kepada Tuhan Pemberi Nikmat, yaitu dengan beriman kepada-Nya, meninggalkan kekafiran dan kebohongan terhadap-Nya.

Bahkan Abu Hanifah diriwayatkan sebagai menyatakan bahwa seandainya Tuhan tidak mengutus seorang Rasul untuk manusia niscaya wajib atas mereka untuk mengetahui Allah melalui akalnya.

Akan tetapi ulama-uIama Hanafiyah kemudian mentakwil pernyataan Abu Hanifah tersebut dengan menyatakan bahwa yang dimaksud oleh beliau adalah sebaiknya mereka memahami Tuhan melalui akal”.

Berbeda dengan pandangan tokoh-tokoh terkemuka Hanafiah ini, Maturidiah Bukhara berpendapat bahwa tidak ada kewajiban-kewajiban (taklif syar’i) sebelum diutusnya rasul, meskipun mereka tetap mengakui kemampuan akal untuk menangkap mana yang baik dan mana yang buruk.

Baca Juga:  Sejarah Makkah; Pondasi Agama Samawi hingga Politisasinya

Beberapa penulis usul fiqih zaman mutakhir, seperti Abdul Wahhab Khallaf, Abdul Karim Zaidan dan Iain-lain, cenderung mengikuti pandangan Maturidiah generasi kemudian. Asy-Syaukani (1255 H) juga menguatkan pendangan ini dan dalam Irsyad al-Fuhul ia menutup uraiannya mengenai masalah ini dengan mengatakan:

“Ringkas saja, pembicaran mengenai masalah ini panjang. Mengingkari kemampuan akal murni untuk mengetahui baik buruknya perbuatan adalah suatu kesombongan dan kebohongan. Sebaliknya pendapat bahwa akal dapat meniscayakan adanya pahala bagi perbuatan baik dan hukuman bagi perbuatan buruk tidak diterima. Maksimal yang dapat ditangkap oleh akal adalah bahwa perbuatan baik itu dipuji pelakunya dan perbuatan buruk dicela pelaku nya, dan tidak ada keniscayaan antara kemampuan akal menangkap yang baik dan buruk dengan pemberian pahala atas perbuatan baik dan siksa atas perbuatan buruk.”

Jelas, dari pernyataan Asy-Syaukani ini bahwa akal manusia mampu mempermaknai perbuatan baik dan buruk. Akan tetapi pengamalan perbuatan baik dan penghindaran perbuatan buruk tidak membawa implikasi ukhrawi, melainkan hanya membawa implikasi dalam pergaulan masyarakat, yaitu pelaku kebaikan dipuji dan pelaku kejahatan dicela. Untuk adanya implikasi ukhrawi itu harus ada penetapan syara’.

Baca Juga:  Buka Puasa Bersama, Tradisi Baik dan Penuh Hikmah di Bulan Ramadhan

Apabila kita mencermati pandangan aliran Maturidiah mutakhir ini akan terlihat mereka lebih dekat kepada pandangan Asy’ariyah, karena bagi mereka tidak ada kaitan antara baik dan buruk yang ditangkap oleh akal dengan pemberian pahala atau hukuman dari Tuhan. Akan tetapi sebagian Maturidiah (Hanafiah) khususnya dari kalangan Mutaqaddimin, seperti Abu Mansur dan ulama-ulama Irak, lebih dekat kepada Mu’tazilah.

Mochamad Ari Irawan