Apa Saja Kewajiban Keturunan Nabi Muhammad Zaman Sekarang?

Apa Saja Kewajiban Keturunan Nabi Muhammad Zaman Sekarang?

PeciHitam.org – Banyak masyarakat yang bertanya-tanya tentang bagaimana sebenarnya para keturunan Nabi Muhammad SAW yang ada sekarang ini. Apakah mereka terjaga dari segala dosa sehingga bebas melaksanakan apa saja? Ataukah mereka punya kewajiban yang sama dengan umat Islam lain dalam hal menjaga keilmuan dan sikapnya untuk berusaha patuh dan mengikuti jejak sikap kakeknya, Rasulullah Muhammad SAW?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Syekh Ibrahim Al-Baijuri mengatakan bahwa ulama berbeda pendapat perihal siapa yang dimaksud keluarga Nabi Muhammad SAW. Mayoritas ulama berpendapat bahwa keluarga Nabi Muhammad SAW adalah Sayyidina Ali RA, Sayyidatina Fathimah RA, Hasan RA, dan Husein RA.

Menurut jumhur ulama, ahlul bait Rasulullah SAW adalah Sayyidina Ali, Sayyidatina Fathimah RA, Hasan RA, dan Husein RA. Tetapi ada ulama berpendapat bahwa ahlul bait Rasulullah SAW adalah siapa saja yang pernah bertemu pada satu rahim dengan Nabi Muhammad SAW. Ulama lain berpendapat berbeda dari dua pendapat sebelumnya, (Lihat Imam Al-Baijuri, Tahqiqul Maqam ala Kifayatil Awam, [Surabaya, Maktabah M bin Ahmad Nabhan wa Auladuh: tanpa catatan tahun], halaman 70).

Baca Juga:  Ketika Ulama Indonesia Berbeda Pendapat dengan Mayoritas Fuqaha Tentang Sah dan Batalnya Puasa

Alasan kaum nahdliyin cukup beralasan. Pandangan mereka sejalan dengan keterangan Syek Ibrahim Al-Baijuri perihal Surat As-Syura ayat 23 di mana Allah memerintahkan umat Islam untuk mencintai kerabat Rasulullah SAW.

Sikap kaum nahdliyin terhadap para habib hingga kini tidak bergeser. Mereka membanjiri majelis-majelis yang dibuka oleh para habib. Mereka bershalawat bersama para habib. Hal ini kiranya yang menjadi alasan masyarakat Islam di Indonesia secara umum mencintai keturunan Nabi Muhammad SAW.

Sebutan Habib atau para Habaib mempunyai makna orang yang sangat dicintai sekaligus mencintai. Seseorang dengan sebutan Habib tidak hanya ingin dincintai, tetapi juga harus mencintai, hal tersebut merupakan pendapat dari seorang penulis Kitab Tafsir al-Misbah. Prof Quraish memberikan penekanan bahwa ada persoalan mendasar terkait sebutan Habib, yaitu akhlak. Akhlak menjadi alasan fundamental bahwa tidak semua keturunan Rasulullah bisa disebut habib.

Baca Juga:  Fiqih Sosial Sebagai Penghubung antara Kelompok Fundamental dan Liberal ala KH Sahal Mahfud

Keturunan Nabi dari Sayyidina Husein disebut sayyid, sedangkan dari Sayyidina Hasan disebut assyarif, ini dari beberapa literature yang ada. Dari hasil pernikahan Sayyidah Fatimah binti Muhammad dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, mereka dikaruniai dua orang putra yang bernama Hasan dan Husein.

Sebutan habib selama ini harus melalui komunitas dengan berbagai persyaratan yang sudah disepakati. Hal tersebut telah ditekankan oleh organisasi pencatat keturunan Nabi, Rabithah Alawiyah. Di antaranya cukup matang dalam hal umur, memiliki ilmu yang luas, mengamalkan ilmu yang dimiliki, ikhlas terhadap apapun, wara atau berhati-hati, serta bertakwa kepada Allah. Rabithah Alawiyah merupakan organisasi yang dipimpin oleh Habib Zen bin Smith (salah satu Mustasyar PBNU) menekankan bahwa akhlak yang baik menjadi salah satu alasan utama keturunan Nabi disebut Habib.

Para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah berpendapat, mereka yang merupakan keturuan Sayyidah Fathimah dari jalur Hasan maupun Husain adalah keturunan Rasulullah ﷺ melalui jalur nasab. Adapula orang lain yang bisa menyambung kepada Baginda Nabi bukan melalui jalur nasab, tapi karena jalur sebab. Mereka adalah para ulama yang benar-benar ulama, yaitu mereka yang selain alim juga mengamalkan ilmunya. Dalam sebuah hadits yang panjang, diriwayatkan oleh Katsir bin Qais Rasulullah SAW disebutkan: “Sesungguhnya ulama adalah pewaris Nabi.” (Sunan Abi Dawud, juz 1, halaman 81)  Jadi kesimpulanya adalah, nasab Nabi merupakan nasab yang mulia apabila dibarengi dengan mengikuti aturan-aturan Nabi. dzurriyah Nabi secara garis nasab bisa tidak dianggap sebagai dzurriyyah apabila tidak mengikuti jejak perilaku Rasulullah SAW. dzurriyah yang sekaligus pengikut ajaran Rasulullah SAW tentu kedudukannya sangat tinggi dan terhormat.

Baca Juga:  Doa Qunut: Sejarah, Bacaan, Hukum, Manfaat dan Penjelasannya
Mochamad Ari Irawan