Apa Saja Syarat Diterimanya Ibadah?

Apa Saja Syarat Diterimanya Ibadah?

Pecihitam.org- Setiap orang boleh mengamalkan ibadah apapun antara lain shalat sunah, sedekah, puasa sunah, umrah, zikir, shalawat, bakti kepada orang tua, bantuan untuk mereka yang membutuhkan, dan lain sebagainya. Tetapi mereka juga sebaiknya memerhatikan syarat diterimanya ibadah di sisi Allah.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Amal yang diterima menjadi rukun kebahagiaan dan kesuksesan di dunia dan akhirat. Imam Syafii berkata, “Setiap orang yang beramal tanpa ilmu, maka amalnya akan ditolak sia-sia.” (Matan Zubad, juz I, hlm 2, Majallatul buhuts al-Islamiyah, juz 42, hlm 279).

Syarat pertama diterimanya amal diantaranya adalah Islam (QS Ali Imran: 85). Sebab utama ditolaknya amal adalah kekufuran (QS Ali Imran: 90-91). “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS al-Furqan: 3).

Kedua, ikhlas (QS al-Kahfi: 110). Rasulullah SAW meriwayatkan hadis Qudsi, “Aku (Allah) tidak membutuhkan kepada sekutu. Barang siapa beramal dan mempersekutukan-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan sekutunya.” (HR Muslim).

Ketiga, mengikuti sunah Nabi SAW. “Barang siapa yang beramal tidak mengikuti perintah kami, maka akan ditolak.” (HR Muslim). Keempat, bertakwa kepada Allah. “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (QS al-Maidah: 27).

Baca Juga:  Kenapa Akhirnya Aku Meninggalkan Salafi (Kisah Nyata)

Kelima, berbakti kepada kedua orang tua. (QS al-Ahqaf: 15-16). Keenam, memperhatikan waktu beramal. Abu Bakar berwasiat kepada Umar, “Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah memiliki amalan pada malam hari yang tidak menerima amalan siang, dan amalan siang yang tidak menerima amalan malam, dan Allah tidak menerima amalan sunah sampai menunaikan yang fardu.”

Ketujuh, berbuat amal saleh. “Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.” (QS Fathir: 10). Kedelapan, tidak merasa bangga atas amalnya.

Syekh Ibnu Abbad menyarankan kita untuk melupakan amal yang telah kita lakukan. Menurutnya, dengan cara melupakannya amal itu akan naik ke langit. Kalau amal ibadah itu masih tersangkut di bumi, yaitu amal yang selalu teringat dan terkenang atau selalu disebut-sebut, maka amal itu masih menggantung, belum bisa naik.

Tanda bahwa Allah mengangkat amalmu itu adalah ketiadaan amal yang tersisa di ingatanmu. Bila sedikit saja amal itu masih terkenang di benakmu, maka amal itu takkan naik ke hadirat-Nya karena tergantung antara dirimu dan Allah. Karena itu sebaiknya seseorang melupakan dan mengabaikan amal ibadahnya dengan cara memandang kekurangan seperti adanya ego atau nafsu pada amal itu dan memandang ketidaksempurnaannya sehingga penerimaan Allah atas amal itu dapat terwujud,” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 44).

Baca Juga:  Membaca Perdebatan Tafsir Lintas Mazhab, Mulai dari al-Thabari hingga Muhammad Syahrur

Kalau menghilangkan ingatan atas amal ibadah yang kita lakukan terasa sulit, cara lain bisa ditempuh. Syekh Zarruq RA menyarankan agar kita memandang amal kita penuh kekurangan. Bahkan ia menganjurkan kita untuk melepaskan kaitan kita dan amal kita sendiri karena pada hakikatnya amal itu bukan milik kita. Amal itu lahir dari kita karena Allah memberi taufiq kepada kita.

Simpulannya, ia memandang dirinya lalai pada amal itu dan memandang di tengah kelalaiannya karunia Allah karena dari segi zatnya ia tak layak atas anugerah itu dan siapa dia sampai diberikan taufiq di suatu hari. Tanpa anugerah itu, ia akan dicampakkan di zat-zat yang hina, bahkan di lembah hina kekufuran dan kemunafikan. Semoga Allah memberikan perlindungan-Nya untuk kita. (Lihat Syekh Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431, halaman 65).

Baca Juga:  Tasawuf Psikoterapi, Metode yang Dipercaya Mampu Menyelesaikan Masalah Psikologis Manusia

Hikmah ini mengajarkan banyak hal. Hikmah ini mengajarkan kita agar tidak menjadi takabbur dengan amal ibadah yang pernah kita lakukan dan menjadi tolak ukur syarat diterimanya ibadah. Hikmah ini juga mengingatkan untuk tidak puas dengan amal ibadah karena ketidaksempurnaan amal itu dalam pandangan kita. Hikmah ini juga mendorong kita untuk tidak pernah hadir dalam amal ibadah itu karena hakikatnya amal itu anugerah Allah berupa taufiq-Nya kepada kita. Semua itu merupakan cara agar amal ibadah yang kita lakukan diterima Allah SWT.

Mochamad Ari Irawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *