Pecihitam.org – Manusia adalah salah satu makhluk Allah yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk yang lain. Karena manusia diberikan akal serta nafsu oleh Allah SW. Allah menciptakan manusia berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain, bahkan setiap manusia yang ada dibumi ini tidak ada yang persis sama satupun.
Perbedaan inilah yan akhirnya membuat banyak orang menjadi sombong, angkuh, dan arogan atas dirinya yang tidak dimiliki oleh orang lain. Terutama terhadap orang-orang yang berbeda secara fisiknya dan mentalnya (difabel).
Kaum difabel ini sering direndahkan dan diremehkan bahkan ada yang sampai dikucilkan. Lalu bagaimana Al Quran dalam memandang kaum difabel tersebut?.
Difable ialah suatu istilah atau sebutan yang ditujuka untuk orang/individu yang berkebutuhan khusus. Sebutan ini tentunya agar tidak memberikan makna negatife terhadap asumsi masyarakat.
Karena dibalik keterbatasan tersebut, terdapat kemampuan lain yang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Ada Sebutan bagi kaum difabel yang terdapat dalam Al Quran, yaitu Summun (tuna rungu), Bukmun (tuna wicara), Umyun (tuna netra), a’roj (pincang).
Dalam hal ini Al Quran membagi ada 2 kelompok bagi penyandang difabel, yaitu:
Pertama, difabel fisik. Islammenjelaskan adanya toleransi dan menghargai atas kaum difabel, seperti yang terkandung dalam Al Quran surat Al-Fath ayat 17; yang artinya;
“ Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang)” (QS. Al-Fath ayat 17).
Ayat diatasa menjawab atas keresahan orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik ataupun sakit tentang perintah berjihad dijalan Allah. Maka mereka tidak berdosa jika tidak ikut berjihad (perang). Justru orang yang munafik adalah mereka yang mempunyai badan sehat dan fisik yang sempurna namun enggan ikut berjihad (perang) dijalan Allah Swt.
Selanjutnya dalam Surat An-nur ayat 16;
“Tidak ada larang bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, tidak (pula) bagi dirimu sendiri makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah saudara-saudaramu yang laki-laki, dirumah sadara-saudaramu yang perempuan, dirumah saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah yang kamu miliki kuncinya atau dirumah kawan-kawanmu. Tidak halangan bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian.” (QS.An-Nur:16).
Ayat diatas turun yang menjelaskan bagi mereka yang awalnya risih atau tidak suka, makan bersama orang-orang yang buta, pincang, penyakitan, dan kesulitan untuk makan sendiri sehingga tidak ada orang lain yang menemaninya.
Kemudian Allah memberikan keringanan atau dispensasi bagi mereka dengan turunnya ayat ini, “tidak ada larang bagimu makan bersama-sama mereka sendirian ataupun berjamaah lebih banyak berkahnya dan lebih utama”.
Menurut Al-Magribi menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini karena, kaum muslimin merasa kesulitan makan bersama orang buta dan orang yang pincang, karena dia tidak dapat melihat tempat makanan dengan baik dan tidak dapat berebut makanan , serta orang sakit tidak dapat menikmati makanan.
Kedua, difabel mental, yaitu ditujukan bagi mereka orang-orang yang cacat teologinya.jadi difabel mental tidak dilihat dari segi fisiknya. Misalnya yang terdapat pada Surat Al-Fatir ayat 19, yang artinya:
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan yang melihat” (QS.Al-Fatir: 19).
Ayat diatas menjelaskan tentang sebutan atau majaz dari orang yang kafir dan orang muknin. Yang dimaksud dengan orang buta adalah orang kafir, sedangkan orang yang dapat melihat adalah orang mukmin. Sehingga konteks ayat tersebut bukanlah untuk kaum difabel namun lebih kepada orang kafir.
Dalam Islam manusia dilihat dari amal sholehnya bukan dari segi fisiknya. Jadi, islam tidak membedakan antara kaum difabel dengan orang normal lainnya, termasuk dalam bersosial.
Seperti yang dijelaskan diatas bahwa tidak ada yang menghalangi atau membatasi bahwa kaum difabel tidak boleh bergabung dan besosial dengan orang-orang normal disekitarnya. Justru kita sebagai orang normal hendaknya bisa menerima kekurangan orang lain, karena hal ini juga termasuk dalam hablumminannas.
Meskipun ada aturan dalam hukum islam yang mana aturan tersebut mengesampingkan kaum difabel, seperti syarat menjadi seorang imam sholat atau do’a dianjurkan mereka yang mampu. Mampu disini bukan dilihat dari dia sholeh atau tidak, pintar atau tidak.
Tapi untuk menjadi imam sholat atau do’a diutaamakan dia yang dapat berbicara dengan baik, dapat berdiri dengan baik, sebab ini untuk kepentingan banyak orang.
Hal ini tentu saja bukanlah bentuk diskriminasi terhadap kaum difabel, justru menjaga bagi mereka kaum difabel agar tidak dicela oleh banyak orang karena kekurangannya. Demikian, wallahua’lam bisshawab.