Bagaimana Hukum Kencing Menghadap Kiblat?? Begini Analisis Versi Ibnu Qutaibah

Bagaimana Hukum Kencing Menghadap Kiblat?? Begini Analisis Versi Ibnu Qutaibah

Pecihitam.org- Ibnu Qutaibah menguraikan berbagai macam hadis tentang beragam persoalan mulai dari akidah, kisah penciptaan, ibadah, thaharah (bersuci), hingga muamalat. Dalam persoalan thaharah, misalnya, terdapat dua hadis yang diduga saling bertentangan terkait hukum kencing menghadap kiblat.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Hadis yang pertama menyatakan larangan hukum kencing menghadap kiblat dikutip oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Salman Al-Farisi itu bunyinya cukup tegas memakai kata nahy (larangan), “Janganlah kalian menghadap kiblat saat buang air besar atau kecil.”

Sedangkan hadis kedua yang diriwayatkan oleh Aisyah menegaskan hal yang berbeda. Disebutkan bahwasanya Rasulullah pernah diberi tahu bahwa sekolompok orang tampak kurang suka dan merasa kesulitan dengan larangan membelakangi kiblat ketika membuang hajat.

Lalu Rasulullah menyuruh mereka untuk berada di toilet dan barulah menghadap kiblat. Riwayat ini dinukil oleh Ahmad bin Hanbal. Selanjutnya, dari kedua hadis tadi manakah yang dibenarkan antara menghadap dan membelakangi kiblat sewaktu membuang hajat?

Baca Juga:  Adab Ziarah Kubur, Bagaimana Tuntunannya Dalam Islam?

Menurut Ibnu Qutaibah, prinsipnya mudah saja menepis asumsi kedua hadis saling berseberangan itu. Jika memerhatikan teks, kedua hadis mengisyaratkan kemungkinan memakai nasikh dan mansukh untuk menghilangkan kesan kontradiksi.

Terlihat jelas dengan bentuk larangan dan perintah. Artinya, jika ada sebuah larangan kemudian muncul setelah itu perintah, secara otomatis bisa saja larangan tersebut tidak berlaku. Tapi persoalannya, dalam konteks hadis ini nasikh dan mansukh tidak bisa dipergunakan. Lantas bagaimana menyatukan kedua teks itu?

Berdasarkan analisis Ibnu Qutaibah, kedua teks tidak saling menegasikan dengan metode mengelaborasikan (al-jam’u). Yang dimaksudkan dalam hadis pertama sebenarnya adalah larangan menghadap kiblat jika buang hajat di tanah lapang dan terbuka seperti di gurun ataupun lapangan.

Sebab, kebiasaan yang sering dilakukan oleh para sahabat pada masa itu apabila singgah dari perjalanan, sebagian menghadap kiblat guna menunaikan shalat, sedangkan sebagian lain mengarah ke arah sama, tetapi bukan untuk shalat, melainkan membuang hajat.

Baca Juga:  Bagaimanakah Status Hubungan Mahram dari Bank ASI?

Untuk itu, Rasulullah melarang mereka untuk menghormati kiblat dan menghargai kedudukan shalat. Hadis kedua mengutarakan bahwa sejumlah sahabat mengira larangan tersebut berlaku pula saat berada di perumahan atau tempat yang tertutup lainnya.

Karenanya, Rasulullah hendak mengajarkan dan memberi tahu mereka bahwa selama mereka berada di tempat tertutup, tidak masalah membuang hajat sambil menghadap ke arah kiblat.

Pada dasarnya ada beberapa tatakrama yang harus ditaati bagi mereka yang hendak buang air di tempat tertutup.

Pertama, dianjurkan mendahulukan kaki kiri ketika memasuki tempat buang air. Hal ini berlawanan dengan adab memasuki ruangan yang dimuliakan seperti rumah, mushalla, masjid dan lain sebagainya yang mengharuskan melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu.

Kedua, ketika memasuki ruang buang air sunah membaca: “Bismillahi allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khabaits” Dengan nama Allah, Ya Allah aku berlindung kepada Mu dari godaan syaitan laki-laki dan perempuan. Doa ini sangat penting mengingat tempat buang air yang identik dengan ruang kotor sebagai ruang berdiamnya para syaitan.

Baca Juga:  Hak Asuh Anak Dalam Perspektif Ulama Empat Madzhab

Ketiga, hendaklah berdo’a setelah membuang air sebagaimana doa yang diajakan oleh rasulullah saw: “Ghufranaka alhamdulillahilladzi adzhaba anil adza wa ‘afani” Ya Allah aku mohon ampunan-Mu segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan rasa sakit dariku dan yang telah memberikan kesehatan.

Keempat, hendaklah ketika memasuki tempat buang air memakai alas kaki dan tutup kepala. Demikian anjuran fiqih mengenai tatakrama buang air.

Mochamad Ari Irawan