PeciHitam.org – Polemik mengenai pengucapan salam mulai muncul kembali di Indonesia, terlebih mengenai bagaimana hukum menjawab salam jika ada yang menyapa kita dengan salam di pinggir jalan atau dimanapun itu? Adakah riwayat yang membahas tentang hukum menjawab salam ini? Mari kita bahas dalam artikel ini.
Salam merupakan salah satu bentuk kasih sayang kepada sesamanya. Pasalnya, memberikan salam kepada orang lain, artinya mendoakan keselamatan (kedamaian) bagi orang lain. Mendoakan kebaikan kepada orang lain, tentunya akan berbalik kepada diri sendiri juga.
Sering kali kalimat ini kita ucapkan, ketika dijalan bertemu dengan teman, ketika meninggalkan rumah, masuk rumah, kita selalu mengucapkan kalimat salam, Assalamua’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh, yang artinya adalah” semoga keselamatan, rahmat Allah dan berkah-Nya tercurah padamu.
Salam sekilas seperti ucapan yang biasa saja. Namun, sebenarnya terdapat makna yang besar. Salam biasa dijadikan identitas orang muslim ketika bertemu dengan saudara yang seiman, salam bisa menjadikan identitas suatu kelompok perkumpulan dalam Islam. Salam pun juga identik dengan jabat tangan, dengan maksud agar silaturahmi lebih terjalin dengan baik.
Salam merupakan amal yang disyariatkan. Menyebarkan salam termasuk perkara yang dianjurkan oleh Rasulullah, menyebarkan salam juga termasuk amal yang dapat memasukkan pelakunya ke dalam surga dan selamat dunia akhirat.
Ahmad Asy-Shawy dalam kitab tafsir Ash-Shawy ketika menafsirkan “waidza huyyitum bitahiyyati” pada Surah An-Nisa’ ayat 86 beliau mengatakan bahwa as-Salam maknanya keselamatan dari segala marabahaya baik di dunia maupun di akhirat.
Begitu juga dengan menjawab salam. Menjawab salam merupakan salah satu hak muslim atas muslim lainnya, sekaligus merupakan kewajiban. Seperti dalam sabda Nabi Saw:
Dari Abu Jahm Al-Anshari radhiallahu anhu dia berkata,
أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ ، فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ ، فَلَمْ يَرُدَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ ، حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى الْجِدَارِ ، فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلَامَ (رواه البخاري، رقم 337، ومسلم رقم 369) .
“Rasulullah saw datang dari sumur jamal, lalu ada seseorang menemuinya dan mengucapkan salam kepadanya. Namun Rasulullah saw tidak menjawabnya. Kemudian beliau mendatangi pagar, lalu mengusap muka dan kedua tangannya, kemudian dia menjawab salam.” (HR. Bukhari, no. 337 dan Muslim, no. 369)
Hadits ini menjelaskan bahwa saat itu Rasulullah sedang kencing, atau dalam keadaan berhadats. Selain itu, beliau juga masih di sumur (kamar mandi). Rasulullah tidak pernah menyebut nama Allah dalam keadaan hadats. Sehingga ketika beliau selesai membuang hadats, kemudian bersuci (wudhu). Lalu menjawab salamnya. Hadits tersebut sekaligus memberi perhatian pada kita pentingnya adab dalam menjawab salam.
Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar an-Nawawi menyebutkan bahwa orang yang masih mendapatkan keutamaan atau menggugurkan kewajiban saat menjawab salam adalah minimal suaranya terdengar oleh muslim lain walaupun lirih. Namun jika suaranya tidak sampai terdengar oleh orang lain, maka kewajiban menjawab salam tersebut masih ada.
Seperti yang kutip Imam an-Nawawi dalam kitab al-Adzkar, menurut Abu Muhammad al-Qadhi Husain dan Imam Abu al-Hasan al-Wahidi dan beberapa ulama Syafi’iyah yang lain menyebutkan bahwa hendaknya menjawab salam itu langsung setelah salam diucapkan. Jika ada jeda yang terlalu lama, maka jawaban salam tersebut tidak terhitung sebagai jawaban dan tidak menggugurkan kewajiban menjawab salam.
قال الإمام أبو محمد القاضي حسين ، والإمام أبو الحسن الواحدي وغيرهما من أصحابنا : ويشترط أن يكون الجواب على الفور ، فإن أخره ثم رد لم يعد جوابا ، وكان آثما بترك الرد
“Imam Abu Muhammad al-Qadhi Husain dan Imam Abu al-Hasan al-Wahidi dan para ulama syafiiyah yang lain berpendapat bahwa disyaratkan jawaban salam itu segera (langsung setelah diucapkan salam). Jika jawaban salam itu diakhir-akhirkan (ditunda-tunda) kemudian baru menjawabnya setelah beberapa lama, maka tidak dianggap sebagai jawaban. Dan orang yang menunda jawaban salam tersebut berdosa karena dianggap meninggalkan kewajiban menjawab salam.”