Pecihitam.org – Khitbah adalah istilah yang sangat familiar di tengah-tengah masyarakat. Setidaknya masyarakat yang menghendaki sanak familinya menikah. Istilah khitbah juga sohor di kalangan akhi-ukhti (muda-mudi) hijraher dan hijaber.
Kerap kali mereka baper dengan istilah ini. Pasalnya tidak sedikit film pendek yang mereka buat yang membahas konten ini. “Ukh, bolehkah ana mengkhitbah antum”. Kira-kira salah satu adegannya demikian.
Khitbah, ini adalah salah satu kosa kata dalam bahasa Arab. Khathaba-yakhtubu, tsulatsi mujarrad bab 1 wazan fa’ala-yaf’ulu, yang artinya meminang, melamar dan bertunangan. Istilah ini dalam bahasa Sunda akrab dikenal dengan sebutan “ngiket/nalian/ngajadikeun” yang berarti “mengikat”.
Maksudnya memberikan kepastian terhadap perempuan yang telah menjadi pilihannya untuk bersatu dalam sebuah ikatan yang dinamakan pernikahan. Hal ini tidak jauh beda dengan pengertian khitbah itu sendiri. Tertuang dalam kitab Hasyiyah Bujairimi juz 3 halaman 407.
اﻟﺨﻄﺒﺔ ﻭﻫﻲ ﺑﻜﺴﺮ اﻟﺨﺎء اﻟﺘﻤﺎﺱ اﻟﺨﺎﻃﺐ اﻟﻨﻜﺎﺡ ﻣﻦ ﺟﻬﺔ اﻟﻤﺨﻄﻮﺑﺔ
Artinya: “Khitbah (huruf kha dikasrahkan) adalah tindakan permohonan/permintaan seorang pria terhadap seorang wanita untuk dapat menikahinya.”
Khitbah/lamaran ini lazimnya di kalangan masyarakat adalah sebuah prosesi seremonial semi formal/non formal. Artinya, prosesi ini dimaksudkan untuk menunjukkan keseriusan sang pria untuk menikahi wanita pilihannya.
Bahkan dirasa janggal dan serasa ada yang kurang jika seorang pria yang hendak melangsungkan pernikahan tidak dengan melamar wanitanya terlebih dahulu.
Meski pada dasarnya, sebagaimana yang ditulis kebanyakan ulama dalam kitabnya, hukum melakukan lamaran terhadap seorang wanita yang dikehendakinya untuk dipersunting adalah mubah. Termaktub dalam Tuhfatul Muhtaj juz 7 halaman 209.
ﺗﺤﻞ ﺧﻄﺒﺔ ﺧﻠﻴﺔ ﻋﻦ ﻧﻜﺎﺡ ﻭﻋﺪﺓ) ﺗﺼﺮﻳﺤﺎ ﻭﺗﻌﺮﻳﻀﺎ
Artinya: Mengkhitbah perempuan secara langsung untuk berkomitmen menikahinya diperbolehkan baik dengan jelas ataupun isyarat.
Berdasarkan keterangan di atas, boleh hukumnya bagi sang pria mengkhitbah langsung wanita idamanya tanpa harus melalui orang tua/walinya. Namun sebagian tradisi masyarakat kita ada yang menganggap bahwa yang demikian kurang lazim, bahkan tidak lumrah dilakukan.
Pada praktiknya, sang pria bersama keluarga mendatangi rumah orang tua kekasih pujaannya tersebut sembari membawa sebuah cincin sebagai simbol pengikat/tanda bahwa sang wanita telah dilamar olehnya.
Begitupun tradisi lain yang menyertai prosesi khitbah di sebagian daerah adalah tukar cincin di antara pria pengkhitbah dan wanita yang dikhitbah. Hal ini dimaksudkan sebagai simbol bahwa keduanya telah diikat oleh keseriusan dan kesungguhan dalam menjalani ikatan suci, pernikahan.
Namun persoalannya, bagaimanakah hukum tukar cincin di antara dua calon pengantin tersebut pada saat lamaran?
Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa sesuatu yang tidak bertentangan dengan syariat tidaklah dihukumi haram atau bahkan makruh. Namun kita tahu, laki-laki menurut agama Islam haram menggunakan sesuatu berbahan emas.
Hal ini berdasarkan hadis riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّضْرَ بْنَ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ
Artinya: Telah mengabarkan kepada kami Muhammad Ibnul Mutsanna ia berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad ia berkata; telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Qatadah ia berkata; Aku mendengar An Nadlr bin Anas dari Basyir bin Nahik dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya beliau melarang untuk memakai cincin emas.” [HR. Bukhari]
Dalam syarahnya, Fathul Bari, hadis ini dimaksudkan untuk laki-laki.
واستدل به على تحريم الذهب على الرجال قليله وكثيره
Artinya: “Hadis ini dijadikan dalil terhadap keharaman emas bagi laki-laki, baik mengenakannya dengan komposisi sedikit ataupun banyak sama saja.”
Dari sini jelas, hukum tukar cincin menjadi keharaman bagi laki-laki jika cincin yang akan digunakannya berbahan emas atau dilapisi emas. Adapun jika tidak berbahan emas, maka tidak masalah. Tidak menjadi haram. Oleh karenanya, solusi proses tukar cincin dalam khitbah bisa dilakukan dengan hati-hati, perempuan boleh dengan emas, laki-laki dengan perak.
Demikian, semoga bermanfaat. Wallaahu a’lam bishshawaab.
- Pembubaran FPI dan Nasib Masa Depan Indonesia - 08/01/2021
- Pembagian Najis dan Cara Mensucikannya, Kamu Harus Tahu - 25/10/2020
- Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf (Part 2) - 11/10/2020