Bagaimana Hukumnya Arisan? Apakah Boleh atau Justru Dilarang?

Bagaimana Hukumnya Arisan? Apakah Boleh atau Justru Dilarang?

Pecihitam.org – Selama ini arisan telah menjadi budaya di masyarakat. Hampir seluruh penduduk di Indonesia mengenal yang namanya arisan. Sebenarnya, Bagaimana Hukumnya Arisan? Apakah Boleh atau Justru Dilarang? Mari kita bahas dalam artikel ini.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Arisan yang berkembang di masyarakat bermacam-macam bentuknya. Ada yang berbentuk arisan motor, arisan haji, arisan gula, arisan semen dan lain-lain. Ternyata fenomena ini tidak hanya terjadi di negeri ini, di negara Arab juga telah dikenal sejak abad ke sembilan hijriyah yang dilakukan oleh para wanita Arab dengan istilah jum’iyyah al-muwazhzhafin atau al-qardhu at-ta’awuni.

Hingga kini, fenomena ini masih berkembang dengan pesat. Bila demikian sudah mendunia, tentunya tidak lepas dari perhatian dan penjelasan hukum syar’i bentuk mu’amalah seperti ini oleh para Ulama.

Apalagi permasalahan ini termasuk permasalahan kontemporer dan belum ada sebelumnya di masa para salaful ummah dahulu. Terutama para wanita, banyak yang mengikuti arisan tersebut. Namun, bagaimana sebenarnya hukum arisan dalam Islam?

Kata Arisan adalah istilah yang berlaku di Indonesia. Dalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa arisan adalah pengumpulan uang atau barang yang bernilai sama oleh beberapa orang, lalu diundi diantara mereka. Undian dilaksanakan secara berkala sampai semua anggota memperoleh undiannya.

Baca Juga:  Batasan Aurat Laki-Laki Ketika Melaksanakan Sholat

Ini bermakna sama dengan pengertian yang disampaikan Ulama dunia dengan istilah jum’iyyah al-Muwazhzhafin atau al-qardhu al-ta’awuni. Jum’iyyah al-muwazhzhafin, yang dijelaskan para Ulama sebagai bersepakatnya sejumlah orang dengan ketentuan setiap orang membayar sejumlah uang yang sama dengan yang dibayarkan yang lainnya.

Dasar Hukum diperbolehkannya arisan;

فَرْعٌ – الْجُمُعَةُ الْمَشْهُوْرَةُ بَيْنَ النِّسَاءِ بِاَنْ تَأْخُذَ اِمْرَأَةٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْ جَمَاعَةٍ مِنْهُنَّ قَدْرًا مُعَيَّنًا فىِ كُلِّ جُمُعَةٍ اَوْ شَهْرٍ وَتَدْفَعُهُ لِوَاحِدَةٍ بَعْدَ وَاحِدَةٍ اِلىَ آَخِرِهِنَّ جَائِزَةٌ كَمَا قَالَهُ الْوَلِيُّ الْعِرَاقِي.

(Cabang) Hari Jum’at yang termasyhur di antara para wanita, yaitu apabila seseorang wanita mengambil dari setiap wanita dari jama’ah para wanita sejumlah uang tertentu pada setiap hari Jum’at atau setiap bulan dan menyerahkan keseluruhannya kepada salah seorang, sesudah yang lain, sampai orang terakhir dari jamaah tersebut adalah boleh sebagaimana pendapat Al-Wali al-‘Iraqi. (Al-Qolyuuby, Juz II, Hal. 258)

Dalam hidup bermasyarakat, kita sering berinteraksi (mu’amalah) dengan sesama warga. Antara satu dengan yang lain sudah barang tentu tidak dapat terhindar dari proses pergaulan keseharaian ini.

Adanya Interaksi antar individu dengan yang lain meniscayakan adanya kerelaan hati atas tiap transaksi yang dilakukan. Tanpa adanya kerelaan hati akan terjadi ketidak puasan diantara mereka sehingga yang timbul adalah ketidak keharmonisan dalam pergaulan antar sesama.

Baca Juga:  Inilah Ragam Bacaan Tasyahud Akhir dan Ketentuannya

Oleh karena itu tidak mengherankan kiranya apabila Islam mengatur proses interaksi antar individu ini lebih-lebih yang ada kaitannya dengan pelepasan harta atau pengeluaran dana dan sering dikenal dalam bahasa santri dengan fiqh mu’amalah. Saudara penanya yang disayangi Allah.

Memakan harta dengan cara yang batil dan tanpa adanya kerelaan hati dari orang orang maupun pihak-pihak yang terlibat dalam proses transaksi adalah haram hukumnya, hal ini sebagaimana dicetuskan dalam friman Allah surat an-Nisa’ ayat 29:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta diantara kalian dengan cara yang bathil.”

Selain larangan memakan harta dengan jalan yang batal, Allah juga memberikan rambu-rambu yang tegas mengenai keharaman transaksi yang didalamnya terdapat dan mengandung riba.

Selanjutnya menanggapi persoalan arisan sebagaimana saudara sampaikan, ada hal yang nampaknya perlu dijadikan pertimbangan dan diperhatikan yakni mengenai status panitia/bandar arisan tersebut.

Apabila ia dianggap sebagai orang yang menghutangi para anggota dan transaksi yang dilakukakannya dengan para anggota arisan tersebut adalah akad utang piutang (qiradlh), serta pengembalian utang dengan nilai lebih bagi panitia disebutkan dalam transaksi, maka hukumnya adalah riba.

Baca Juga:  Fiqih Munakahat; Larangan dalam Perkawinan

Namun jika panitia/bandar arisan ini statusnya adalah sebagai petugas/pegawai yang layak mendapatkan upah/gaji dalam mengurusi arisan sehingga akad/transaksi yang dilakukan adalah ujrah/upah, maka hal semacam ini hukumnya adalah boleh.

Dalam hal ini, Kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang kedua yakni posisi bandar/panitia arisan tersebut adalah petugas yang layak mendapat gaji/upah atas jerih payah yang mereka lakukan.

Begitulah pandangan beberapa ulama tentang Bagaimana Hukumnya Arisan. Terlepas dari adanya perbedaan pendapat, setidaknya sudah jelas ditemukan pendapat tentang dibolehkannya melakukan arisan.

Mohammad Mufid Muwaffaq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *