Bahayanya Dakwah Muallaf, Baru Belajar Islam kok Malah Sok ‘Ngajarin’

Bahayanya Dakwah Muallaf, Baru Belajar Islam kok Malah Sok 'Ngajarin'

PeciHitam.org – Belakangan ini kita sebagai Muslim disuguhi banyak kejadian yang mengusik ketenangan kehidupan sebagai bangsa dan Negara yang Plural. Kemajemukan dan perbedaan tumbuh subur dan hidup di Nusantara berdampingan damai sejak masa sebelum kemerdekaan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Polanya adalah koar-koar segelintir muallaf yang ketika berdakwah dengan cara menjelekkan dan menghina agama lama mereka. Narasi yang dibangun dalam setiap dakwah oknum muallaf tersebut adalah ‘hidayah pertaubatan’ yang mereka alami serta kesesatan agama sebelumnya. Sebenarnya tidak ada masalah di Islam ketika berdakwah bersama-sama merenungi Nikmat Iman Islam dan Ihsan.

Namun ketika sudah menyinggung agama lain, kiranya pola tersebut tidak dibenarkan dalam dakwah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Bahaya dakwah muallaf merujuk pada fenomena cacian dan makian kepada agama lain yang mengusik kehidupan rukun berdampingan antar umat beragama.

Muallaf dan Panggung Dakwah

Gumunan atau mudah terkesima dengan sesuatu yang ‘wah/ aneh’ adalah sedikit protret perilaku masyarakat di Indonesia. Apalagi sesuatu yang luar biasa dan aneh dari yang lain dibumbui dengan masalah keagamaan. Pun fenomena hijrah dan mendadak muallaf sedikit menggambarkan bahwa orang Indonesia gampang gumunan.

Dimulai dari orang yang mengaku masuk Islam atau muallaf karena kejengahan dan kebiadaban agama lamanya. Kemudian materi ini digunakan terus menerus sebagai konten dakwah yang menjadi pemicu sentimen agama ditengah masyarakat. Dan cara tersebut digunakan secara massif karena memperoleh ‘jamaah’ yang banyak.

Baca Juga:  Keistimewaan Nabi Idris, Salah Satunya Ia Merupakan Orang Pertama yang Bisa Baca Tulis

Tentunya ‘materi favorit’ menjelekkan agama lamanya banyak menuai jamaah karena berisi materi provokatif. Pun demikian, materi ceramah ini tidak memerlukan ilmu tinggi sebagai landasan dalil hanya menjual sentimen agama. Kiranya ceramah dengan menjual sentimen agama dan ayat Allah untuk berdakwah tanpa Ilmu dilarang dalam Islam;

وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ 

Artinya; “(Allah SWT mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-A’raf: 33)

Disisi lain, ketidak bolehan untuk berceramah menjelekkan agama lain dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-An’am 108. Alasan lainnya yang tidak kalah penting adalah mengganggu kedamaian kehidupan berbangsa dan bernegara untuk hidup berdampingan.

Baca Juga:  Tiga Tips Tidur ala Nabi Ini Bisa Bikin Kamu Sehat Lho!

Muallaf dan Belajar Islam

Istilah muallaf adalah sebuah istilah operasional yang digunakan untuk menyebutkan segolongan orang yang masih berpotensi goyah keimanannya.

Sederhananya, mereka adalah golongan orang yang memerlukan penguatan keimanan dalam Islam setelah lepas dari agama lamanya.

Tidak ada batasan maksimal minimal untuk menyebutkan muallaf dalam Islam. Meskipun demikian, Umar bin Khattab menyebutkan batasan kepantasan muallaf memperoleh zakat adalah 3 tahun. Setelah waktu tersebut, maka sudah disebut dengan muslim sebagaimana biasanya.

Namun istilah muallaf diera modern sekarang ini seperti menjadi identifikasi untuk promosi dakwah. Dan tentunya untuk mendapatkan keuntungan dari panggung dakwah guna menggantikan profesi lama mereka.

Ingatan kita masih sangat lekat fenomena Ustadz Bangun Samudra yang mengklaim diri sebagai jebola Pastoor, Alumni Strata 3 Vatikan dan lain sebagainya.

Kemudian terbaru ada fenomena Ustadz Fauzan Al-Azmi yang mengaku sebagai anak tunggang Kardinal dari Indonesia. Contoh lainnya masih sangat banyak yang sedikit mengindikasikan bahwa muallaf di Indonesia dapat menjadi lumbung pendapatan dalam dakwah. Istilah dalam ekonominya adalah marketable, layak untuk dijual.

Jika pola marketable diteruskan dengan terus menggunakan kata Muallaf maka bisa digolongkan dalam ayat sebagai berikut;

Baca Juga:  Pengaruh Kebudayaan Champa Terhadap Islam di Nusantara (Bagian 1)

وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا وَإِيَّايَ فَاتَّقُونِ

Artinya; “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa. (Qs. Al-Baqarah: 41)

Kiranya saluran masuk Islam di Indonesia harus diarus-utamakan melalui Nahdlathul Ulama, yang mana hampir tidak ditemui muallaf yang menjual sentimen keagamaan berlatar dari NU.

Dengan pola ini tentunya akan menjadikan hubungan Islam dan agama lain tetap harmoni guna membangun kodusifitas masyarakat. Ash-Shawabu Minallah

Mohammad Mufid Muwaffaq