Banyak Penceramah Instan, Azyumardi Azra: Harus Ada Penertiban Ustadz

azyumardi azra

Pecihitam.org – Belakangan ini, media sosial diramaikan dengan penggalan ceramah dari beberapa penceramah yang dianggap memprovokasi umat Islam. Salah dua nama yang mendapat sorotan adalah Rahmat Baequni dan Firanda Andirja Abidin.

Baequni menuding arsitektur Masjid Al Safar Cipularang sarat akan simbol iluminati. Selain itu, dia menuturkan bila salat yang digelar di masjid yang memuat simbol dajal tidak akan diterima amal ibadahnya. Baru-baru ini, ceramahnya kembali viral di media sosial setelah menyebut Densus 88 sebagai aktor yang menciptakan terorisme di Indonesia.

Sementara Firanda Andirja menjadi buah bibir setelah kedatangannya di Aceh ditolak oleh masyarakat setempat. Dia disebut-sebut sebagai dedengkot wahabi yang menolak aqidah ahlus sunnah wal jamaah dan kerap menyampaikan ceramah yang tidak sesuai dengan konteks keindonesiaan.

Lantas, bagaimana seharusnya negara dan masyarakat menanggapi pendakwah seperti itu? Disadur dari IDNTimes.com (22/06/19), guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra memberikan tanggapan seperti berikut

1. Harus ada database ustaz di Indonesia

Baca Juga:  Polisi Pastikan Tersangka Penusuk Syekh Ali Jaber Tak Alami Gangguan Jiwa

Guna mencegah ceramah dengan muatan provokasi, Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia sempat menggaungkan rencana sertifikasi ustaz. Namun, rencana tersebut menimbulkan kegaduhan publik karena dianggap sarat akan kepentingan penguasa.

Menanggapi polemik tersebut, guru besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Azyumardi Azra, menyampaikan bahwa Kemenag harus memiliki database penceramah di negeri ini. Nantinya, data tersebut dibuka kepada publik supaya bisa memilih mana penceramah yang tepat.

“Menurut saya Kemenag dan ormas Islam (seperti NU dan Muhammadiyah) itu perlu membuat database tentang ustaz, rekam jejak, pendidikan, keahlian dan, gaya dakwahnyanya. Sehingga dakwah akan lebih sistematis dan lebih tertib juga. Jadi dakwah sebagai ajang provokasi bisa dihindarkan,” kata Azyumardi kepada IDN Times di bilangan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

2. Banyak penceramah yang menawarkan “jalan pintas”

Di era media sosial, alumni Colombia University ini tidak menapik bila preferensi ustaz semakin banyak. Tidak sedikit dari mereka yang menawarkan “jalan pintas” dalam menyikapi problematika kehidupan.

Baca Juga:  Masjid Akan Dibuka Kembali Saat New Normal, MUI Khawatir Jemaah Membludak

“Ini terkait lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih luas. Ada yang kecewa dengan demokrasi misalnya karena tidak sesuai harapan. Sehingga, menyelesaikan dengan kekerasan menjadi pilihan yang mungkin,” tuturnya.

Dia melanjutkan, “Akhirnya ustaz yang antirezim, anti penguasa dipilih, yang memberikan tawaran-tawaran instan pemecahan masalah, bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan dengan doa. Itu memabukkan, tawaran instan masuk surga misalnya tanpa harus amal saleh, cuma dengan bawa bom.”

3. Salah satu target sasarannya adalah mahasiswa

Menurut Azyumardi, mahasiswa dan kampus menjadi target utama bagi penyebaran gagasan radikalisme. Mereka mengincar mahasiswa yang mengalami disorientasi agama. Dalam kondisi seperti itu, ceramah-ceramah ustaz dengan “jalan pintas” mudah diterima.

“Mahasiswa misalnya banyak yang mengalami disorientasi agama. Disorientasi juga karena media dan internet. Mereka datang dari kampung, susah menghadapi perkuliahan, kadang kesulitan ekonomi, mereka inilah yang jadi target. Dibantu mereka kuliahnya, kemudian dikasih subsidi,” ulas lelaki yang diberi gelar bangsawan “Sir” dari Kerajaan Inggris itu.

Baca Juga:  Viral, Pemuda Ini Ubah Lirik Lagu 'Aisyah Istri Rasulullah' dan Hina Nabi

4. NU dan Muhammadiyah harus lebih aktif ceramah via medsos

Azyumardi mendorong tokoh agama dari NU dan Muhammadiyah tampil lebih aktif di media sosial untuk melawan narasi radikalisme yang dipaparkan oleh pemuka agama yang tidak diketahui rekam jejaknya.

“NU dan Muhamamdiyah masih dakwah konvensional. Masih dakwah melalui mimbar tidak dakwah bil medsos misalnya. NU dan Muhammadiyah tidak melahirkan dakwah kontra wacana radikalisme. Kalaupun ada hanya pernyataan selintas, bukan upaya-upaya sistematis dan terarah, kebanyakan begitu, makanya gak efektif,” tutup dia.

Source: IDNTimes.com

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *