Pecihitam.Org – Secara terminologi, terdapat beberapa perbedaan maksud dari Kafa’ah menurut empat madzhab itu sendiri dan dengan definisi kafa’ah dalam pernikahan. Perbedaan ini sangat berhubungan dengan ukuran kafa’ah yang mereka gunakan.
Menurut Ulama’ Hanafiyah kafa’ah adalah kesamaan dalam hal nasab, Islam, pekerjaan, merdeka, ketaqwaan, dan harta.
Menurut Ulama’ Malikiyah Kafa’ah adalah kesamaan dalam agama dan selamat dari cacat yang memperoleh seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.
Menurut Ulama’ Syafi’iyyah Kafa’ah adalah kesamaan dalam hal nasab, agama, merdeka, pekerjaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan seorang perempuan melakukan khiyar terhadap suami.
Menurut Ulama’ Hanabilah Kafa’ah adalah kesamaan dalam hal Ketaqwaan, pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.
Mereka berpendapat ukuran kafa’ah itu ada dua perkara yaitu :
Pertama, Masalah Agama atau Akhlak. Agama atau akhlak menjadi ukuran kafa’ah dalam suatu perkawinan, bukan dalam masalah nasab atau keturunan, hartanya, status social, dan sebagainya.
Seorang laki laki yang saleh meskipun tidak bernasab boleh menikah dengan perempuan yang bernasab, orang yang hina boleh menikah dengan orang yang terhormat, seorang laki laki yang kurang mampu boleh menikah dengan perempuan yang mampu.
Seorang wali tidak boleh menolak dan menceraikan perkawinan seorang laki laki dan seorang perempuan yang tidak sekufu apabila perkawinannya apabila perkawinanya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan( Abdurrahman , 1996 : 57).
Agama sebagai ukuran kafa’ah dalam perkawinan merupakan factor yang diperlukan karena dengan agama termasuk pula akhlak yang baik dapat menjadi sendi yang kokoh dalam membangun kehidupan rumah tangga, sebab dengan agama dan akhlak seseorang dapat bertanggung jawab terhadap tugas tugasnya dan menjalankan kewajiban kewajibannya ( Fariq Ma’ruf, 1983: 60 ).
Kedua, Laki laki yang akan melakukan perkawinan bebas dari cacat yang besar yang dapat mengakibatkan perempuan yang akan menikah tersebut dapat melakukan hak khiyyar atau hak pilihnya. Cacat yang besar tersebut misalnya penyakit gila, supah atau kusta ( Abdurrahman , 1996 : 57). Untuk menguatkan pendapat pendapatnya ulama Malikiyah beralasan sebagai berikut, Al-Qur’an surat Al Hujarat ayat 13 :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai sekalian manusia, kami menciptakan kamu dari jenis laki laki dan perempuan. Dan kami jadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku suku agar saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mendegar.” ( Depag RI, 2007).
Hadits Rasulullah SAW.Artinya : Apabila datang kepadamu orang yang kamu sukai agama, dan budi pekertinya, maka kawinilah dia, Kalau tidak nanti akan menimbulkan fitnah dan kerusakan didunia. Mereka menyela “ Ya Rasulullah, apakah meskipun cacat, Rasullah menjawab “Apabila dating kepadamu orang yang kau ridhai agama dan budi pekertinya, maka nikailah ia”. Beliau mengucap sampai tiga kali ( At Tirmidzi 1993:110).
Ayat dan Hadits tersebut diatas mengandung pengertian bahwa manusia itu adalah sama meskipun diciptakan berbeda suku, bangsa, bentuk dan sebagainya dan taqwa yang membedakan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain di sisi Allah ( Quraish Shihab 1996: 293)
Agama dan tidak adanya cacat menjadi ukuran kafa’ah dalam perkawinan menurut ulama Malikiyah, sedangkan masalah yang lain berfungsi sebagai pelengkap ( Djamaan.1993.: 79).
Meskipun masalah keseimbangan tersebut tidak diatur secara mutlak dalam undang-undang atau dalam Al-Qur’an, akan tetapi masalah tersebut penting untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram, sesuai dengan tujuan pernikahan itu sendiri.
Untuk mencapai hal tersebut, maka hendaknya dalam pernikahan ada unsur Kafa’ah antara suami dan istri, yaitu persesuaian keadaan antara calon suami dan istri atau antara keduanya sederajat.
Hal itu dikarenakan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan sebanding akan merupakan faktor kebahagiaan hidup antara suami dan istri dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan dan goncangan dalam rumah tangga.