Begini Cara Istinjak Penyandang Disabilitas Menurut Para Ulama Fiqih

Begini Cara Istinjak Penyandang Disabilitas Menurut Para Ulama Fiqih

Pecihitam.org- Tidak semua manusia dilahirkan sempurna di dunia ini, ada yang lahir dengan kondisi cacat, atau disebut dengan penyandang disabilitas. Hal tersebut kemudian menimbulkan pertanyaan bagaimanakah cara istinjak seorang penyandang disabilitas?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam kitab fiqih diterangkan bahwa istinjak penyandang disabilitas dapat dengan cara meminta bantuan pasangan halalnya (suami atau istri), namun apabila belum memiliki pasangan halalnya, atau tidak ada orang lainnya yang bisa membantunya, maka dengan cara apa pun yang memungkinkan, dan ia boleh tetap melanjutkan shalat sesuai pendapat dalam mazhab Hanafi dan Maliki.

Dalam mazhab Hanafi, bila seseorang tidak mampu untuk menghilangkan najis di tubuhnya dan shalat dengan cara itu, maka shalatnya sah dan tak perlu mengulang lagi meskipun terdapat orang lain yang dapat membantunya.

Adapun dalam mazhab Maliki, menghilangkan najis bukanlah kewajiban melainkan kesunnahan, sehingga tidak masalah meskipun shalat membawa najis, namun disarankan untuk mengulang shalatnya kembali apabila sudah memungkinkan untuk bersuci secara sempurna. Salah satu rujukan utama Mazhab Hanafi disebutkan dalam kitab Râd al-Mukhtâr disebutkan bahwa:

Baca Juga:  Pembagian Najis dan Cara Mensucikannya, Kamu Harus Tahu

Dalam kitab Tatarkhaniyah disebutkan: Seorang laki-laki yang sakit yang tidak punya istri atau budak perempuan tetapi mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki sedangkan dia sendiri tidak mampu untuk wudhu, maka anak dan saudaranya itu boleh membantunya berwudhu tetapi tidak boleh membantunya istinja’ sebab mereka tidak boleh memegang kemaluannya. Istinja’ itu sendiri gugur kewajibannya dari lelaki tersebut. Seorang perempuan yang sakit yang tidak mempunyai suami sedang dia tidak mampu untuk berwudhu tetapi dia mempunyai anak perempuan atau saudara perempuan, maka mereka boleh membantunya berwudu dan ia gugur kewajibannya untuk istinja’. Dan, sudah jelas bahwa perincian ini juga berlaku bagi orang yang terpotong kedua tangannya sebab dia sama hukumnya dengan orang sakit” (Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Durr al-Mukhtar, [Bairut: Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M], juz, I, hlm. 341).

Dalam kitab Bughyat al-Musytarsyidîn yang beraliran Syafi’iyyah, seperti mazhab yang diikuti oleh mayoritas Muslimin Indonesia, disebutkan keterangan sebagaimana berikut:

Baca Juga:  Ini Hukum, Cara dan Hikmah Adzan di Telinga Bayi yang Orang Tua Harus Tahu

“Wajib bagi orang sakit untuk melakukan lima shalat wajib beserta seluruh syarat dan rukunnya serta menjauhi semua hal yang membatalkannya sesuai kemampuan dan kesempatannya. Apabila banyak kesulitannya dan sakitnya parah dan dikhawatirkan untuk meninggalkan shalat sama sekali, maka tak mengapa baginya untuk mengikuti mazhab Abu Hanifah dan Malik meskipun beberapa syarat tersebut tidak sempurna menurut mazhab kita (Syafi’iyyah).”

Madzhab Abu Hanifah menyatakan:  

  • Apabila orang yang sakit tidak mampu untuk menggerakkan kepalanya maka ia boleh untuk meninggalkan shalat.
  • Apabila ia sudah sembuh setelah melewati satu hari maka ia tidak perlu mengganti shalat itu.
  • Apabila ia tidak mampu untuk menjalankan syarat-syaratnya sendirian tetapi mampu apabila dibantu orang lain maka menurut pendapat yang kuat dalam mazhab, dia wajib meminta bantuan tersebut kecuali apabila ia mengalami kesulitan bila dibantu orang lain atau karena najisnya terus-menerus keluar.

Adapun Imam Malik, ketentuan dalam mazhabnya menyebutkan bahwa suci dari najis di badan, pakaian dan tempat adalah sunnah dan disunatkan bagi orang yang tahu keberadaan najis tersebut dan mampu untuk mensucikannya lalu mengulangi shalatnya (Abdurahman Ba’alawi, Bughyah al-Mustarsyidin, [Bairut: Dar al-Fikr, tt], hlm. 162).

Baca Juga:  Zakat Tabungan: Penjelasan dan Perhitungannya

Perlu diperhatikan bahwa adanya keringan di atas diperbolehkan hanya oleh penyandang disabilitas yang kesulitan untuk bersuci dengan sempurna, bukan mereka yang menganggap enteng masalah ini dan mengambil yang mudah-mudah saja. Sesungguhnya Allah SWT Maha Mengetahui mana hambanya yang layak mendapat keringanan dan mana yang tidak.

Mochamad Ari Irawan