Pecihitam.org – Dari segi historisnya, kata hijrah mulai dikenal setelah Rasulullah memindahkan pusat dakwahnya dari Makkah ke Madinah. Pemilihan Madinah sebagai pusat dakwah baru umat Islam bukanlah tanpa pertimbangan.
Di Makkah, Rasulullah beserta pengikutnya mendapat penyiksaan dari penduduk Makkah yang tidak menginginkan agama Islam berkembang. Kekerasan demi kekerasan terus dilakukan kepada umat Islam. Untuk menghindari peperangan, maka Rasulullah beserta pengikutnya berhijrah.
Bukanlah perkara mudah meninggalkan harta serta sanak saudara yang belum memeluk Islam di Makkah. Walaupun begitu, hijrah ini harus dilakukan sebagai langkah jihad agar agama Islam mencapai kesempurnaan.
Bahkan, Allah menganugerahkan penduduk Madinah yang sangat gembira menyambut kedatangan Rasulullah beserta umatnya. Jasa mereka sangat besar kepada kaum Muslimin yang saat itu kebingungan mencari tempat perlindungan.
Setibanya di Madinah, Rasulullah segera menyatukan kaum Muhajirin (penduduk Makkah) dan kaum Ansar (Penduduk Madinah). Dengan begitu tidak ada lagi sekat yang membatasi diantara keduanya.
Kemudian Rasulullah melakukan penyatuan kembali dengan lingkup yang lebih besar dengan membentuk piagam Madinah. Di sini Rasulullah menyatukan seluruh penduduk Madinah, dan mengakui non Muslim sebagai bagian dari kaum Muslimin.
Dengan begitu, hijrah dapat dijadikan sebagai momentum memupuk persaudaraan dan menjalin tali perdamaian. Dan dari persaudaraan inilah, sayap Islam bisa sampai ke seluruh dunia. Rasulullah telah berhasil mengubah tatanan masyarakat yang rentan terjangkit peperangan menjadi masyarakat yang lebih toleran dan mengedepankan perdamaian.
Maka dari itu, semangat hijrah rasulullah ini perlu diwariskan kepada seluruh elemen bangsa Indonesia. Keadaan bangsa yang multikultural, membuatnya rentan tersulut api intoleran dan mengedepankan kemarahan.
Sehingga segala bentuk perbedaan ini perlu diikat oleh tali persatuan. Dan momentum hijrah haruslah dimaknai sebagai penguat persatuan. Menjadi jalan damai ancaman pertengkaran dan permusuhan yang melanda.
Kita tidak boleh menggunakan nama hijrah sebagai seruan peperangan. Karena hal itu merupakan ciri Islam radikal yang dapat menambah permasalahan.
Peperangan hanyalah penyaluran hawa nafsu semata yang menghasilkan efek takut sementara waktu saja, dan berisiko memicu terjadinya peperangan yang lebih hebat.
Akhir dari peperangan adalah kehancuran itu sendiri. Kedua belah pihak saling dirugikan oleh banyaknya korban yang berjatuhan serta biaya yang tidak kecil jumlahnya. Kalau ada keuntungan, itu hanyalah sedikit karena keuntungan itu segera digunakan untuk biaya perbaikan serta upah prajurit yang berperang. Belum lagi masalah balas dendam, yang bisa memicu peperangan dengan jumlah pasukan dan kerugian yang lebih besar.
Memang pada sisi sejarahnya Rasulullah pernah mengikuti sejumlah peperangan. Namun peperangan itu hanyalah sebagai alat untuk mempertahankan diri dan melindungi agama dari golongan yang ingin memusnahkannya.
Rasulullah sendiri selalu mengedepankan negosiasi terlebih dahulu sebelum mengadakan peperangan. Beliau selalu memprioritaskan perdamaian dibandingkan menumpahkan darah umat manusia.
Hal ini tercermin dari sikap beliau yang sabar menghadapi cacian, bahkan tindak kekerasan yang dilakukan penduduk Makkah. Tidak ada niat sedikit pun dari beliau untuk membalas perbuatan mereka. Bahkan pada peristiwa fatkhu makkah (penaklukan kota Makkah), beliau berhasil menguasai kota Makkah tanpa adanya peperangan.
Begitulah semangat keislaman yang diajarkan Rasulullah saw. Beliau tidak pernah mengajarkan untuk menggunakan metode perang sebagai jalan pertama. Sebisa mungkin, beliau menjalin perdamaian dengan melakukan negosiasi dan tukar pikiran kepada pihak lawan.
Meskipun dalam keadaan unggul, beliau tidak serta merta membunuh lawan-lawannya. Dengan santun, beliau menggandeng mereka untuk bersama-sama memajukan agama Islam.
Oleh karena itu, dalam momentum awal tahun hijriyah khususnya di bulan maulid ini, sudah seharusnya kita menggali kembali kisah hijrah Rasulullah dan segala taktik perdamaian yang beliau hasilkan dari proses hijrah.
Beliau menempatkan hijrah sebagai momentum membentuk kekuatan besar dengan melibatkan siapapun, tak terkecuali umat non muslim sendiri.
Beliau tidak memilih menumpas habis mereka karena tidak mau mengikuti ajaran agama yang disampaikan. Karena beliau yakin, kekuatan tidak hanya bisa diciptakan dengan persamaan. Bahkan dengan perbedaan, dapat menghasilkan kekuatan yang lebih besar.
Maka sebisa mungkin kita mengajak siapa pun tanpa memandang perbedaan yang mereka miliki bersama-sama membangun kehidupan yang lebih baik lagi. Dengan begitu, fungsi hijrah sebagai penguat persatuan dapat terlaksana.