Berfikir Madzhabic adalah Ciri Khas Ulama Nusantara

Berfikir Madzhabic adalah Ciri Khas Ulama Nusantara

Orang Islam di Amerika makan pakai sendok garpu baca Basmalah, orang muslim China makan pakai sumpit juga baca Basmalah dan orang jawa makan pakai tangan juga baca Basmalah gak ada bedanya. Yang penting makanannya Halal sama-sama baca Basmalah meskipun makanannya berbeda-beda” (Maulana Habib Lutfi bin Yahya)

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Pecihitam.org – Penjabaran para ulama atas Al-Qur’an dan Al-Hadits tentu tidak serta merta muncul begitu saja dengan hanya melihat bunyi dari suatu teks.

Ada yang melatar belakangi para ulama dalam menafsiri sebuah teks dalam Al-Qur’an dan Hadits, sehingga hal tersebutlah yang kemudian menimbulkan perbedaan pendapat diantara para ulama dan munculnya berbagai macam aliran pemikiran (Madzhab).

Maka wajar apabila terdapat perbedaan pemikiran (Madzhabic) oleh ulama-ulama di Nusantara sebab mereka sudah mengikuti aliran-aliran pemikiran yang sudah ada (Maliki, Hanafi, Hambali dan Syafi’i), jadi dapat dipahami bersama kalau berfikir madzhabic memang sudah menjadi ciri khas ulama nusantara.

Sejak masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-7 (kemudian mulai berkembang abad ke-14) para ulama yang datang menggunakan berbagai macam metode untuk bisa mengajak masyarakat Nusantara memeluk agama Islam.

Perbedaan metode yang digunakan oleh para Ulama waktu justru tidak memicu perselisihan yang berarti akan tetapi justru memberikan suatu nuansa baru dalam proses penyebaran ajaran agama Islam di Nusantara.

Baca Juga:  Betulkah Aksi Mujahid 212 Akan "Selamatkan NKRI"?

Dalam buku “Strategi Kebudayaan” karya Prof. Dr. C. A. Van Peursen mengatakan bahwa kebudayaan akan selalu berubah dan selalu berbeda-beda antar satu daerah dengan daerah yang lainnya.

Itu berarti apabila kita melihat cara dakwah Ulama Nusantara yang bersifat persuasif, itu bisa dikatakan menyesuaikan dengan daerah yang menjadi target dakwahnya para ulama.

Namun perbedaan madzhab yang ada bukan berarti kita dengan sesuka hati memilih-milih setiap hukum yang mudah dalam setiap madzhab atau mencampur adukkan setiap madzhab (Talfiq).

Kecuali darurat, karena setiap madzhab itu muncul berdasarkan pengaruh dan kesesuaian lingkungan sekitarnya.

Seperti kata KH. Husain Muhammad yang mengutip Dr. Faruq Abu Zaid dalam “Al Syari’ah al Islamiyah Baina al Muhafizhin wa al Mujaddidin”, mengatakan bahwa mazhab-mazhab fiqh dalam Islam merupakan produk pemikiran yang dipengaruhi oleh ruang dan waktunya masing-masing. Dalam bahasa populer dipengaruhi oleh konteks sosialnya.

Kembali lagi dalam pembahasan Madzhab, lalu kenapa para Ulama Nusantara itu selalu berfikir madzhabic?

Baca Juga:  Syaikh Mahfudz at Turmusi, Ulama Nusantara yang Diakui Dunia (Bagian 2)

Menurut Gus Ulil Absar Abdalla ulama Nusantara berfikir madzhabic adalah karena bisa lebih kompleks dalam membahas segala sesuatu yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits.

Artinya bisa dilihat dari sebab turunnya, keadaan sekitarnya atau yang lain sebagainya. Maka para ulama Nusantara menafsiri setiap ayat Al-Qur’an dan Hadits itu secara kontekstual bukan tekstual. Contohnya adalah ketika menafsiri ayat Al-Qur’an tentang Hukum Waris Dzawil arham (kerabat).

Pertentangan terjadi antara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi tentang apakah kerabat itu mendapatkan Hak Harta waris ataukah tidak. Kalau imam syafi’i mengatakan bahwa Dzawil arham itu tidak berhak mendapatkan hak waris dengan landasan Hadits Nabi yang mengatakan:

(Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi –baik dari garis ayah maupun dari ibu– beliau saw. menjawab: “Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun”).

Sedangkan dari kacamata Imam Hanafi mengatakan kalau Dzawil arham itu berhak mendapatkan harta warisan dengan dasar Q.S Al-Anfal: 75, yang artinya

“… Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Anfal: 75)

Baca Juga:  Urgensi Teologi Lingkungan di Masa Pandemi Corona

Bisa dilihat bahwa satu permasalahan yang sama kemudian dibahas dengan sumber yang berbeda (tetapi sama-sama kedudukan yang tinggi dalam sumber hukum) lalu kemudian menghasilkan suatu perbedaan. Lalu yang mana yang benar dalam kasus Dzawil arham tersebut?

Maka dari kacamata Madzhabic semuanya bisa dikatakan benar sebab mempunyai sumber hukum masing-masing dan bisa dipertanggung jawabkan validitasnya.

Kemudian dalam berislam, agar selamat dan tidak tertipu dalam konsep arus Islam Radikal (meminjam iatilah Gus Ulil yakni Islam Shortcut), maka berfikir madzhabic bisa menjadi pilihan yang tepat untuk bisa memahami kontekstualisasi Al-qur’an dan Hadits.

Demikian semoga bermanfaat. Tabik!

Fathur IM

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *