Bermakmum dengan Imam Lain Madzhab, Bagaimanakah Hukumnya?

bermakmum dengan imam lain madzhab

Pecihitam.org – Dalam aqidah Ahlussunah wal Jamaah kita diwajibkan memilih dan mengikuti salah satu dari empat madzhab fiqih, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafii atau Hanbali. Setiap madzhab memiliki aturannya sendiri-sendiri dalam penentuan pelaksanaan syariat. Seperti contohnya dalam ibadah shalat, yang mana madzhab Syafii mewajibkan basmalah pada setiap awal surat Al-Fatihah, sedangkan madzhab lainnya ada yang tidak wajib. Pertanyaan kemudian muncul bagaimana jika kita shalat bermakmum dengan imam lain madzhab?

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Keragaman dan perbedaan adalah keniscayaan yang merupakan sunatullah yang patut untuk disyukuri dan disikapi secara arif dan bijak, tidak terkecuali dalam urusan keyakinan bermadzhab fiqih. Membaca basmalah pada awal Surat Al-Fatihah memang menjadi permasalahan yang diperselisihkan di antara para ulama.

Menurut madzhab Syafii, membaca basmalah di setiap rakaat sebelum membaca Surat Al-Fatihah adalah wajib. Kalangan madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat sunnah. Dan menurut madzhab Maliki, hukumnya adalah makruh, sebagaimana keterangan pada kitab Al-Fiqh alal Madzahibil Arba’ah karya Syekh Abdurrahman Al-Jaziri, Beirut, Darul Fikr, 2008 M, juz I, hal. 221.

Kaitannya dengan shalat berjama’ah, menurut pendapat kuat dalam madzhab Syafii, salah satu syarat yang harus terpenuhi bagi makmum adalah tidak meyakini batalnya shalat imam. Misalkan makmum adalah orang yang bermadzhab Syafii dan meyakini wajibnya basmalah, sedangkan imamnya seorang yang bermadzhab Hanafi yang meninggalkan bacaan basmalah. Dalam kasus demikian, maka shalatnya makmum tidak sah.

Dalam Al-Minhajul Qawim Ibnu Hajar Al-Haitami mengatakan sebagai berikut:

Baca Juga:  Berapa Kali Israfil Meniup Sangkakala hingga Terjadi Kiamat? Mari Kita Simak Jawabannya

وَأَنْ لَا يَعْتَقِدَ بُطْلَانَهَا ) أَيْ بُطْلَانَ صَلَاةِ إِمَامِهِ …اِلَى اَنْ قَالَ…(كَحَنَفِيٍّ) أَوْ غَيْرِهِ اِقْتَدَى بِهِ شَافِعِيٌّ وَقَدْ (عَلِمَهُ تَرَكَ فَرْضًا) كَالْبَسْمَلَةِ مَا لَمْ يَكُنْ أَمِيْراً أَوِ الطُّمَأْنِيْنَةِ أَوْ أَخَلَّ بِشَرْطٍ كَأَنْ لَمِسَ زَوْجَتَهُ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ فَلَا يَصِحُّ اقْتِدَاءُ الشَّافِعِيِّ بِهِ حِيْنَئِذٍ اِعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْمَأْمُوْمِ لِأَنَّهُ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ لَيْسَ فِيْ صَلَاةٍ

Artinya, “Di antara syarat berjamaah ialah makmum tidak meyakini batalnya shalat imam. Seperti imam yang bermadzhab Hanafi yang diikuti oleh makmum bermadzhab Syafii. Sementara makmum Syafii mengetahui imamnya yang bermadzhab Hanafi meninggalkan kewajiban menurut keyakinannya seperti membaca basmalah atau thuma’ninah, selama imamnya bukan pemimpin. Atau makmum mengetahui imamnya meninggalkan syarat sah shalat seperti memegang istrinya dan langsung shalat tanpa berwudhu’ terlebih dahulu. Maka makmum yang bermadzhab Syafii shalatnya tidak sah dalam permasalah ini, karena mempertimbangkan keyakinan makmum, sebab ia meyakini bahwa imamnya tidak berada dalam shalat yang sah,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhajul Qawim Hamisy Hasyiyah At-Tarmasi, Jeddah, Darul Minhaj, cetakan pertama, 2011, juz III, halaman 700).

Sedangkan menurut pendapat yang lemah dari ulama madzhab Syafii, sah atau tidaknyanya berjama’ah dititikberatkan pada keyakinan sang imam. Meskipun menurut madzhab yang dianut makmum menghukumi tidak sah.

Dalam permasalahan imamnya yang tidak membaca basmalah karena ia bermadzhab Hanafi, sementara makmumnya bermadzhab Syafii yang meyakini kewajiban basmalah, maka shalatnya makmum tetap dinyatakan sah. Karena imam sudah benar melakukan tuntunan shalat sesuai dengan madzhab yang dianutnya.

Baca Juga:  Menempelkan Kaki Saat Shalat Berjamaah, Apakah Wajib?

Berbeda apabila yang imamnya bermadzhab Hanafi melakukan kesalahan menurut madzhabnya, meskipun menurut madzhab makmumnya bukan merupakan sebuah kesalahan, maka shalatnya makmum tidak sah.

Syekh Al-Khathib As-Syarbini mengatakan:

وَلَوْ اقْتَدَى شَافِعِيٌّ بِحَنَفِيٍّ ) فَعَلَ مُبْطِلًا عِنْدَنَا دُونَهُ كَأَنْ ( مَسَّ فَرْجَهُ ) أَوْ تَرَكَ الطُّمَأْنِينَةَ أَوْ الْبَسْمَلَةَ أَوْ الْفَاتِحَةَ أَوْ بَعْضَهَا ( أَوْ ) عِنْدَهُ دُونَنَا كَأَنْ ( افْتَصَدَ فَالْأَصَحُّ الصِّحَّةُ ) أَيْ صِحَّةُ الِاقْتِدَاءِ ( فِي الْفَصْدِ دُونَ الْمَسِّ ) وَنَحْوِهِ مِمَّا تَقَدَّمَ ( اعْتِبَارًا بِنِيَّةِ ) أَيْ اعْتِقَادِ ( الْمُقْتَدِي ) لِأَنَّهُ مُحْدِثٌ عِنْدَهُ بِالْمَسِّ دُونَ الْفَصْدِ ، وَالثَّانِي عَكْسُ ذَلِكَ اعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِ الْمُقْتَدَى بِهِ

Artinya, “Apabila makmum penganut madzhab Syafii mengikuti imam penganut madzhab Hanafi yang melakukan perkara yang membatalkan shalat menurut keyakinan makmum, bukan keyakinan imam. Seperti memegang kemaluan, meninggalkan thuma’ninah, basmalah, Surat Al-Fatihah atau sebagiannya. Atau jika imam melakukan perkara yang membatalkan menurut keyakinannya, bukan menurut keyakinan makmum, seperti berbekam (menurut madzhab Hanafi dapat membatalkan wudhu’, sementara menurut madzhab Syafii tidak membatalkan), maka menurut pendapat kuat shalat jama’ahnya makmum sah dalam permasalahan imamnya berbekam, bukan permasalahan menyentuh kemaluannya, karena mempertimbangkan pada keyakinan makmum. Karena imam dinyatakan berhadats menurut keyakinan makmum sebab menyentuh kemaluan, bukan karena berbekam. Menurut pendapat kedua, yaitu kebalikan dari pendapat yang pertama (sah dalam permasalahan imamnya menyentuh kemaluan, dan tidak sah dalam persoalan imamnya berbekam). Karena mempertimbangkan kepada keyakinan imam,” (Lihat Syekh Khathib As-Syarbini, Mughnil Muhtaj, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, cetakan ketiga, 2011 M, juz I, halalaman 332).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum shalat bermakmum dengan imam lain madzhab merupakan ikhtilaf di kalangan ulama. Menurut pendapat kuat, tidak sah. Sementara menurut pendapat lemah, sah.

Baca Juga:  Para Ulama Ini Mengamalkan Bid'ah Hasanah, Sesatkah Mereka?

Kedua pendapat tersebut memiliki tendensi masing-masing. Keduanya dapat diikuti. Sarannya adalah dalam kondisi tidak terdesak, sebisa mungkin agar makmum memastikan shalatnya imam tidak batal menurut keyakinan yang dianut makmum.

Namun apabila kondisionalnya menuntut agar bermakmum dengan imam lain madzhab, seperti untuk menjaga keharmonisan hubungan bermasyarakat, maka tidak ada salahnya mengikuti pendapat kedua dari madzhab Syafii yang menghukumi sah sebagaimana penjelasan di atas.

Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah dikalangan para ulama. Hal demikian bukan untuk dijadikan perdebatan yang tak kunjung usai. Perbedaan adalah Sunnatullah, tidak bisa dihindari namum bisa di sikapi dengan sikap saling menghargai. Demikian semoga bermanfaat. Wallahua’lam Bisshawab

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *