Betulkah Membaca Doa Sebelum Makan “Allahumma Bariklana” Itu Bid’ah?

Doa Sebelum Makan "Allahumma Bariklana" Itu Bid'ah?

Pecihitam.org – Yang mungkin dianggap bid’ah saya kira bukan pekerjaan membaca doa sebelum makan, tetapi lafal doa yang biasa kita ucapkan (Allahumma bariklana fima razaqtana wa qina ‘adzaba an-nar) itu yang dianggap bid’ah. Sebab kalau membaca doa sebelum makan saja dianggap bid’ah, lalu yang sunnah yang mana? Apakah tidak membaca doa malah dianggap sunnah? Tentu tidak demikian.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Memang, banyak yang menilai hadits yang meriwayatkan bahwa lafal doa sebelum makan berbunyi demikian itu lemah. Itu berarti, lafal doa yang seperti itu diragukan berasal dari Rasul saw. Tetapi kandungan makna dari doa itu sendiri adalah baik, tidak ada yang bertentangan dengan ajaran agama.

Bukankah doa sebelum makan itu mengajarkan kita untuk memohon keberkahan atas rezeki (makanan dan minuman) yang kita terima, dan memohon agar kita dijauhkan dari siksa api neraka?

Soal melafalkan niat ketika hendak shalat atau cukup diucapkan di dalam hati, sudah dibicarakan ulama-ulama fikih klasik sejak lama sekali. Yang jelas, niat itu adanya di dalam hati. Jika sudah ada keinginan kuat di dalam hati kita untuk melakukan suatu ibadah, itu dapat dikatakan kita sudah berniat, walaupun kita tidak mengatakan “nawaitu … dst.” secara lisan. Tetapi, ini juga tidak berarti bahwa apabila kita melafalkan “nawaitu”, kita telah melakukan kesalahan, selama di dalam hati kita memang ada niat itu.

Dalam berdoa, agama membuka pintu yang cukup luas. Bahkan kita boleh berdoa dalam bahasa Indonesia, tidak harus berbahasa Arab. Kecuali pada ibadah-ibadah mahdhah (ritual) seperti shalat yang memang diharuskan menggunakan bahasa Arab. Yang penting dalam berdoa adalah bahwa kita mengerti dan memahami betul apa yang kita minta dan kita mohon.

Dewasa ini banyak orang yang mengaku mengikuti slogan AlQuran dan Sunnah selalu mempermasalahkan hal-hal yang bersifat remeh menjadi besar, seolah mereka adalah Nabi yang diutus Allah untuk melusruskan ajaran yang dianut umat Islam selama ini.

Kali ini mereka yang terpengaruh dengan wahabi membuat isu doa makan yang selama ini dibaca oleh sebagian muslimin ketika hendak makan.

Tidak sedikit kaum muslimin yang membaca doa dengan redaksi berikut sebelum makan :

اللهم بارك لنا فيما رزقتنا وقنا عذاب النار

Baca Juga:  3 Golongan Penuntut Ilmu Menurut Imam Al-Ghazali, Semoga Kita Tidak Menjadi yang Ketiga

Namun tidak sedikit pula yang membaca doa sebelum makan dengan redaksi lainnya seperti mayoritas santri-santri di pesantren, misal :

اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيهِ وَأَطْعِمْنَا خَيْرًا مِنْهُ

Oleh sekelompok minoritas yakni kaum wahabi, doa dengan redaksi yang pertama dianggap bid’ah dan haram mengucapkannya karena bukan doa yang berasal dari Nabi sebab status haditsnya adalah dhoif.

Subhanallah, berapa banyak umat muslim yang akan masuk neraka baik anak-anak, dewasa, orang tua, para ustadz dan para ulama hanya karena mengamalkan doa makan dengan redaksi yang pertama ?? adakah para ulama dan imam Hadits yang mengatakan membaca doa tersebut sebelum makan itu bid’ah dan haram ??

Redaksi pertama ulama memang menilai hadits itu dhaif karena dalam perowinya ada yang bernama Muhammad bin Abi az-Za’iza’ah yang dinilai munkarul hadits oleh Abu Hatim. Secara sanad memang boleh dibilang tidak marfu’ akan tetapi ada riwayat lain yang mauquf dari Urwah bin Zubair yang diriwayatkan imam Malik bin Anas dalam kitab Muwatha’nya juz 2 halaman 934.

Ada lagi dari Ali bin Abi Thalib diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Musnad imam Ahmad, ia berkata telah menceritakan padaku al-Abbas bin al-Walid, ia berkata telah menceritakan padaku, ia berkata telah mencertitakan padakui Abdul Wahid bin Ziyad, ia berkata telah menceritakan padaku Sa’id al-Jurairi dari Abi al-Ward dari Ibnu A’bud, ia berkata : “ Telah berkata padaku Ali bin Abi Thalib:

يا ابن أعبد هل تدري ما حق الطعام ؟ قال : قلت : وما حقه يا ابن أبي طالب ؟ قال : تقول : باسم الله اللهم بارك لنا فيما رزقتنا ، قال : وتدري ما شكره إذا فرغت ؟ قال : قلت : وما شكره ؟ قال : تقول : الحمد لله الذي أطعمنا وسقانا

“Wahai Ibna A’bud, apakah kamu tahu haknya makanan? Ia berkata, aku berkata: “Apa hak makanan itu wahai putra Abu Thalib ? beliau menjawab: “Hendaknya kamu ucapkan: Bismillah, Allahumma Bariklana fiimaa rozaqtanaa dst…”. (Musnad Ahmad: No. 1312)

Sedangkan hadits dengan redaksi yang kedua, maka imam at-Tirmidzi menilainya hadits Hasan.

Takhrij hadits Ali bin Abi Thalib di atas sebagai berikut :

Baca Juga:  Gus Baha: Meluruskan Pemahaman Kelompok yang Suka Bilang Bid’ah

Sa’id al-Jurairi adalah Sa’id bin Iyas dinilai tsiqah, ia adalah ahli hadits dari Bashrah. Abu al-Ward adalah Ibnu Tsumamah bin Hazn al-Qusyairi, Ibnu Sa’ad mengatakan: “Dia ma’ruf“. Dalam taqrib dikatakan: “Dia maqbul (Dapat diterima)“. Ibnu A’bud, oleh Ali bin al-Madini dikatakan: “Tidak ma’ruf, dan aku tidak mengenalnya selainnya“, akan tetapi imam Bukhari menenal dan mengatakan dalam Tarikh al-Kabir : 4/430: “Ibnu A’bud meriwayatkan dari Ali“.

Melihat takhrij di atas, maka hadits di atas sanadnya bernilai Hasan sebagaimana dikatakan oleh syaikh Ahmad Syakir.

Hukum makan ini bukan wajib atau pun sunnah, melainkan mubah namun akan menjadi sunnah jika diniatkan untuk melaksanakan perintah Allah dan niat supaya kuat dalam ta’at dan beribadah. Tata cara makan pun tidak ada yang diatur secara wajib, nabi mencontohkan tata caranya supaya umatnya melakukan dengan cara terbaik bukan suatu tata cara yang diwajibkan yang apabila tidak melakukan hal itu akan berdosa dan masuk neraka.

Dalam masalah doa pun jika berdoa dengan doa selain yang ma-tsur dari Nabi, maka tidaklah berdosa namun yang paling afdhal adalah memang mengamalkan doa yang ma-tsur. Doa dianjurkan untuk dilakukan kapan pun dan di manapun saja…kecuali doa-doa yang ada dalam ibadah mahdah, maka wajib melakukan dan mengamalkan doa yang warid atau ma-tsur dari Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam.

Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir mengatakan ketika berbicara tentang mendoakan saudara ketika hendak safar : “ Dan disunnahkan untuk mendoakan mereka baik di hadapannya ataupun tidak di hadapannya dengan doa ma-tsur atau bukan ma-tsur, dan yang ma-tsur itu lebih utama “.

Dalam Mushannaf Abi Syaibah disebutkan bahwasanya ketika Salman selesai makan ia mengucapkan :

الحمد لله الذي كفانا المؤنة، وأوسع لنا الرزق

“ Alhamdulillah yang telah mencukupi kami biaya dan meluaskan kami rezeki “.

Dalam Mushannaf itu juga disebutkan dari Abu Usamah dari Hisyam, ia berkata : “ Ayahku tidak dihidangkan makanan atau minuman walaupun minum atau makan obat, lalu beliau meminum atau memakannya sehingga beliau mengucapkan doa berikut :

الحمد لله الذي هدانا وأطعمنا وسقانا ونعمنا والله أكبر، اللهم ألفتنا نعمتك بكل شر فأصبحنا وأمسينا منها بكل خير، نسألك تمامها وشكرها، لا خير إلا خيرك، ولا إله غيرك، إله الصالحين، ورب العالمين، الحمد لله رب العالمين، لا إله إلا الله، ما شاء الله ولا قوة إلا بالله، اللهم بارك لنا فيما رزقتنا وقنا عذاب النار

Baca Juga:  Ini Cara Salafi Wahabi Memahami Bid’ah, Pantes Salah kaprah

Nah apakah mereka para ulama salaf tersebut yang menciptakan redaksi doa sendiri setelah makan itu telah berbuat bid’ah dholalah yang menyebabkan dia sesat dan masuk neraka??

Bagaimana dengan imam Ahmad bin Hanbal yang berdoa ketika sujud dalam sholat dengan doa yang bukan ma-stur dari Nabi selama 40 tahun ??

“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).

Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Barinya mengatakan :

واستُدِلَّ به على جواز الدعاء في الصلاة بما اختار المصلي من أمر الدنيا والآخرة

“ Dan dijadikan dalil dengan hadits itu, bahwasanya boleh berdoa di dalam sholat dengan doa yang disukai / dipilih oleh orang yang hsolat darii urusan dunia dan akherat “.(Fathul Bari : 2/321)

Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr mengatakan :

وأما قول مالك: لا بأس بالدعاء في الصلاة المكتوبة، فهو أمر مُجمَع عليه إذا لم يكن الدعاء يُشبِه كلامَ الناس، وأهل الحجاز يُجيزون الدعاء فيها بكل ما ليس بمأثم من أمور الدين والدنيا

“ Adapun ucapan imam Malik : “ Tidak mengapa dengan berdoa di dalam sholat wajib “, maka itu adalah perkara yang sudah ijma’ jika doanya tidak menyerupai ucapan manusia. Ulama Hijaz membolehkan doa dalam sholat dengan doa yang bukan mengarah pada dosa dari urusan agama dan dunia “ (al-Istidzkar : 2/437).

Ditulis oleh: Ust. M Arifin

Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *