PeciHitam.org – Seorang Jamaah duduk di Masjid sebelum waktu Salat wajib/ maktubah, banyak berdzikir tetapi tanpa Ilmu adalah sebuah kecelakaan besar.
Citra diri yang dibangun seseorang tersebut adalah anggapan menjadi Orang yang Alim atau ahli Agama secara Instan. Kecelakaan lebih besar lagi adalah jika dia ditanya tentang sebuah Hukum dan menjawab.
Rambu-rambu fenomena ini sudah ada sejak era para Ulama salaf terdahulu, dengan munculnya para pem-fatwa abal-abal bermodal “anggapan/ dianggap” orang berpengetahuan luas dalam agama. Sampai dalam sebuah buku Syair karya Imam Zarnuji Ibrahim dilantunkan;
فَسَــادٌ كَبِيْرٌ عَــــالِمٌ مُـتَهَتِّــــكٌ ۞ وَ اَكْبَرُ مِنْهُ جَاهِلٌ مُتَنَسِّكُ
هُمَا فِتْنَةٌ فِي الْعَالَمِيْنَ عَظِيْمَةٌ ۞ لِمَنْ بِهِمَا فِيْ دِيْنِــــــهِ يَتَمَسَّكُ
Sungguh merupakan kehancuran yang besar, seorang yang alim yang tak peduli. Dan.. lebih parah lagi dari itu, seseorang yang bodoh
yang beribadah tanpa aturan
Keduanya merupakan fitnah yang besar di alam semesta bagi orang-orang yang menjadikan keduanya sebagai pedoman
Fenomena ini diperparah oleh sikap latah orang-orang awam di Indonesia yang mengedepankan pamor/ citra bukan kapasitas dan kapabilitas atau kemampuan seseorang dalam bidang keilmuan tertentu, terutama dalam kasus ini masalah syariah atau Agama.
Orang umum akan mudah percaya dengan penampilan yang seakan-akan “Ulama”, “Kiai”, “Gus” (sebutan untuk putra seorang Kiai), “Keramat” dan lain sebagainya sedangkan secara keilmuan tidak jelas Sanad (silsilah pengetahuan, riawayat pendidikan) keilmuannya apalagi kemampuan untuk menjelaskan sebuah Hukum Islam. Miris sekali.
Padahal kita semua paham ayat dalam surah an-Nahl: 43 yang berbunyi;
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
Dalam keterangan tafsir Kementerian Agama, orang yang berpengetahuan yakni orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan kitab-kitab. Redaksi ayat tersebut (أَهْلَ الذِّكْرِ), bukan (أَهْلَ الخشع) jelas merujuk orang yang berpengetahuan, pasti orang tersebut harus memiliki kapasitas, kapabilitas dan kemampuan dalam menerangkan Hukum Islam.
Satu sisi lain, terkadang orang-orang yang mempunyai kompetensi kemampuan enggan untuk menjelaskan kepada khalayak karena berbagai sebab. Baik ketidak-mampuan mengelola pengetahuannya, kekurang-cakapan retoris atau metode penyampaian atau memang karena doktrin dalam kehati-hatian dan ketakutan salah dalam penyampaian.
Keadaan ini seperti terjadi deadlock/ kebuntuan dan menimbulkan ruang kosong. Ruang kosong inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh golongan tertentu untuk meraih “pasar” umat dengan Fatwa abal-abal. Modalnya apa? Ya, hanya dengan BERLAGAK Khusuk.
Sebagai gambaran nyata adalah munculnya para Ustadz-ustadz “Karbitan” menguasai panggung dakwah, yang entah dakwah kemana arahnya. Sebagai koreksi, tidak semua ustadz tersebut pernah mengenyam pendidikan yang berbasis islam, misal pesantren atau madrasah, bahkan sangat dangkal dalam memahami khazanah keislaman.
Modal mereka adalah terkenal dengan menempel, mengkritik bahkan menghantam orang yang sudah terkenal. Secara instan mereka akan terkenal dan memiliki “pasar” untuk berjualan sentimen/ aib orang terkenal yang dikritik.
Ramai dalam dunia maya terjadi kontra argumen yang sangat memalukan dan mengherankan bagi penulis. Seorang yang baru belajar Islam, dengan pengetahuan seadanya diagungkan dan disejajarkan dengan para begawan ahli Tafsir.
Belum berhenti pada hal itu, pembelajar awam itu berani menyalahkan dengan tanpa pengetahuan, dan dibenarkan secara membabi buta oleh pengikutnya.
Kepiluan dan shock lainnya adalah kepercayaan diri yang kelewat batas menjadikan pembelajar awam tadi menjadi jumawa karena punya pendukung. Sikap ini merupakan sebuah musibah yang bertubi-tubi dalam keberlangsungan marwah islam sebagai sebuah Agama Pengetahuan.
Kiranya kekhawatiran dari Imam Zarnuji Ibrahim sangat beralasan dan ternyata masih relevan/ sesuai dengan keadaan era Millenial seperti saat ini. Hal ini jika dibiarkan akan menimbulkan bias pengetahuan yang mengerikan.
Sebuah keadaan keberagamaan tanpa dilandasi keilmuan, pengetahuan dan literasi memadai (bahasa Islamnya adalah tanpa Sanad) akan berujung kemunduran Islam.
Islam hanya akan menjadi bendera dengan tiang tinggi tanpa makna, karena Ruh Islam adalah pengetahuan, peradaban dan keilmuan. Hemat bahasa penulis adalah khusuk menjadi musuh nyata jika terlanjur dianggap pembenaran dalam keilmuan. Ash-Shawabu Lillah.
- Wikipedia - 31/08/2022
- Ganar Bonificación - 29/08/2022
- Gratowin Connexion - 25/07/2022