PeciHitam.org – At-Tufi dalam lintas sejarah pemikiran hukum Islam dikenal sebagai seorang pakar fikih dan usul fikih. Nama lengkapnya yaitu Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin ‘Abd al-Qawi bin ‘Abd al-Karim ibn Sa’id.
Sebutan nama kecil dengan at-Tufi, yang sebenarnya dibangsakan pada sebuah nama desa Tufa di wilayah Sarsar, yang dikenal dengan Sarsar as-Sufla, dekat Bagdad, di mana ia dilahirkan.
Sebutan masyarakat terhadapnya, terkadang ia dikenal dengan panggilan Najmuddin al-Bagdadi at-Tufi, dan juga Ibn Abbas . Mengenai tahun kelahirannya para biographer berbeda pendapat.
Al-Hafiz ibn Hajar menetapkan bahwa ia dilahirkan pada tahun 657 H. Ibn Rajab dan Ibn al-‘Imad menetapkan at-Tufi dilahirkan tahun 670 H.
Sumber lain menyebutkan bahwa at-Tufi dalam menjalani masa hidupnya tahun 657-716 H./1259-1316 M. Tentang tahun wafatnya, para biographer juga berbeda pendapat.
Mereka (Ibn Rajab, Ibn Hajar, dan Ibn al-‘Imad) sepakat menetapkan bahwa at-Tufi wafat tahun 716 H. As-Suyuti menetapkan at-Tufi wafat tahun 711 H. Sedangkan as-Safadi menetapkan at-Tufi wafat tahun 710 H. Sementara Abdul Wahab Khallaf menetapkan bahwa Najmuddin at-Tufi al-‘Alim al-Hanbali wafat pada tahun 716 H.
Mencermati tahun kelahiran dan wafat at-Tufi di atas menurut penulis tampaknya yang logis dan mendekati kebenaran adalah para biographer yang menetapkan tahun 657-716 H./1259-1316 M., karena disebutkan dengan lengkap.
Mengkritisi tahun kelahiran at-Tufi (657 H./1259 M.) dalam perspektif sejarah, berarti satu tahun sebelum kelahirannya terjadi peristiwa besar, yaitu pasukan Mongol menyerbu kota Bagdad yang dipimpin oleh Hulaghu Khan pada 1258 M.
Jatuhnya kota Bagdad disebabkan serangan tentara Mongol ini merupakan tragedi yang sangat memilukan dalam lintas sejarah umat Islam. Karena secara langsung ataupun tidak merupakan titik awal kemunduran dan kehancuran umat Islam, baik secara politik maupun kehidupan sosial dan ilmu pengetahuan.
Qamaruddin Khan (1983: 37) mengemukakan bahwa pada waktu itu terjadi pembakaran karya-karya yang sangat berharga sehingga banyak karya yang tidak bisa diselamatkan.
Umat Islam sangat kehilangan dokumentasi ilmu pengetahuan sebagai warisan intlektual generasi sebelumnya. Tragedi ini berdampak negatif bagi dunia Islam, karena di satu sisi kondisi politik pemerintahan tidak kondusif, dan di sisi lain pergulatan pemikiran dan pemahaman hukum Islam mengalami kemandegan dan kemunduran yang cukup lama, yaitu sejak pertengahan abad IV H. hingga akhir abad XIII H .
Kondisi ini memperlihatkan bahwa kebebasan berpikir para ulama nyaris menjadi hilang, mereka enggan melakukan berijtihad melampaui para imam mazhabnya, mereka tidak sanggup menggali langsung dari sumber aslinya (al-Qur’an dan sunnah), mereka lebih suka bertaklid dan berpegang pada pendapat para imam mazhabnya, kalaupun ada upaya-upaya untuk berijtihad tidak lebih hanya sekedar mengkompromikan di antara berbagai pendapat (al-jam’ wa al-tauqif), mentakhrij riwayat, dan mengeluarkan causa legis (‘illat al-hukm), serta menyelesaikan berbagai permasalahan atas dasar penetapan hukum yang telah dirumuskan oleh para imam mazhabnya.
Dilihat dari proses pendidikan dan kegiatan Intlektualitasnya, at-Tufi belajar berbagai disiplin ilmu kepada para ulama yang terkenal sebagai pakar di masanya.
Di antara disiplin ilmu yang ia pelajari adalah ilmu tafsir, hadis, fikih, mantik, sastra, dan teologi. Sedangkan berbagai tempat ilmu yang pernah ia datangi adalah Sarsari, Bagdad, Damaskus, Mesir, dan tempat-tempat lain yang ketika itu dikenal sebagai tempat domisilinya para ulama intlektual yang masyhur.
At-Tufi pendidikan dasarnya dimulai dari kota kelahirannya dengan belajar kepada beberapa orang guru (ulama). Ia mempelajari dan menghafal kitab fikih Mukhtasar al-Kharaqi (ringkasan buku al-Kharaqi) karya Umar bin al-Husein bin Abdullah bin Ahmad al-Kharaqi, dan kitab al-Luma’ (Spesifikasi Gramatika Bahasa Arab) karya Abu al-Fath Usman bin Jani.
Kemudian ia juga bulak balik ke Sarsar untuk melanjutkan belajar ilmu fikih kepada Syaikh Zainuddin ‘Ali bin Muhammad as-Sarsari, salah seorang pakar fikih mazhab Hanbali yang dikenal dengan sebutan al-Bauqi. Pada tahun 691 H.
Ia pindah pergi ke kota Bagdad untuk belajar dan menghafal kitab fikih al-Muharrar (sebuah buku pegangan mazhab Hanbali), dan mendiskusikannya dengan Syaikh Taqiyuddin az-Zarirati, salah seorang pakar fikih Irak.
Di samping itu, ia belajar bahasa arab, dan ilmu saraf kepada Abu Abdullah Muhammad ibn al-Husein al-Musili, dan belajar ilmu usul fikih kepada Nasr al-Faruqi, dan ulama yang lainnya.
Kemudian, ia juga belajar ilmu hadis kepada al-Rasyid bin al-Qasim, Isma’il bin al-Tabbal, Abdurrahman bin Sulaiman al-Harani, Abu Bakar al-Qalanisi, dan kepada ulama-ulama hadis yang lainnya (Mustafa Zaid, t.t.: 70-71).
Dilihat dari segi produktifitas pemikiran dan karya-Karyanya. At-Tufi dalam merefleksikan gagasan dan pemikiran-pemikiran hukum Islam-nya, ia lebih dikenal sebagai pakar metodologi pemahaman hukum Islam daripada bidang-bidang ilmu yang lainnya.
Teori supremasi maslahat-nya yang kontroversial di kalangan para pemikir konvensional dan kontemporer menjadikan penilaian tersendiri terhadap kapasitas keilmuan, kapabilitas, intlektualitas, dan akuntabilitas pandangan-pandangannya.
Dengan gagasan dan pemikiran-pemikirannya yang dipandang radikal, liberal dan berani tampil beda, ia dikenal di kalangan para pemikir sebagai ulama yang “nyeleneh”, dan bahkan dituduh sebagai seorang Syi’i, Rafidi, Mu’tazili, Asy’ari, Zahiri dan Hanbali.
At-Tufi sebagai seorang yang hidup diakhir abad VII H. dan di awal abad VIII H./akhir abad XIII dan awal abad XIV M., di mana kondisi kehidupan umat di dunia Islam seperti telah disinggung di atas sedang dalam kondisi jumud (taqlid wa ta’asubiyah) dan gerakan pemikiran hukum Islam mengalami titik kemunduran akibat jatuhnya pemerintahan di Bagdad ke tangan pasukan Mongol, Hulaghu Khan.
Maka dengan semangat kreatifitas ijtihad intlektual at-Tufi dengan gagasan cerdas dan pemikiran – pemikirannya merekonstruksi pola pemahaman hukum Islam dengan teori supremasi maslahat-nya, kemudian ia berupaya menghidupkan dan membuka kembali pintu ijtihad, dan mendobrak taklid, fanatik mazhab dan statisitas pemikiran hukum Islam.
Gerakan olah pikir dan upaya-upaya ijtihad intlektualitasnya ini tidak sebatas dalam pemikiran, tetapi ia refleksikan dalam karya-karya ilmiahnya tidak kurang dari 42 buah buku.