Pecihitam.org – Dalam ilmu tauhid, takdir adalah yang merujuk pada qadha atau keputusan Allah yang telah tertulis di lauhul mahfudz dari sebelum dunia tercipta. Dan semua yang terjadi di alam kehidupan dunia ini semua adalah ketentuan Allah Swt. Jika demikian bisakah manusia mengubah takdir?
Dalam QS. Al-Hadid Allah menerangkan bahwa;
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah” (QS. Al-Hadid;22)
Usaha manusia atau hal yang dilakukan oleh manusia berupa sebuah tindakan yang rasional atau bahkan do’a yang manusia panjatkan kepada Allah semuanya sudah tertulis di lauh mahfudz. Jadi semua apa yang terjadi di dunia ini sudah Allah tuliskan meskipun sekecil zarah atau molekul. Dan tak ada kejadian sedikitpun yang tidak Allah ketahui dan Allah kehendaki.
Begitu yang Allah firmankan dalam QS. Saba’: 3
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لَا تَأْتِينَا السَّاعَةُ ۖ قُلْ بَلَىٰ وَرَبِّي لَتَأْتِيَنَّكُمْ عَالِمِ الْغَيْبِ ۖ لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ وَلَا أَصْغَرُ مِنْ ذَٰلِكَ وَلَا أَكْبَرُ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Tidak ada yangg tersembunyi bagiNya sekalipun seberat zarrah baik yang dilangit maupun dibumi, yang lebih kecil dari itu atau yang lebih besar, semuanya tertulis dalam kitab yang jelas (lauhh Mahfudz)
Jadi, bisakah manusia mengubah takdir dirinya sendiri? Jawabannya tidak ada, karena pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan iya ataupun tidak. Sehingga apabila ada seseorang manusia dengan sadar memilih untuk berusaha keras agar hidupnya yang miskin berubah menjadi kaya, sesungguhnya bukan karena dia yang merubahnya sendiri semuanya atas kehendak Allah SWT.
Pada dasarnya bukan takdirnya yang miskin, kemudian dia melawan agar menjadi kaya, namun apa yang dia lakukan sebagai usahanya juga termasuk bagian dari takdir.
Takdir terjadi selaras dengan keadaan yang ada dan yang terjadi, bukan sesuatu yang ada dan bisa ditentang maupun dilawan. Kemudian bagaimana dengan obat apakah itu hal yang melawan takdir pula?
Meminum obat juga bagian dari takdir, dimana bisa dikatakan sebagai bentuk ikhtiar dalam penyembuhan penyakit, karena Allah telah mentakdirkan dia untuk berobat dan obat tersebut hanya sebagai perantara saja.
Namun pada zaman sekolah dasar kita pernah mendapatkan pelajaran tentang takdir mubram dan takdir muallaq. Sesungguhnya tidak ada yang tahu mana yang takdir mubram dan mana yang takdir muallaq.
Do’a yang dipanjatkan tidak dapat mengubah kenyataan yang ada, semuanya dipercaya hanya meminimalisir, misalkan do’a tolak bala, itu bukan bertujuan untuk menghilangkan bala namun berusaha untuk meminimalisir bala yang datang.
وأما الأول فالدعاء وإن لم يرفعه لكن الله تعالى ينزل لطفه بالداعى كما إذا قضى عليه قضاء مبرما بأن ينزل عليه صخرة فإذا دعا الله تعالى حصل له اللطف بأن تصير الصخرة متفتتة كالرمل وتنزل عليه
“Adapun perihal pertama (qadha mubram), (peran) doa meskipun tidak dapat menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan kelembutan-Nya untuk mereka yang berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan qadha mubram kepada seseorang, yaitu kecelakaan berupa tertimpa batu besar, ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka kelembutan Allah datang kepadanya, yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi remuk berkeping-keping sehingga dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang jatuh menimpanya,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 91).
Namun kita juga sering mendengar bahwa sedekah dapat mengubah bala yang ditakdirkan Allah, dalam kitab karangan Syeikh M. Ibrahim Bajuri juga mengatakan bahwa:
والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل ويتلقاه الدعاء فيتعالجان إلى يوم القيامة. والدعاء ينفع في القضاء المبرم والقضاء المعلق. أما الثانى فلا استحالة في رفع ما علق رفعه منه على الدعاء ولا في نزول ما علق نزوله منه على الدعاء
“Doa bermanfaat terhadap apa yang datang dan apa yang belum datang (dari langit). Bala pun akan datang dan bertemu dengan doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa ‘berperang’ hingga hari qiamat. Doa bermanfaat pada qadha mubram dan qadha muallaq. Perihal yang kedua (qadha muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan apa (putusan) yang penghilangannya digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa (putusan) yang penghadirannya digantungkan pada doa,” (Lihat Syekh M Ibrahim Al-Baijuri, Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, [Indonesia, Daru Ihyail Kutubil Arabiyyah: tanpa catatan tahun] halaman 91).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa bisakah manusia mengubah takdir? Jawabannya bukan iya, juga bukan tidak karena semua yang ada di dunia dan keseluruhan adalah takdir yang telah Allah tuliskan di Lauhul Mahfudz. Hingga apa yang dilakukan oleh semut sekalipun. Lalu bagaimana dengan takdir muallaq dan mubram? Antara dua takdir itu tidak ada yang tahu namun sebagai makhluk hidup kita hanya bisa berusaha dan ikhtiar dari apa yang Allah takdirkan.
Sepertihalnya doa adalah ikhtiar kita dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, kemudian meminum obat ketika sakit, itu juga bentuk ikhtiar kita yang telah Allah takdirkan. Maka bukan berarti ketika takdir tidak bisa dirubah maka kita tidak melakukan apapun, selalu menjalankan kewajiban sebagai bentuk ikhtiar juga ketaatan kita kepada Allah dalam menjalani hidup. Wallahua’lam bisshawab.