Bolehkah Seorang Anak Menolak Perjodohan Orang Tua?

Bolehkah Seorang Anak Menolak Perjodohan Orang Tua

Pecihitam.org – Kita hari ini memang tidak lagi hidup di zaman Siti Nurbaya, tapi masih sering kita temukan pada sebagian masyarakat di mana orang tua menjodohkan anak perempuannya dengan laki-laki yang menurut mereka terbaik.

Dalam kondisi demikian, ada anak yang bersikap sam’an wa tha’atan, namun tak jarang pula yang menolak, bahkan darinya tak sedikit berujung pada konflik antara anak dan orang tua. Masing-masing punya alasan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Bagi orang tua, perjodohan dilakukan agar anak menikah dengan laki-laki yang tepat sehingga kelak tidak hidup sengsara. Anak punya alasan yang juga perlu diperhatikan. Anak menolak perjodohan biasanya dengan dua faktor. Pertama, karena laki-laki yang dijodohkan tak sesuai dengan kriteria yang ia suka. Kedua, bisa jadi sang anak sudah memiliki pilihan lain yang menurutnya terbaik.

Bagaimanakah Fiqh memandang hal ini? Bolehkah seorang anak menolak perjodohan orang tua?

Untuk faktor pertama, yakni ketika calon suami pilihan orang tua bukan orang baik, semisal orang yang sering meninggalkan shalat, sementara sang anak termasuk orang yang rajin shalat, maka anak boleh menolak bahkan jika orang tua tetap ngotot untuk menikahkan anaknya, nikahnya dihukumi tidak sah. Karena tak memenuhi syarat haqqul ijbar yang telah ditetapkan.

Hal ini sebagaimana fatwa yang terdapat dalam Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra Juz IV halaman 100 – sebuah kitab kumpulan fatwa dalam Madzhab Syafi’i yang dikeluarkan Ibnu Hajar al-Haitami yang disusun oleh salah seorang murid beliau.

Baca Juga:  Hukum Trading Forex, Emas dan Index Berjangka Dalam Pandangan Fiqih

(وسئل) عمن زوج بنته من تارك الصلاة إجبارا هل يصح أو لا لفسقه وهي كثيرة الوقوع جدا ؟ (فأجاب) بقوله إذا كانت بنته مصلية لم يصح تزويجها إجبارا من تارك الصلاة لأنه غير كفء فلا بد في صحة تزويجها منه من رضاها به بعد بلوغها إذ من شروط إجبار الولي أن يكون الزوج كفؤا كما صرحوا به

Imam Ibnu Hajar ditanya tentang orang yang menikahkan anaknya secara paksa dengan seorang yang gemar meninggalkan shalat, apakah sah atau tidak, karena kebanyakan orang yang meninggalkan shalat adalah fasiq? Beliau menjawab dengan perkataannya: Jika anak perempuannya termasuk orang yang rajin shalat, maka tidak sah menikahkannya secara paksa dengan orang yang gemar meninggalkan shalat, karena ia bukan orang yang kufu’ (sepadan). Sahnya menikahkan perempuan yang sudah baligh harus dengan keridhaannya. Karena sebagian dari haqqul ijbar seorang wali adalah calon suami harus kufu’, sebagaimana telah dijelaskan oleh para ulama’.

Untuk faktor kedua, ketika sang anak sudah punya pilihan yang juga merupakan laki-laki yang baik, dalam hal ini para ulama beda pendapat. Pendapat pertama yang merupakan qaul ashah mengharuskan anak untuk ikut pada pilihan orang tua. Ini karena biasanya anak orientasinya lebih pada kesenangan yang sementara. Sedangkan pilihan orang tua tentunya telah mempertimbangkan semua segi.

Baca Juga:  Pahamilah! Ini Tata Cara Rukuk Sebagai Rukun Shalat Kelima

Pendapat kedua yang dipilih oleh Imam Subky adalah anak boleh menolak perjodohan orang tua dan sebaliknya orang tua harus mengikuti kemauan anaknya. Ini sebagai langkah agar tidak terjadi hal-hal negatif yang tidak diinginkan.

Lebih lanjut Imam Adzra’i memberikan opsi yang sangat bijak. Hemat beliau, jika pilihan sang anak mempunyai nilai lebih dalam ketampanan dan kekayaan, maka orang tua harus mengikuti pilihan anak.

Penjelasan tentang ini bisa dilacak dalam Tuhfatul Muhtaj Juz VII halaman 253

( وَلَوْ عَيَّنَتْ ) مُجْبَرَةٌ ( كُفُؤًا وَأَرَادَ الْأَبُ ) أَوْ الْجَدُّ الْمُجْبِرُ كُفُؤًا ( غَيْرَهُ فَلَهُ ذَلِكَ ) ، وَإِنْ كَانَ مُعَيَّنُهَا يَبْذُلُ أَكْثَرَ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ ( فِي الْأَصَحِّ ) ؛ لِأَنَّهُ أَكْمَلُ نَظَرًا مِنْهَا وَالثَّانِي يَلْزَمُهُ إجَابَتُهَا إعْفَافًا لَهَا وَاخْتَارَهُ السُّبْكِيُّ وَغَيْرُهُ قَالَ الْأَذْرَعِيُّ وَيَظْهَرُ الْجَزْمُ بِهِ إنْ زَادَ مُعَيَّنُهَا بِنَحْوِ حُسْنٍ أَوْ مَالٍ

Jika seorang anak menentukan pilihan pada laki-laki yang kufu’, sementara bapak atau kakeknya yang punya haqqul ijbar menentukan pilihan pada laki-laki lain yang juga kufu’, menurut qaul ashah, pilihan bapak yang berlaku walaupun pilihan anak sanggup membayar mas kawin lebih. Karena bapak lebih sempurna pertimbangannya daripada anak. Menurut pendapat yang dipilih oleh Imam Subky dan ulama lain yang sepaham dengan beliau, orang tua harus memenuhi permintaan anak untuk menjaga hal-hal tak diinginkan terjadi pada anak. Imam Adzra’i berkata: Keharusan mengikuti permintaan anak menjadi semakin kuat jika laki-laki pilihan anak mempunyai nilai lebih, misalnya dari segi ketampanan atau harta.

Demikianlah ulasan tentang hukum anak menolak perjodohan orang tua. Semua tergantung situasi dan kondisinya. Karena pernikahan merupakan hal sakral, alangkah lebih baik jika masing-masing antara orang tua dan anak duduk bersama untuk menetapkan pilihan yang terbaik.

Baca Juga:  Bolehkah Menggoreng Ikan Hidup-Hidup? Para Ulama Berbeda Pendapat dalam Menghukuminya

Tidak ada orang tua yang ingin anaknya hidup menderita. Pun begitu, seorang anak juga punya hak untuk memilih calon imamnya. Karena suami yang mendampinginya kelak, tentu ia dambakan adalah orang yang saling mencintai. Dengannya ia akan memadu kasih tak hanya di alam fana’, tetapi hingga ke alam baqa.

Faisol Abdurrahman

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *