Pecihitam.org – Sejak zaman Nabi hingga kini, tradisi penafsiran terus menerus berjalan. Semangat untuk menafsirkan atau menarik penjelasan dari Al-Qur’an merasuk ke dalam dada kaum muslim pada setiap zaman dan tempat.
Al-Qur’an sebagai kitab dan pedoman hidup umat Islam merespons banyak umat Islam untuk berbondong-bondong untuk bisa memahami dan mendalami isi yang ada di dalam Al-Quran.
Tidak hanya itu, banyak para mufasir ( penafsir Al-Qur’an) menggunakan berbagai macam sudut pandang untuk bisa mengkontekstualisasikan setiap kandungan ayat-ayat Al-Qur’an. Hal tersebutlah yang melatarbelakangi munculnya berbagai macam corak tafsir yang ada di lingkungan muslim, termasuk yang ada di Nusantara.
Penduduk Indonesia memeluk Islam sebagai agama yang sah dan meyakini kebenaran ajarannya semenjak kedatangan Islam di Nusantara. Bertepatan dengan kedatangan Islam, para ulama pembawa agama Islam dan pengikutnya telah melakukan pemaknaan, pemahaman dan penafsiran terhadap Al-Qur’an sebagai kitab suci dan sumber agama. Atau paling tidak mereka telah melakukan penerjemahan kosa kata atau ayat Al-Qur’an ke dalam bahasa melayu atau bahasa Indonesia.
Penelusuran sejarah corak tafsir di Nusantara pada masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan Islam tidak semudah penelusuran sejarah pertumbuhan dan perkembagan bidang kajian lain.
Seperti contoh ketika abad ke-14. Corak tafsir yang ada di Nusantara waktu itu masih sangat sederhana, para wali menggunakan pendekatan budaya dan tradisi seperti pewayangan, langgam, dan beberapa kidung yang di buat para Walisongo.
Komponen-komponen tradisi tersebutlah yang dapat membuat masyarakat pada waktu itu banyak yang memeluk agama Islam. Selain itu, banyaknya masyarakat pada wkatu itu belum mengerti baca dan tulis Al-Qur’an sehingga para wali menggunakan pendekatan budaya dan tradisi dalam membumikan Al-Qur’an.
Bentuk dan pola penafsiran Al-Qur’an dalam sejarah pertumbuhan dan pembentukan tradisi tafsir Nusantara, tumbuh berkembang secara bertahap dan variatif. Hal ini berbeda dengan pertumbuhan dan pembentukan tradisi tafsir pada masa klasik.
Para penafsir di Indonesia tidak serta merta melakukan penafsiran secara ketat dan normatif sebagaimana uraian tafsir yang ada di dalam buku-buku tafsir yang telah dihasilkan oleh mufasir klasik.
Kemudian seiring perkembangan zaman, perkembangan tafsir sudah mulai mengalami kemajuan. Usaha penafsiran kitab suci Al-Qur’an di Indonesia menemukan bentuknya pada abad ke 17. Melalui karya syaikh Abd Rauf bin Ali al-Fansuri (1615-1693 M), seorang ulama besar kelahiran Aceh yang dikenal dengan panggilan Abd Rauf al-Singkel.
Dalam sebuah buku yang ditulis oleh Peter G.Riddell berjudul Tafsir Klasik di Indonesia, Mimbar agama dan Budaya. Ia menjelaskan bahwa ulama besar sebelum al-Singkel, seperti Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Nuruddin al-Raniri sebetulnya telah melakukan kegiatan penafsiran Al-Qur’an.
Pembuktiannya, dapat kita lihat dalam karya-karya mereka. Seperti ditemukannya terjemahan dan tafsiran ayat-ayat al-Qur’an ke dalam bahasa Melayu. Namun hanya saja pengungkapan, terjemahan dan penafsiran ayat-ayat tersebut baru ditemukan pada bagian pertengahan pembahasan dan ditampilkan dalam membahas berbagai masalah. Ayat-ayat Al-Qur’an satu demi satu dipakai untuk membantu memecahkan masalah-masalah tersebut.
Oleh sebab itu, perkembangan awal tradisi keilmuan tafsir di Nusantara, ditandai dengan pengenalan agama melalui upaya pemaknaan dan pemahaman kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber agama. Di mana bentuk dan pola penafsirannya tumbuh berkembang secara bertahap dan variatif.
Tidak sedikit ulama yang menciptakan karya yang merupakan cikal bakal perkembangan keilmuan Islam di Indonesia. Seperti halnya Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Abd. Rauf Singkili. Mereka adalah tokoh dan ulama yang masyhur dan mahir, dimana dalam perjalanan karier dan karyakaryanya dipengaruhi oleh pemikiran sufistik.