Empirisme David Hume dalam Melihat Negara Pancasila

David Hume dalam Melihat Negara Pancasila

Pecihitam.org – Seorang filsuf Barat yang pemikirannya lebih cenderung pada empirisme. Di mana pada pemikiran empirisme David Hume sebenarnya mengembangkan filsafat empiris John Locke dan George Barkeley menjadi lebih logis dan konsisten.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

David Hume berpendapat bahwa “aku” hanyalah kumpulan dari persepsi (berupa kesadaran). Dimana dalam persepsi itu sendiri akan muncul kesan-kesan, yang akan membentuk diri saya atau “aku”. Jadi sebenarnya aku disini tidak bisa dilihat secara langsung atau tidak bisa berdiri sendiri, tanpa adanya pengamatan lain di luar diri “aku” sendiri.

Hume juga menjelaskan bahwa manusia tidak membawa pengetahuan bawaan ke dalam hidupnya, karena sumber pengetahuan adalah pengamatan. Dari pengamatan sendiri memberikan dua hal yaitu kesan-kesan (impression) dan pengertian atau gagasan atau ide-ide.

Dimana yang dimaksud dengan kesan-kesan adalah pengamatan langsung yang diterima dari pengalaman, baik pengalaman bathiniah (intern) maupun pengalaman lahiriah (ekstern) yang menampakkan diri dengan jelas, hidup dan kuat.

Sedangkan gagasan atau ide adalah gambaran tentang pengamatan yang redup, samar-samar, dan dihasilkan dari proses merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima dari pengalaman.

Ide hanyalah sebagai pengulangan (copy) dari kesan-kesan , sehingga isi dari kesan maupun ide adalah sama. Ide kompleks dapat diturunkan menjadi ide sederhana untuk menemukan pengetahuan yang benar. Jadi setiap kesan sederhana akan memunculkan ide yang sederhana.

Namun, sebuah ide kompleks tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks. Hume mencoba menjelaskan hubungan antara kesan dan ide dengan menyatakan bahwa keduanya dipandang dari segi simplisitas atau kompleksitasnya, dapat dibagi menjadi dua kategori.

Baca Juga:  Bung Karno: Pancasila adalah Pemberian Allah Ta'ala

Sebuah kesan yang kompleks tersusun atas kesan-kesan yang sederhana. Selain itu, setiap ide yang sederhana berasal dari kesan tunggal (sederhana) yang berhubungan secara langsung (yang menyerupainya) atau dengan kata lain setiap kesan sederhana akan memunculkan ide yang sederhana. Namun di sisi lain, sebuah ide kompleks tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks.

Jika dikaitkan antara teori empirisme David Hume dengan kondisi negara Indonesia saat ini, di mana terdapat istilah Pancasilais dan anti-Pancasilais (pro Islamisme).

Hal ini memberi kesan awal bahwasannya dalam hubungan atau urusan bernegara setiap orang selalu terikat dengan persepsi lingkungan di sekitarnya baik sosial, budaya, maupun latar belakang agama.

Setelah terjadinya kesan, kemudian memunculkan ide baru mengenai kehidupan berbangsa dan benegara bahwa Pancasila adalah sebuah doktrin pemerintah saja untuk mengatur setiap warga negaranya.

Kesan-kesan maupun ide-ide mengenai kehidupan bernegara muncul karena adanya sebab-akibat maupun aksi-reaksi dalam sebuah hubungan antara warga negara dengan pemimpinnya maupun antara sesama negarawan. Bahkan berbagai ormas terutama ormas Islam menyayangkan adanya percabangan dua kutub antara Pancasilais dan anti-Pancasilais.

Dari ide-ide kompleks dapat dikembangkan dari variasi kesan sederhana atau kompleks, ataupun disusun dari ide-ide sederhana. Contohnya saat kita membayangkan kondisi suatu kelompok masyarakat dalam sebuah negara tanpa pernah melihat unsur-unsur dari ide tersebut yang kompleks antara kesan tentang masyarakat dan kesan negara.

Baca Juga:  Ketika Felix Siauw 'Eks HTI Bicara Pancasila

Hal itu membuktikan bahwa kesan lebih dominan daripada ide, buktinya bisa dilihat melalui pengalaman. Contohnya saja seseorang tidak akan mampu mengetahui makna dari Pancasila jika sebelumnya dia tinggal di luar dan diajarkan doktrin ideologi selain Pancasila seperti Liberalis maupun Komunis.

Hal itu akan membuat seseorang tidak akan benar-benar bisa mengetahui kebenaran dari makna Pancasila dan pengaplikasiannya dalam kehidupan bebangsa dan bernegara.

Dari semua ide itu, yang masih tetap memiliki derajat kehidupan (vivasity) dari kesan aslinya tergolong sebagai memori, sedangkan yang lainnya tergolong ke dalam imajinasi. Namun dari ide kompleks tidak selalu memiliki kesan yang berhubungan dengan ide itu.

Banyak pula kesan yang kompleks yang tidak direkam dalam ide kita. Seperti saat kita membayangkan negara Pancasila, bagaimana seseorang mampu mengetahui gambaran jelasnya jika sebelumnya Pancasila hanya dijadikan sebagai simbol negara justru bukan sebagai identitas maupun jati diri bangsa dan negara.

Kesan sebenarnya lebih fundamen (menjadi dasar) dari ide-ide yang ada. Karena tanpa kesan maka sulit untuk membentuk ide, yang ada hanya khayalan atau imajinasi saja. Hal ini berlaku dalam menerapkan kesan-kesan mengenai Pancasila sehingga terbentuklah negara Pancasila, sehingga negara Pancasila bukan hanya menjadi imajinasi saja.

Baca Juga:  Jangan Tertipu Khilafah dan Komunisme, Pancasila Sudah Sakti

Menurut Hume, di dalam aliran empiris terdapat tiga prinsip pertautan ide. Pertama, prinsip kemiripan yaitu mencari kemiripan antara apa yang ada di benak kita mengenai negara Pancasila dengan kenyataan di luar mengenai realitas kehidupan negara Indonesia.

Kedua, prinsip kedekatan, misalnya apabila kita memikirkan sebuah negara maka berdasarkan prinsip kedekatan kita juga berpikir tentang adanya kekuasaan, kebijaksanaan dan keadilan sesuai dengan gambaran bernegara yang kita dapatkan lewat pengalaman inderawi sebelumnya.

Ketiga, prinsip sebab akibat yaitu jika kita memikirkan suatu keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka pastinya akan kita temkan pula kedamaian.

Bagi Hume, ilmu pengetahuan tidak pernah mampu memberi pengetahuan yang niscaya tentang dunia ini. Kebenaran yang bersifat a priori seperti ditemukan dalam matematika, logika dan geometri memang ada. Namun menurut Hume, hal itu tidak menambah pengetahuan kita tentang dunia. Pengetahuan kita hanya bisa bertambah lewat pengamatan empiris atau secara a posteriori.

Indriani Pratami
Latest posts by Indriani Pratami (see all)