Doa Belajar Filsafat dan Tasawuf, Bagus Untuk Dibaca, Amalkanlah!

Doa Belajar Filsafat dan Tasawuf, Bagus Untuk Dibaca!

Pecihitam.org – Sebagaimana disinggung dalam tulisan Filsafat sebagai Warisan Islam yang Mengagumkan, dalam sejarahnya umat Islam pernah mengalami suatu masa (abad ke-15 M) ketika filsafat memiliki kedudukan tertinggi dan terpenting dalam perkembangan keilmuan.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di tangan para ulama dan cendekiawan muslim filsafat menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang memicu lahirnya perkembangan ilmu pengetahuan dan akhirnya puncak peradaban Islam. Maka sudah sepatutnya umat Islam melestarikan warisan yang telah ditinggalkan para ulama sekaligus filosof muslim itu.

Sungguh sayang, di kalangan umat Islam filsafat kini bukanlah bidang pengetahuan yang populer. Kajian-kajian filsafat relatif kurang mendapat perhatian. Sebagian besar generasi muda muslim bahkan kurang tertarik untuk bergelut dalam studi Filsafat Islam. Filsafat bahkan ditakuti dengan berbagai tuduhan, dari bisa membuat gila sampai menghancurkan akidah dan menyesatkan.

Banyak faktor yang dapat kita urutkan untuk mereka-reka mengapa filsafat Islam kurang diminati, mulai dari serangan al-Ghazali dan menguatnya ortodoksi hingga fenomena islamisme populis yang menggejala saat ini.

Jika disepakati bahwa yang dimaksud “hikmah” dalam hadits Rasulullah Saw yang berbunyi “hikmah adalah barang yang hilang milik orang beriman…” (HR. Tirmidzi) adalah filsafat, sebagaimana diklaim oleh para filosof muslim, maka barang yang pernah ditemukan itu kini hilang lagi.

Padahal, di tengah kehidupan pasca modern yang kita alami saat ini filsafat keagamaan (seharusnya) mendapatkan momentumnya kembali. Kemajuan sains dan teknologi yang sekuler di era modern ternyata menimbulkan perasaan kecewa karena hilangnya identitas kemanusiaan secara keseluruhan, pudarnya nilai-nilai moral dan merajalelanya materialisme.

Dalam suasana demikianlah hasrat manusia akan nilai-nilai spiritual bangkit kembali. Spritualisme merupakan aspek terdalam (esoteris) atau batiniyah dari agama yang menyediakan hidangan kedamaian dan kebahagiaan jiwa yang memang menjadi tujuan sejati agama. Layaknya tersesat di rimba modernisme, spiritualisme adalah jalan menuju arah pulang.

Baca Juga:  Kasyf, Ketika Hati Bersih dan Hijab-hijab Tersingkap

Jalan spritualisme dapat ditempuh, baik melalui tradisi keagamaan maupun melalui gerakan-gerakan di luar agama-agama resmi. Terlepas dari manapun jalan spiritual tersedia, upaya menempuh spiritualisme setidaknya selalu melibatkan aspek-aspek dan metode-metode yang terkandung dalam filsafat dan tasawuf.

Tasawuf adalah tradisi spiritualisme dalam ruang lingkup agama Islam. Agama-agama lain dan gerakan-gerakan spiritual non-agama resmi tentunya memiliki istilah yang berbeda-beda, namun secara umum prinsipnya kurang-lebih serupa.

Dengan menggunakan bahasa tasawuf, upaya menapaki jalan spiritual dilakukan dengan merasakan suatu pengalaman akan kehadiran suatu Zat Tertinggi yang mengatasi alam semesta dan meresapkan sifat-sifat-Nya ke dalam diri.

Agar dapat merasakan pengalaman semacam itu si salik harus mendisplinkan dirinya secara ketat untuk melakukan teknik-teknik ritual tertentu demi menapaki tahapan-tahapan spiritual (maqam) hingga nantinya ia mencapai tingkatan tertinggi yang di sana ia menemukan kebenaran (hakikat) sejati.

Filsafat tentu saja berbeda dengan tasawuf. Jika tasawuf dan tradisi spiritual lainnya menggunakan intuisi (rasa/ dzauq) sebagai sumber pengetahuannya, maka filsafat menggunakan akal atau rasio demonstratif. Meski demikian, baik filsafat maupun tasawuf mengarah kepada tujuan yang sama, yaitu kebenaran sejati.

Filosof muslim awal, Abu Ya’qub al-Kindi, dalam Fi al-Falsafah al-`Ula menyatakan bahwa: “filsafat adalah pengetahuan tentang realitas hal-hal yang mungkin bagi manusia, karena tujuan puncak filosof dalam pengetahuan teoritis adalah untuk memperoleh kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis untuk berperilaku sesuai kebenaran”. (M. M. Sharif [ed.], 1995: 424)

Baca Juga:  Wajibkah Umat Islam Bertasawuf? Ini Penjelasannya

Syuhrawardi dengan filsafat isyraqiyah-nyamelampauinya dengan melibatkan intuisi sebagai konstruksi filsafat. Di sini peran pengalaman kontemplatif menempati posisi yang lebih unggul atas rasio Aristotelian sebagaimana ditampakkan oleh filsafat peripatetik. (Nasr & Leaman [ed.], 2003: 580-581).

Filsafat disebut Syuhrawardi dengan istilah al-hikmah al-ilahiyah (kebijaksanaan ilahi atau Teosofi), yang berarti realisasi kebijaksanaan dalam sosok utuh manusia yang diidentifikasikan dengan proses pelepasan diri dari tubuh dan pendakian ke dunia cahaya.

Mulla Shadra mendefinisikan filsafat atau hikmah lebih jauh lagi. Ia menggambarkan hikmah sebagai upaya pencarian kebenaran dengan peran rasio dan intuitif sekaligus.

Mulla Shadra setuju dengan pendapat filosof-filosof peripatetik bahwa filsafat bertujuan membuat manusia “menjadi sebuah dunia yang intelijibel yang menceritakan dunia intelijibel yang objektif”, namun ia juga menambahkan bahwa filsafat juga menginginkan keterceraian dari nafsu dan kesucian jiwa dari cemaran-cemaran materiilnya. (ibid, 2003: 34).

Contoh-contoh definisi filsafat oleh para filosof muslim di atas menunjukkan bahwa filsafat dalam tradisi keislaman mengandung unsur spiritual dan berjalan beriringan dengan tasawuf atau tradisi-tradisi spiritual lainnya. Sifat inilah yang membedakan filsafat keagamaan dengan filsafat modern.

Dalam Islam Tuhan Islam Manusia (2017: 93-98) Haidar Bagir menjelaskan bahwa era modern yang ditandai dengan kemajuan sains telah menjadikan filsafat terlepas dari metafisika transendental, lalu dengan sendirinya filsafat modern bersifat sekuler.

Dampaknya lebih besar lagi, sains juga memisahkan diri dari filsafat dan selanjutnya kita mengetahui apa saja yang ditimbulkan oleh filsafat dan sains yang sekuler itu.

Baca Juga:  Pengertian dan Metode Filsafat Hukum Islam

Dengan demikian, sikap sinis yang ditunjukkan kepada filsafat secara keseluruhan yang dianggap membingungkan, membuat gila dan menghancurkan akidah sebenarnya salah alamat. Sinisme semacam itu tidak berlaku bagi filsafat keagamaan, khususnya filsafat Islam.

Maka dari itu, sebagai alternatif bagi upaya mencari jawaban bagi berbagai persoalan hidup di era pasca modern, sekaligus sebagai warisan ulama di masa keemasan, filsafat dan tasawuf patut dipelajari oleh generasi muslim masa kini dan masa mendatang.

Karena karakteristik spiritual yang terkandung dalam filsafat dan tasawuf, patutlah kiranya jika dalam mempelajari keduanya seorang pembelajar mengawalinya dengan mengucapkan doa, pintu masuk pertama dalam menapaki jalan spiritual.

Doa belajar filsafat dan tasawuf ini disebutkan oleh Muhammad Iqbal dalam Reconstruction of Religious Thought in Islam (terj. Oleh Hawasi dan Musa Kazhim, 2016: 3) yang bacaannya:

اَللَّهُمَّ أَرِنَا حَقَائِقَ الأَشْيَاءِ كَمَا هِيَ

Tuhanku, singkapkanlah padaku hakikat-hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya.”

Doa belajar filsafat dan tasawuf tersebut bersumber dari Hadis Nabi Saw yang ditemukan dalam karya-karya tokoh sufi terkemuka, seperti Kasyf al-Mahjub karya al-Hujwiri, Matsnawi Jalaluddin Rumi dan lain-lain.

Akhirnya, selamat belajar filsafat dan tasawuf. Semoga Tuhan memberikan kenikmatan dalam belajar dan membukakan tabir yang menghalangi kita dari kebenaran sejati.

Yunizar Ramadhani