Pecihitam.org – Salah satu keprihatinan yang dirasakan Rasulullah SAW adalah ketika beliau tidak bisa mengislamkan pamannya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib. Abu Thalib adalah seorang pembela dan pendukung perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan Islam namun sampai akhir hayatnya ia tak mau masuk Islam.
Nama aslinya ialah Imran bin ‘Abdul Muṭṭalib, tetapi ia lebih dikenal dengan julukan Abu Thalib, yang artinya bapaknya Thalib. Ia lahir di Mekkah 539 M – meninggal 619M.
Sebagai pemimpin Bani Hasyim setelah kematian ayahnya, Abdul-Muththalib, ia menjadi pengasuh keponakannya yaitu Nabi Muhammad dan kemudian pendukung utama dalam berdakwah. Ia menikah dengan Fatimah binti Asad dan memiliki 6 orang anak salah satunya adalah Ali bin Abu Thalib.
Saat itu, kaum Quraisy merasa terancam ketika Rasulullah Saw mendakwahkan ajaran Islam dan mereka berharap kepada Abu Thalib untuk menghentikan dakwah keponakannya itu. Meski demikian Abu Thalib tetap mempertahankan dukungannya terhadap sang keponakan dalam menyebarkan dakwah Islam walaupun tekanan dan teror terus datang dari kaum Quraisy
Sayangnya, meski berstatus sebagai paman yang membesarkan dan pembela dakwah Nabi Muhammad Saw, hingga akhir hayatnya Abu Thalib tidak mau masuk Islam dan mengimani ajran keponakannya sendiri. Hingga Rasulullah Saw pun pernah berdoa:
لَعَلَّهُ تَنْفَعُهُ شَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَيُجْعَلُ فِي ضَحْضَاحٍ مِنْ نَارٍ يَبْلُغُ كَعْبَيْهِ ، يَغْلِي مِنْهُ دِمَاغُهُ
“Semoga syafaatku bermanfaat baginya kelak di hari kiamat. Karena itu, dia ditempatkan di neraka yang paling dangkal, api neraka mencapai mata kakinya lantaran itu otaknya mendidih.” (HR Bukhari dan Muslim).
Namun, Allah SWT tak memberikan hidayah kepada pamannya itu. Karena bagaimanapun hidayah adalah hak prerogatif Allah yang hanya diberikan kepada manusia yang dikehendaki-Nya.
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ ۚ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” (QS al-Qashshash: 56).
Sebagai manusia akhir zaman sejatinya kita wajib bersyukur, meski hidup jauh dari zaman Nabi SAW dan para sahabatnya, kita diberi nikmat berupa hidayah untuk mengimani Allah dan Rasul-Nya. Bukankah itu adalah karunia dan nikmat yang tak ternilai harganya.
Sebagai ibrah, kita bisa melihat perjuangan Nabi Nuh AS yang sekian lama berdakwah demi mengajak umatnya beriman kepada Allah. Akan tetapi, hingga usianya hampir seribu tahun (950 tahun), hanya sedikit kaumnya yang beriman kepada Allah SWT. Bahkan, anak dan istri yang disayanginya pun tidak mau mengikuti seruan Nabi Nuh AS untuk beriman kepada Allah SWT.
Kisah yang hampir samaa juga dialami oleh Nabi Ibrahim AS sang bapak Tauhid. Meski Nabi Ibrahim AS adalah orang yang kokoh imannya kepada Allah SWT, namun ia tak mampu mengajak orang tuanya untuk mengikuti ajaran yang dibawanya.
وَكَذَٰلِكَ نُرِي إِبْرَاهِيمَ مَلَكُوتَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِينَ
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan yang ada di langit dan di bumi agar dia termasuk orang-orang yang yakin.” (QS al-An’am: 75).
Oleh karenanya kita wajib sadar, bahwa sejatinya kita yang bukan siapa-siapa ini sudah diberikan nikmat hidayah oleh Allah untuk mengenal keagungan-Nya.
وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
“…Dan Allah selalu memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (QS al-Baqarah [2]: 213).
Maka sudah selayaknya kita banyak bersyukur dengan cara terus menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi semua yang dilarang-Nya agar nikmat keimanan itu tak lepas dari badan.
Betapa sengsara dan celakanya bila Allah mencabut hidayah itu dari diri kita sebagaimana Allah mencabut hidayah-Nya dari orang-orang yang suka berbuat durhaka dan aniaya. Hidayah itu begitu mahal karena ia akan mengantarkan seseorang pada kasih sayang Allah dan surga-Nya. Wallahua’lam bisshawab.