Pecihitam.org– Ilmu Hadis merupakan salah satu perangkat yang harus dimiliki bagi orang yang ingin memahami Islam dengan baik. Banyak istilah dalam ilmu hadis, baik yang berhubungan dengan jumlah perawi, ketersambungan sanad dan lain-lain. Dan tulisan ini akan menjelaskan tentang empat macam derajat hadis.
Empat macam derajat hadis yang dimaksud adalah hadis shahih, hasan, dhaif dan maudhu’.
Berikut penjelasan dari empat macam derajat hadis tersebut:
Pertama, Hadis Shahih
Berikut pengertian hadis shahih:
وخبر الآحاد بنقل عدل تام الضبط متصل السند غير معلل ولا شاذ: هو الصحيح لذاته
Inti dari ibarah di atas adalah Hadits Shahih ialah hadits yang muttasil sanadnya (jalur periwayatan), melalui perawi yang terpercaya (al–‘adl) dan mempunyai tingkat akurasi hapalan/tulisan yang tinggi (al-dhabth), tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan mayoritas ahli hadits (syadz) serta selamat dari cacat (al-‘illat).
Hadis Shahih ini terbagi menjadi dua, yakni Shahih Lidzatihi yang definisinya sebagaimana telah disebutkan di atas dan Shahih Lighairihi. Adapun pengertian Shahih Lighairihi adalah Hadits Hasan (definisi Hadis Hasan akan dibahas pada bagian setelah ini) yang memenuhi kriteria Hasan Lizatihi dan kemudian dijumpai periwayatan dari jalur lain yang sama atau lebih kuat statusnya Shahih.
Orang yang pertama kali meprakrarsai pengumpulan hadits-hadits Shahih adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Muslim bin al-Hajjaj al-Naisabury.
Meskipun dalam kurun sebelumnya sudah dilakukan hal serupa oleh Imam Malik, hanya saja disinyalir masih ditemukan hadits lain yang kurang begitu jelas jalur periwayatannya.
Dan hadits dari al-Bukhari lebih diunggulkan dibanding hadits dari Muslim terutama karena beliau menetapkan persyaratan dalam hadits Muan’an bahwa masing-masing perawi harus ditetapkan bertemu atau mendengar langsung darinya.
Kedua, Hadis Hasan
Hadits adalah hadis yang muttasil sanadnya (jalur periwayatan), melalui jalur orang yang terpercaya (al-‘adl), selamat dari sifat syadz dan al-‘illat, seperti dalam Hadits Shahih. Hanya saja perawinya mempunyai tingkat akurasi hapalan/ tulisan di bawah perawi Hadits Shahih.
Sebagaimana Hadis Shahih, Hadis Hasan juga terbagi menjadi dua. Pertama, Hasan Lidzatihi yang definisi telah dijelaskan pada paragraf di atas. Kedua Hasan Lighairihi, yakni hadits yang tergolong dha’if yang tidak terlalu, dimana perawinya dhaif, namun tidak sampai menurunkannya dari derajat perawi terpercaya lainnya.
Atau tergolong mudallis yang tidak secara jelas dipaparkan ulama lain, serta mungkin sanadnya tergolong munqathi’.
Dalam hal ini supaya masuk dalam pengertian hasan li ghairihi, disyaratkan dua hal. Pertama, tidak terkena sifat syadz dalam haditsnya. Dan kedua, dijumpai riwayat dari jalur lain yang sama atau lebih kuat secara lafadz ataupun makna, meskipun hanya cocok dalam sebagian isi matannya.
Ketiga, Hadis Dhoif
Yang ketiga dari empat macam derajat hadis adalah Hadis Dhoif, yakni hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits Shahih dan Hasan.
Yang termasuk jenis hadits ini, yakni yang dipastikan dha’if ada sekitar empat belas jenis hadits: al-Munqathi’, al-Mu’dlal, al-Mu’allaq, as-Syâdz, al-Mushahaf, al-Maqlûb, al-Mudhtharrib, al-Mu’allal, al-Mudallas fî al-Isnâd bi la Tashrîh fi as-Samâ’, al-Munkar bi ma’na Mukhâlafah at-Tsiqah, al-Mursal al-Khafy, al-Matrûk, al-Mathrûh, dan al-Maudhû
Lalu apakah Hadis Dhaif bisa diamalkan atau dijadikan hujjah. Tentang hal ini terdapat perbedaan pandang dari beberapa ulama mengenai kuhujjahan hadits dha’if, yakni sebagai berikut:
- Menurut sebagian ulama seperti Imam Ahmad dan Abu Dawud, hadits dha’if boleh diamalkan secara mutlak, baik dalam masalah halal haram, ataupun dalam hukum wajib dan fardlu jika memang tidak ditemukan hadits lain dan sebatas pada hadits dha’if yang tidak terlalu (ghaira syadîd ad-dhu’fi).
- Menurut mayoritas ulama hadits, ulama fiqh dan selainnya, hadits dha’if sunah diamalkan dalam urusan keutamaan amaliyah baik berupa hukum makruh ataupun sunah. Tetapi dalam menetapkan halal haram tidak bisa dijadikan hujjah, apalagi dalam hal aqidah.
- Menurut Al-Qadhi Abu Bakar Ibn Al-‘Araby, tidak diperbolehkan mengamalkan hadits dha’if secara mutlak.
Keempat, Hadis Maudhu’
Terakhir, adalah Hadis Maudhu’, yakni hadits yang disandarkan pada Nabi dengan kebohongan dan sebenarnya tidak ada keterkaitan sanad dengan Nabi dan pada hakikatnya ini bukan hadits. Hanya saja penyebutannya sebagai hadits memandang anggapan dari perawinya.
Nabi sendiri mengecam orang yang membuat hadis palsu
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah ia mempersiapkan tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis palsu dibuat oleh pelakunya dengan berbagai motif, salah satunya adalah motif politik.
Ini merupakan salah satu contoh hadis palsu yang dibuat oleh orang-orang Syiah pada masa kekhalifahan Muawiyah:
إِذَا رَأَيْتُمْ مٌعَاوِيَةَ فَيْ مَنْبَرِيْ فَاقْتُلُوْهُ
Kalimat di atas bermakna, “Jika kalian melihat Muawiyah di Mimbarku, maka bunuhlah ia”. Perkataan ini disandarkan pada Nabi oleh orang-orang Syiah, padahal tidak mungkin Beliau memerintahkan membunuh seorang muslim.
Merespons orang-orang Syiah, maka sebagian pendukung Muawiyah yang fanatik pun balik menyerang dengan membuat hadis palsu berikut:
“Yang bisa dipercaya hanya ada tiga. Saya, Jibril dan Muawiyah”. Sungguh ini pun juga dusta atas nama Nabi, karena menganggap sahabat-sahabat Nabi yang lain tidak bisa dipercaya.
Demikian ulasan tentang empat macam derajat hadis beserta sebagian contohnya. Wallahu a’lam bisshawab.