Empat Macam Kematian untuk Bisa Menjadi Seorang Sufi Menurut Hatim Al-Asham

Empat Macam Kematian untuk Bisa Menjadi Seorang Sufi Menurut Hatim Al-Asham

Pecihitam.org – Ulama sufi pada abad ketiga Hijriah ini memiliki nama lengkap Abu Abdirrahman Hatim ibn Alwan Al-Asham. Beliau merupakan guru besar Khurasan, murid Syaikh Syaqiq, dan merupakan guru dari Ahmad ibn Khardawaih.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Syaikh Hatim wafat pada tahun 237 H. Beliau mendapat gelar Al-Asham (yang tuli) bukan karena dia tidak bisa mendengar. Tetapi ada kisah yang melatarbelakangi gelar yang kemudian disematkan pada beliau ini. Konon, pernah suatu hari ia berpura-pura tuli karena untuk menjaga kehormatan seorang wanita yang sedang berkonsultasi dengannya.

Tapi dalam artikel ini, penulis tidak akan menuturkan cerita tesebut. Semoga di lain kesempatan, kami bisa menuliskan tentang kisah tersebut.

Tulisan kali ini akan menyampaikan kalam hikmah beliau perihal tiga macam kematian.

Dalam dua kitab karangan Imam Al-Baihaqi, yakni Syu’abul Iman dan Az-Zuhdu Al-Kabir serta dalam Hilyatul Awliya’ karya Abu Nu’aim Al-Ashbahani, ada nukilan perkataan Syaikh Abu Hatim.

Beliau berpesan bagi siapa yang ingin meniti jalan tasawwuf seperti dirinya, hendaklah mematikan empat hal. Apa sajakah empat macam kematian yang dimaksudkan beliau?

Baca Juga:  Meluruskan Salah Paham Tentang Tarekat

Berikut kami kutipkan penjelasan yang terdapat dalam Syu’abul Iman lil Baihaqi

سَمِعْتُ أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيَّ، يَقُولُ: سَمِعْتُ نَصْرَ بْنَ أَبِي نَصْرٍ الْعَطَّارَ، يَقُولُ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ سُلَيْمَانَ، قَالَ: وَجَدْتُ فِي كِتَابِي عَنْ حَاتِمٍ الأَصَمِّ ، أَنَّهُ قَالَ:

Aku mendengar Abu Abdurahman As-Sulami berkata, aku mendengar Nashr bin Abi Nashr berkata, aku mendengar dari Ahmad bin Salman Al-‘Attahar, dia berkata: Aku menemukan dalam kitabku ucapan dari Hatim Al-Asham, beliau berkata:

مَنْ دَخَلَ فِي مَذْهَبِنَا هَذَا، فَلْيَجْعَلْ فِي نَفْسِهِ أَرْبَعَ خِصَالٍ مِنَ الْمَوْتِ

Barang siapa masuk dalam madzhabku (maksudnya perjalanan beliau dalam tasawuf), maka ia haruslah menjalani empat perkara dalam kematian.

: مَوْتٌ أَبْيَضُ، وَمَوْتٌ أَسْوَدُ، وَمَوْتٌ أَحْمَرُ، وَمَوْتٌ أَخْضَرُ

Maut abyadh (mati putih). Maut aswad (mati hitam). Maut ahmar (mati merah). Dan Maut akhdlar (mati hijau).

فَالْمَوْتُ الأَبْيَضُ الْجُوعُ

Mati putih adalah lapar (sebagaimana kita tahu, kaum sufi dan termasuklah Hatim Al-Asham akan memenuhi perutnya dengan makanan. Mereka selalu merasakan rasa lapar, agar hati dan pikirannya selalu terjaga).

Baca Juga:  Peran dan Kontribusi Kiai Kholil dalam Menyebarkan Ajaran Tasawuf di Pulau Jawa

وَالْمَوْتُ الأَسْوَدُ احْتِمَالُ أَذَى النَّاسِ

Mati hitam adalah menanggung derita dari makhluk (Seorang sufi kadang ridha menanggung sebuah penderitaan demi menyelamatkan umat manusia, seperti yang dialami oleh salah seorang wali di mana ia rela menderita penyakit semacam muntaber demi menolak bala’ yang akan menimpa).

وَالْمَوْتُ الأَحْمَرُ مُخَالَفَةُ النَّفْسِ

Mati merah adalah selalu berjuang melawan hawa nafsu. (Bagi seorang yang hendak menempuh jalan tasawwuf, melawan keinginan nafsu adalah suatu keharusan, hingga nafsu yang bersembunyi di bagian bagian lathifahnya).

وَالْمَوْتُ الأَخْضَرُ طَرْحُ الرِّقَاعِ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ

Mati hijau adalah memakai baju yang ditambal satu sama lain. (Maksudnya pakaian umumnya seorang sufi sangat sederhana, hingga nyaris dibilang compang-camping. Mereka tidak mengenakan sutra melainkan pakaian yang terbuat dari bulu domba yang kasar. Ketika pakaian dari kulit binatang bolong, mereka menambalnya dengan yang lain).

Baca Juga:  Rahasia Huruf Mim dalam Khazanah Tasawuf

Begitulah kesederhanaan hidup seorang sufi yang digambarkan oleh Hatim Al-Asham dengan mematikan empat hal. Setidaknya kita bisa merenung betapa jauhnya kehidupan kita saat ini dengan yang dijalani oleh ulama kita terdahulu.

Maka walaupun kita tidak bisa meniru, minimal kita tidak mencela dan tetap menghormati dan menyebut nama mereka di dalam setiap doa kita. Semoga ilmu dan keberkahan mereka senantiasa mengalir kepada kita dan seluruh keluarga. Amin.

Faisol Abdurrahman