Empat Tingkatan Akal Menurut al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin

Empat Tingkatan Akal Menurut al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumuddin

PeciHitam.org – Akal seringkali dianalogikan seperti cahaya yang menyinari sanubari manusia dan mencerahkan dunianya atau membimbingnya dalam memahami segala sesuatu.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Orang yang menolak makna tersebut seolah telah mempersempit pengertian akal yang hanya digunakan sebagai alat untuk memahami ilmu-ilmu fardhu.

Dianugerahkannya akal oleh Allah berfungsi sebagai sifat agar mampu membedakan antara manusia dan binatang. Menurut al-Ghazali, dalam kitab Ihya Ulumiddin menjelaskan mengenai akal ini dan membaginya ke dalam empat tingkatan, antara lain:

  1. Akal berarti kecerdasan. Menurut al-Ghazali hal yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal. Akal inilah yang menjadi modal pokok manusia untuk hidup di dunia.
  2. Akal berarti pengertian. Seiring berjalannya waktu, akal manusia berkembang dan terus meningkat baik pada usia muda maupun hingga ia dewasa dan selanjutnya. Di sinilah peran akal sebagai pembeda antara yang haq (benar) dan bathil (salah).
  3. Akal berarti pengetahuan. Melalui pengajaran dan pengalaman yang telah dilaluinya, akal inilah yang nantinya melahirkan ilmu pengetahuan.
  4. Akal berarti ma’rifah. Pada tingkatan ini, tingkat ma’rifat merupakan posisi puncak dari segala tingkat akal. Hal ini diartikan sebagai keinsafan rohani manusia yang menyadari betul akan akibat-akibat sesuatu. Nantinya hal ini pula lah yang membawanya pada keluhuran budi pekerti serta membimbingnya menuju Tuhan Yang Maha Kuasa.
Baca Juga:  Kritik Imam al Ghazali Terhadap Pemikiran Para Filsuf (Part 2)

Pada tingkatan akal yang pertama sebagai dasar dan sumbernya. Sedangkan pada tingkatan kedua, yaitu merupakan cabang dari akal. Keduanya muncul secara alamiah. Pada tingkatan ketiga sebagai turunan dari tingkatan pertama dan kedua.

Sedangkan pada tingkatan keempat merupakan puncak atau hasil tertinggi fungsi akal. Tingkatan ketiga dan keempat di atas itulah yang harus diupayakan dan dicari agar dapat mencapainya.

Sering kita temui dalam al-Quran tentang perintah menggunakan akalnya. Bahkan menurut al-Ghazali, orang yang berakal adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah.

Sebab ketakwaan kepada Allah adalah buah dari akal yang difungsikan dengan benar. Ilmu dan pengetahuan tidak berasal dari luar, keduanya berada di balik akal yang merupakan sumber alamiah yang hanya perlu terus digali.

Al-Ghazali juga menghubungkan ilmu pengetahuan dengan agama yang dikehendaki oleh kaum sufi, dan dari penggabungan semuanya itu menjadilah ma’rifah yang menjadi tingkat yang tertinggi di dalam pengetahuan dan kesadaran manusia kepada Tuhan.

Al-Ghazali mempelopori pengembalian paham sufi tentang ma’rifah kepada paham Ahli al-Sunnah wal Jama’ah, yang bersandarkan pada al-Quran dan hadis.

Baca Juga:  Masjidil Haram: Lengkap dari Zaman Pra Sejarah Hingga Era Kekuasaan Raja Saudi

Ma’rifah merupakan gabungan antara ilmu pengetahuan dan keimanan (agama), yang kemudian munculah hasrat beramal yang kuat, dan akhlak dapat tercerminkan. Dalam ma’rifah memancarkan niat yang tulus sekaligus dengan kemauan yang kuat, yang menjadi pokok pangkal amal dan akhlak.

Al-Ghazali juga menjelaskan tentang pentingnya hubungan antara ilmu pengetahuan (al-‘Ilm), agama (ad-Din) dan akhlak. Beliau bahkan mengingatkan akan adanya tiga bencana jika tidak memiliki ketiganya, antara lain:

Pertama, at-taqlid wal jumud (fanatisme, taklid buta, dan sifat jumud beragama). Agama tanpa ilmu pengetahuan menyebabkan hilangnya moral.

Agama tanpa ilmu berarti taqlid, dan taqlid yang menjadi jumud, yang nantinya dapat menyebabkan permusuhan yang menghancurkan moral. Taqlid dan jumud dapat menyebarkan bibit-bibit fanatik.

Kedua, zandaqah wal juhud (rationalism and atheism, pendewaan akal dan anti-Tuhan). Dalam Kitab Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali menjelaskan bahwa, kaum materialis dan naturalis merupakan orang yang memunyai ilmu pengetahuan, tetapi mengingkari dan durhaka kepada Tuhan.

Menurut al-Ghazali yaitu kaum zindiq dan ahli juhud. Berawal dari sinilah munculnya bibit ilmu tanpa agama yang sangat berbahaya dapat menjerumuskan manusia kepada paham atheism.

Ketiga yakni ilmu mazmum (ethical-nihilism, ilmu pengetahuan tanpa moral), dalam buku al-Ghazali yang berjudul Ihya Ulumiddin, al-Ghazali meletakkan soal ilmu pengetahuan di halaman yang paling depan.

Baca Juga:  Mimpi Digigit Ular, Bagaimanakah Artinya dalam Khazanah Islam?

Ditegaskannya bahwa sebagai halnya jasmani memerlukan makan, jiwa memerlukan keimanan, maka makanan otak dan hati manusia adalah pengetahuan.

Demikian pandangan al-Ghazali tentang akal. Terakhir, izinkan kami mengutip sebuah maqalah, “Segala sesuatu memerlukan akal, dan akal berhajat pada pelatihan dan pengembangan. Tiada kekayaan melebihi akal, dan tiada kefakiran yang melebihi kebodohan. Semakin banyak ilmu seseorang, maka semakin besar pula tuntutannya kepada akal.” Wallahu A’lam.

Mohammad Mufid Muwaffaq