Fathimah binti Abdul Wahab Bugis, Tokoh Ulama Perempuan Nusantara

Fathimah binti Abdul Wahab Bugis, Tokoh Ulama Perempuan Nusantara

PeciHitam.org – Menelusuri jejak ulama perempuan Nusantara memang masih sangat sulit. Sedikitnya sumber-sumber sejarah masa lalu yang menyinggung masalah ini menjadi salah satu faktor yang paling berpengaruh.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Menurut Azyumardi Azra, seperti mengindikasikan ada kesan umum bahwa ulama perempuan tidak mendapatkan tempat yang pantas dalam sumber-sumber sejarah Islam.

Penelusuran awal Azyumardi Azra tentang ulama perempuan di Timur Tengah mengisyaratkan bahwa ulama perempuan bukan tidak ada dan tidak tercatat dalam sumber-sumber sejarah Islam, khususnya di Timur Tengah.

Menurutnya, banyak ulama perempuan yang tercatat memiliki peranan penting dalam bidang keilmuan Islam, baik dalam bidang fikih, hadis, bahkan hingga tasawuf. Ada juga yang tercatat sebagai perempuan yang mempunyai peran sentral dalam pembentukan dan pengembangan Lembaga Pendidikan Islam, misalnya madrasah, ribat dan sejenisnya.

Keterlibatan ulama perempuan dalam mata-rantai transmisi dan tradisi keilmuan Islam tampaknya juga masih menjadi teka-teki yang menarik untuk ditelusuri kembali.

Meskipun tidak memiliki porsi yang dominan, namun menarik untuk dikaji lebih dalam nama-nama ulama perempuan yang memiliki peranan besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Salah satu nama yang mencuat adalah Fathimah binti Abdul Wahab Bugis, dengan karyanya kitab Parukunan Melayu.

Nama Fathimah binti Abdul Wahab Bugis boleh jadi tidak terlalu dikenal di kalangan ulama Melayu-Nusantara, namun tokoh ulama perempuan ini sering disebut-sebut sebagai penulis kitab Parukunan Melayu.

Kitab Parukunan Melayu merupakan kitab kuning yang ditulis menggunakan aksara pegon Arab-Melayu (Jawi) yang banyak dipelajari di hampir seluruh wilayah Melayu-Indonesia. Fathimah binti Abdul Wahab dilahirkan di Martapura, Kalimatan Selatan.

Baca Juga:  Meski Dipenjara, Hadratusysyeikh Berulang Kali Khatamkan Qur'an dan Kitab Hadits

Fathimah binti Abdul Wahab adalah murid perempuan yang paling cerdas sekaligus cucu Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, dari hasil perkawinan Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad dengan Syekh Abdul Wahab Bugis.

Ayah Fathimah, Syekh Abdul Wahab Bugis, juga termasuk ulama besar dan terhormat. Abdul Wahab berasal dari keluarga bangsawan yang cukup terpandang. Syekh Abdul Wahab merupakan seorang putra raja dari tanah Bugis, Sulawesi Selatan, yang memiliki gelar Sadenreng Daeng Bunga Wardiyah.

Ibunda Fathimah, Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad, merupakan seorang perempuan yang salehah dan alim. Syarifah berguru langsung kepada ayahnya, Syekh Muhammad Arsyad. Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad bahkan diberi izin oleh ayahnya untuk mengajar agama bagi kaum perempuan.

Fathimah juga diberi izin untuk merintis Pendidikan bagi kaum perempuan seperti halnya Ibundanya, Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad. Maka tidak heran jika ia diakui telah menjadi perintis bagi emansipasi kaum perempuan di bidang pendidikan.

Baca Juga:  Karomah Habib Sholeh bin Muchsin Al-Hamid Laksana Matahari di Siang Hari

Ia pun dapat dikatakan sebagai Kartini Banjar yang bahkan jika dilihat dari sejarah eksistensinya ia telah hadir dan merintis pendidikan bagi kaum perempuan jauh sebelum R.A. Kartini (1879-1904) lahir.

Jika Kartini di Jawa hadir dengan membawa misi persamaan pendidikan bagi kaum perempuan, maka Fathimah justru telah mempelopori pengajaran bagi kaum perempuan. Lebih lanjut, jika perjuangan Kartini dikenal melalui surat-suratnya, maka keterlibatan Fathimah dalam tradisi keulamaan dan keilmuan Islam dikenal lewat karyanya, kitab Parukunan Melayu.

Kitab Parukunan Melayu sendiri termasuk salah satu nomenklatur terbesar yang pernah dihasilkan oleh ulama Melayu-Banjar, selain kitab Sabil al-Muhtadin karya Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dan Durr al-Nafis karya Syekh Muhammad Nafis al-Banjari. Diakui atau tidak, kitab ini juga dapat dikatakan sebagai kitab yang sangat berpengaruh dalam literatur Melayu.

Kitab Parukunan karya Fathimah seperti halnya namanya yang berarti uraian dasar tentang rukun Islam dan rukun iman. Boleh dibilang kitab ini merupakan salah satu kitab yang paling popular di antara kitab-kitab sejenis.

Dalam komunitas santri Melayu-Banjar sampai sekarang kitab Parukunan—termasuk Parukunan Melayu—masih terus digunakan di kampung-kampung, terutama di kalangan kaum tradisionalis. Bahkan, beberapa komunitas santri Melayu di kawasan Asia Tenggara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Pattani (Thailand), Mindanao (Philipina), Vietnam, Kamboja, dan Birma, juga menggunakan kitab Parukunan sebagai rujukan dalam pelajaran agama.

Baca Juga:  Ketika Imam At-Thabari Di Tuduh Syiah dan Atheis Bagian 1

Oleh karena itu, tidak diragukan lagi kehadiran Fathimah binti Abdul Wahab Bugis telah memberikan kontribusi penting dalam tradisi intelektual Islam Melayu-Nusantara.

Penguasaannya dalam bidang ilmu agama bahkan bisa dikatakan memiliki peranan penting dalam kemunculan para ulama di wilayah Kalimantan. Namun sayangnya, kontribusi intelektual Fathimah yang demikian penting itu masih sering terlupakan kesejarahannya.

Mohammad Mufid Muwaffaq