Fatwa Mimbar Guru Bakeri dan Pengaruhnya

fatwa mimbar guru bakeri

Pecihitam.org – Suatu fatwa atau pendapat tidak mesti lahir sebagai hasil pencarian intelektual murni, tapi bisa jadi karena pengaruh latar belakang yang melingkupinya. Salah satu contohnya bisa dilihat dari fatwa mimbar Guru Bakeri.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Suatu saat saya mengunjungi paman saya di Banjarmasin. Saat waktu shalat maghrib tiba paman mengajak saya shalat di masjid dekat rumah beliau. Setelah shalat qabliyah iqamah pun dilantunkan sang muadzin.

Selepas iqamah tak ada satu pun warga sekitar masjid yang hadir maju untuk mengimami shalat. Meski tak ada ketentuannya dalam teks sumber agama, saya pikir ini tata moral yang baik dalam menunjuk imam dengan mendahulukan warga sekitar masjid ketika kita shalat di masjid yang bukan di lingkungan tempat tinggal kita.

Karena tak ada yang maju, paman meminta saya untuk menjadi imam. Namun sebelum memulai shalat ada satu hal mengganjal dalam pikiran saya: nanti jika sudah selesai shalat saya membaca wirid dengan keras apa tidak, ya? Tapi setelah melihat mimbar yang ada di masjid tersebut masalah saya pun terpecahkan.

Mimbar adalah tempat khatib menyampaikan khutbah-khutbah yang termasuk ritual ibadah, seperti khutbah jum’at, khutbah idul fitri dan idul adha.

Adapun ceramah agama yang bukan termasuk ritual ibadah, baik ceramah rutin maupun ceramah di acara-acara besar Islam, sang penceramah atau pembicara tidaklah menyampaikan ceramahnya di mimbar khutbah, tetapi di podium kecil atau bahkan tanpa disediakan tempat khusus sama sekali.

Dalam fiqih, sejauh yang saya pelajari, bentuk detail mimbar tidak dijelaskan secara rinci, melainkan hanya disebut “tempat yang tinggi” agar para jama’ah dapat melihat sang khatib dan mendengar ucapannya dengan jelas. Salah satu tulisan yang cukup lengkap tentang bahasan ini dapat disimak di sini

Baca Juga:  Shafiyah binti Huyay, Salah Satu Istri Rasulullah dari Keturunan Yahudi

Bentuk-bentuk mimbar yang ada di kebanyakan masjid di daerah Kalimantan Selatan yang kelihatan sekali unsur budaya melayu-banjarnya (sebagian bercampur unsur Jawa) menegaskan tidak dirincikannya bentuk mimbar khutbah.

Adalah seorang ulama kharismatik asal Gambut, Kalimantan Selatan, KH. Ahmad Bakeri (1956-2013), yang menyampaikan pernyataan menarik soal mimbar ini.

Masyhur dengan panggilan akrab “Guru Bakeri”, beliau mengadakan pengajian rutin berisi materi fiqih, tauhid, hingga akhlak di masjid raya Sabilal Muhtadin, masjid kebanggaan masyarakat muslim Banjar dan ikon Kalimantan Selatan. Pengajian itu menjadi signifikan bagi keberadaan Guru Bakeri karena melalui pengajian inilah kemasyhuran beliau meningkat.

Pengajian rutin yang dilaksanakan setiap Jum’at malam antara Maghrib dan Isya itu selalu dihadiri ribuan jama’ah yang datang dari berbagai penjuru Kalimantan, bahkan dari luar pulau itu.

Guru Bakeri juga adalah pengasuh Pondok Pesantren Al-Mursyidul Amin di Kecamatan Gambut Kabupaten Banjar yang berhasil menarik hati para pelajar dan orangtua untuk belajar Islam di pesantren tersebut seiring dengan populernya pengajian rutin beliau di masjid raya.

Pengajian beliau di Sabilal Muhtadin yang semakin besar membuat beliau sempat diangkat sebagai ketua ta’mir masjid terbesar di kota Banjarmasin itu.

Guru Bakeri juga secara rutin beliau datang ke pengajian KH. Muhammad Zaini Abdul Ghani atau Guru Sekumpul, salah satu ulama kharismatik terbesar di Indonesia. Saya sering melihat mobil Guru Bakeri yang berplat KH 1 AB terparkir di parkiran Mushalla Ar-Raudhah, tempat pengajian Guru Sekumpul.

Guru Bakeri membedakan antara “mimbar” dengan “podium” dari segi bentuk masing-masing. Bentuk mimbar terbuka di bagian depan dan tertutup di bagian samping dan belakang sehingga khatib menaikinya lewat depan, sedangkan bentuk podium terbuka di bagian belakang dan tertutup di bagian samping dan depan sehingga khatib naik lewat belakang.

Baca Juga:  Riwayat Hidup KH Mahrus Aly Lirboyo: Seorang Ulama dan Pejuang Bangsa

Menurut Guru Bakeri, khutbah di atas tempat yang tidak terbuka di bagian depan tidaklah sah. Beliau beragumen bahwa teks-teks agama, khususnya dalam Hadits-Hadits, menyebut bahwa khatib berkhutbah di atas mimbar, bukan di atas podium.

“Fatwa Mimbar” Guru Bakeri tersebut cukup berpengaruh luas di kalangan muslim Banjar tradisional, sampai-sampai masjid raya Sabilal Muhtadin, yang ibadah-ibadah ritual di sana dilaksanakan secara tradisional, mengganti tempat khutbah khatib yang semula tertutup di bagian depan dengan tempat khutbah sesuai arahan Guru Bakeri selaku ketua ta’mir masjid.

Saya belum mendapatkan informasi ataupun melacak sumber rujukan, baik dari al-Qur’an, Hadits, maupun khazanah literatur klasik yang menjadi rujukan Guru Bakeri dalam membawa persoalan bentuk tempat khutbah ke dalam hukum Fiqih.

Akan tetapi, jika melihat konteksnya mudah bagi kita menjelaskan bahwa fatwa tersebut lahir terkait dengan tekanan kalangan kaum muslim modernis terhadap eksistensi pengajian Guru Bakeri yang sedang naik daun saat itu.

Perseteruan dan persaingan kaum muslim tradisional dan kaum muslim modernis, baik dalam wacana maupun dalam hubungan sosial, sudah mengisi sejarah masyarakat Islam di Nusantara, khususnya di Kalimantan Selatan. Kita patut bersyukur perseteruan tersebut hanya pada persoalan wacana keagamaan, tidak lebih dari itu.

Namun bagi Guru Bakeri serangan-serangan bertubi-tubi itu nampaknya dirasa terlalu berat, sehingga memaksa beliau untuk bereaksi. Untuk itu beliau merasa harus menanggapi serangan-serangan kritik melalui fatwa soal bentuk tempat khutbah tadi, ditambah dengan pernyataan “kita buktikan mana yang paling banyak umatnya”.

Baca Juga:  Mengapa Fatwa Ulama Bisa Beda Meski Rujukannya Sama

Tanggapan terakhir ini sepertinya ditujukan untuk menjawab kritik-kritik terhadap isi ceramah Guru Bakeri. Perlu kiranya disinggung di sini bahwa tantangan terhadap Guru Bakeri tak hanya datang dari kalangan muslim modernis, melainkan sebagian kaum tradisional yang cenderung kurang sepakat dengan isi ceramah-ceramah Guru Bakeri yang acapkali menggunakan analogi-analogi berbau seksualitas.

Terlepas dari semua itu, Guru Bakeri tetaplah seorang ulama yang dicintai umat. Fatwa dan nasihat-nasihat beliau selalu menjadi pengetahuan Islam yang berharga.

Pengajian beliau terus dibanjiri kaum muslimin dari berbagai penjuru dan terus eksis hingga Guru Bakeri wafat pada tahun 2013 di usia yang relatif masih muda. Saya turut menyesali kepergian beliau yang terlalu cepat.

Karena fatwa “mimbar-podium” Guru Bakeri terasa begitu membekas di kalangan muslim Banjar, tak keliru kiranya jika ditunjuk menjadi imam shalat saya kemudian berusaha menyesuaikan diri dengan tradisi ibadah ritual di masjid-masjid di Banjarmasin.

Maka ketika memulai shalat berjama’ah saya harus melihat terlebih dahulu tempat khatib berkhutbah yang tersedia. Ketika mengetahui bahwa tempat itu terbuka di bagian depan tidak ragulah saya memimpin pembacaan wirid panjang dengan keras selepas shalat maghrib waktu itu.

Yunizar Ramadhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *