Pecihitam.org- Untuk mempelajari teori dan filosofi hukum Islam, hal pertama yang harus dilakukan adalah membedakan antara syariah (syari’ah) dengan fikih (fiqh).
Membedakan dua hal tersebut akan memudahkan pemahaman tentang teori hukum Islam. Syariah pada dasarnya memiliki keterkaitan dengan wahyu, pengetahuan yang hanya bisa didapat dari A-lQuran dan Sunnah.
Sedangkan fikih merupakan metode yang dikembangkan oleh para fuqaha (ahli hukum) untuk menafsirkan Al-Quran dan Sunnah sehingga dapat memperoleh suatu aturan terhadap realitas kekinian yang didasarkan pada penalaran manusia dan ijtihad.
Oleh karena itu, syariah mememiliki lingkup yang lebih besar mencakup semua kegiatan manusia. Sementara fikih lebih sempit cakupannya dan sebagian besar hanya membahas hal-hal yang berkenaan dengan aturan hukum praktis (al-ahkam alamaliyyah).
Para sarjana muslim secara umum memandang bahwa fikih merupakan pemahaman tentang syariah dan bukan syariah itu sendiri. Pengertian hukum Islam dalam masyarakat Indonesia terkadang suka terjadi kerancuan dan kesalah pahaman.
Secara garis besar, hukum Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian:
- Hukum Islam yang berhubungan dengan perihal akidah/keimanan
- Hukum Islam yang berhubungan dengan akhlak
- Hukum Islam yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
Sedangkan menurut Marzuki, hukum Islam yang sering ditemukan pada literatur hukum yang berbahasa Indonesia secara umum mencakup syariah dan fikih, bahkan terkadang juga mencakup ushul fikih (dasar-dasar fikih).
Namun, harus dipahami pula bahwa hukum Islam itu tidak sama persis dengan syariah dan sekaligus tidak sama persis dengan fikih. Tetapi juga tidak berarti bahwa hukum Islam itu berbeda sama sekali dengan syariah dan fikih.
Yang dapat dikatakan adalah pengertian hukum Islam itu mencakup pengertian syariah dan fikih, karena hukum Islam yang dipahami di Indonesia ini terkadang dalam bentuk syariah dan terkadang dalam bentuk fikih.
Munurut Syafi’i bahwa teori hukum Islam didasarkan dari empat sumber yaitu:
Sumber utama dalam teori hukum Islam menurut Imam Syafi’i yaitu terletak pada Al-Quran dan Sunnah sedangkan dua sumber pembentuk hukum lainnya hanyalah bersifat tambahan.
Dalam perkembangannya terdapat kritik terhadap otoritas sunnah sebagai sumber hukum Islam. Namun bagi beliau, apabila kita menolak sunnah maka menyisakan ruang hampa dalam pengetahuan kita terhadap esensi Islam termasuk rukun iman.
Pada dasarnya tujuan penyusunan teori hukum Islam tersebut untuk mewujudkan tujuan syari’ah itu sendiri (Maqasid al syari’ah). Beberapa ulama memberikan daftar yang berbeda tentang tujuan syari’ah.
Abu Hamid Al-Ghazali misalnya menyatakan bahwa secara tegas bahwa syari’ah hendak mencapai lima tujuan yaitu: keimanan, kehidupan, intelek, ke turunan dan kepemilikan yang harus dilindungi sebagai prioritas yang absolut.
Ibnu Taymiyah mencoba agar daftar tujuan syari’ah itu bersifat terbuka. Artinya, bahwa tujuan syari’ah bisa terus bertambah dari daftar yang dibuat oleh ulama jaman dahulu.
Oleh karena itulah beliau juga memasukkan pemenuhan kontrak, pemeliharaan pertalian keluarga, menghormati tetangga (duniawi), cinta kepada Tuhan, ketulusan, kepercayaan dan kemurniaan moral (akhirat).
Meskipun banyak perbedaan pendapat tentang tujuan pokok dari syari’ah, namun jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa tujuan dari syari’ah itu adalah memelihara akal, harta, jiwa dan keturunan/kehormatan.
Menurut Kuntowijoyo, Al-Quran mengenal pembagian ilmu menjadi tiga macam, yaitu ilmu kauniyah (ilmu alam, nomothetic), ilmu qauliya (teologi) dan ilmu nafsiyah yang berkenaan dengan makna, nilai kesadaran.
Ilmu terakhir inilah yang disamakan oleh beliau dengan ilmu-ilmu kemanusiaan atau humaniora. Ilmu humaniora inilah yang dekat pembahasannya dengan ilmu hukum.
Humaniora tersebut erat dengan apa yang dikenal dalam hukum Islam dengan muamalah. Dengan demikian berlaku prinsip hukum Islam yakni “semua boleh kecuali yang dilarang”.
Pada titik inilah, maka ijtihad menjadi penting untuk menggali hukum yang ada dalam Al-Quran untuk digunakan dalam menghadapi masalah-masalah muamalah umat Islam.
Inilah yang kemudian disebut oleh Kuntowijoyo dengan Pengilmuan Islam, yaitu mengembalikan teks kepada konteks. Tujuannya adalah agar teks dan konteks ada korespondensi dan kesinambungan.
Objektifikasi dalam metodologi pengilmuan Islam berangkat dari Al-Quran yang menyatakan bahwa Islam merupakan rahmat bagi semesta alam (Al Anbiya;107). Dengan demikian, Islam diturunkan sebagai rahmat bagi siapapun tanpa memandang agama, warna kulit, budaya dan sebagainya.
Ayat lain yang mendasari metodologi objektifikasi ini adalah Surat Al Maidah ayat 8 yang menyatakan bahwa umat Islam harus mampu berbuat adil tanpa pandang bulu. Alasan objektifikasi pengilmuan Islam dengan demikian adalah agar Islam dapat benar-benar dirasakan sebagai rahmat yang adil kepada siapapun.