Mumpung Viral, Kue Klepon Ternyata Menyimpan Filosofi yang Luar Biasa

filosofi klepon

Pecihitam.org – Klepon, jajanan tradisional Indonesia mendadak viral di lini media sosial baik Twitter maupun Facebook. Hal ini berawal dari postingan salah satu akun yang meng-upload foto kue klepon dengan keterangan diberi huruf kapital KUE KLEPON TIDAK ISLAMI.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Dalam foto tersebut juga terdapat keterangan berupa seruan “Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajan islami aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami”. Di ujung kalimat terselip nama tertanda Abu Ikhwan Aziz.

Postingan ini viral dan banyak menuai komentar dari sejumlah nitizen. Banyak yang menyayangkan mengapa makanan dikaitkan dengan agama. Namun ada pula yang mencoba menganalisa bahwa kemungkinan postingan tersebut hanya untuk cari sensai saja.

Terlepas dari kontroversi dari postingan mengenai jajanan Klepon tidak Islami, tahukah kamu bahwa ternyata klepon menyimpan filosofi dan fakta menarik yang perlu untuk diketahui. Seperti apa faktanya? Berikut ulasan lengkapnya.

Filosofi Klepon

Klepon adalah sebuah jajanan tradisional Indonesia yang terbuat dari beras ketan yang di bentuk seperti bola bola kecil dengan isi gula jawa kemudian direbus dalam air mendidih lalu disajikan dengan parutan kelapa. Rasanya pun sangat menggugah selera, karena terdapat sensasi lelehan gula merah ketika kamu menggigit camilan ini.

Klepon terbuat dari beras ketan yang sangat lengket, ini menunjukkan bahwa diantara klepon dan klepon kalau dicampur pastilah saling menempel, ibarat kita selalu menempel juga dengan orang orang yang kita sayangi. So sweet juga ya ..!

Baca Juga:  Arsitektur Masjid dalam Historiografi Kebudayaan Islam

Klepon yang berwarna hijau, punya makna bahwa kita itu hidup, hijau. Belum kuning (sekarat) ataupun bahkan merah (mati). Hati ini haruslah tetap hijau agar bisa merasakan apa yang ada disekitar kita.

Klepon bentuknya bulat, bukan kotak apalagi lonjong, ya.. kecuali yang bikin mungkin pas lagi pusing itu lain soal. Maksudnya, hidup itu juga diibaratkan seperti bulatan bulatan klepon selalu berputar tidak tahu mana ujung mana akhir.

Bulatan klepon juga gak bisa rata bunder ser… selalu saja ada yang tidak rata. Begitupun hidup manusia tak ada yang berjalan benar benar rata…pasti ada ketidaksempurnaannya.

Sebelum jadi klepon yang enak dan siap santap, maka harus direbus dengan air mendidih. Ini diibarakan kalau mau jadi pribadi yang tangguh juga harus direbus dulu.

Direbus dalam kawah kehidupan. Di uji dengan segala macam cobaan. Maka jika bisa melaluinya dengan sabar, nisacaya akan jadi klepon yang enak… maka bersabarlah jika masih dalam rebusan.

Setelah matang, klepon seringkali disajikan dengan parutan kelapa, meskipun ada juga yang tidak. Namun normalnya klepon ya disajikan dengan parutan kelapa.

Nah, Kelapa ini tidak sembarangan. Sebelum jadi pelengkap sajian klepon ternyata harus melalui berbagai fase yang cukup rumit. Sebetulnya sih gak rumit-rumit amat.

Baca Juga:  Nahdlatul Ulama (NU) dan Representasi Islam Tradisional di Indonesia

Pertama, kulit dan batok kelapa yang keras harus dikupas. Kedua, lapisan tipis seperti kulit ari berwarna coklat kehitaman di dalam batok kelapa harus dibersihkan. Ketiga, baru sampai pada buah kelapa. Belum selesai sampai disini. Keempat, buah kelapa yang masih utuh bulat harus diparut.

Begitu pula tingkat kehidupan ini:

Pertama, adalah kulit dan batok yang rumit, keras dan susah. Itu seperti ilmu syariat, yang harus dijalankan. Kental nuansa fiqh nya. Terikat oleh aturan-aturan yang wajib dipatuhi.

Kedua, lapisan tipis. Ini seperti tingkatan ilmu thareqat, perlu pembersihan dengan teliti, hati-hati dan sungguh-sungguh. Ibarat hati jika tak pernah dibersihkan maka akan kotor. Maka selalu berhati-hatilah dalam menjalani hidup ini.

Ketiga, buah kelapa. Meskipun sudah bisa dimakan, namun belum mencapai fungsi yang sempurna. Itu seperti ilmu hakikat, sudah sampai pada tujuan tetapi belum final.

Keempat, untuk menuju fungsi yang sebenarnya (makrifat), maka buah kelapa tadi harus diparut. Harus dihaluskan lagi. Barulah dia bisa dikatakan menuju fungsi yang sebenarnya dengan sempurna.

Begitu juga kita manusia, masih harus berjuang, direbus dan diparut untuk mencapai fungsi kita yang sebenar-benarnya. Namun itulah kehidupan di dunia. Kita harus optimis bisa menjalaninya.

Soal hasil serahkan pada Yang Maha Kuasa, yang penting kita sudah ikhtiar, mencoba. Entah nanti jadinya klepon yang manis atau bantet itu soal akhir. Karena begitulah hidup, kita tak akan pernah benar-benar tahu apa yang akan terjadi.

Baca Juga:  Fii Amanillah, Kalimat Perpisahan yang Memiliki Banyak Kebaikan Namun Jarang Digunakan

Disebut Juga Onde-onde

Di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Sulawesi dan daerah lainnya, makanan ini dikenal dengan sebutan onde-onde. Padahal, nama onde-onde ini merupakan jenis lain dari jajanan tradisional khas Indonesia juga.

Jika ditelaah dengan seksama, klepon dan onde-onde ini memiliki tampilan yang berbeda. Klepon terbuat dari tepung ketan berwarna hijau dengan isian gula merah yang meleleh ketika digigit. Sedangkan, onde-onde terbuat dari tepung terigu yang memiliki ukuran lebih besar dengan isian yang lebih padat dan umumnya berisikan kacang hijau.

Demikian sekilas tentang filosofi klepon. Semoga bermanfaat. Dan marilah lestarikan kembali jajanan tradisional khas Indonesia. Terima kasih.

Arif Rahman Hakim
Sarung Batik