Sejarah Penaklukan Gereja Hagia Sophia oleh Sultan Muhammad Al Fatih

hagia sophia gereja

Pecihitam.org – Pada hari penaklukan Konstantinopel, 29 Mei 1453, masuklah Sultan Muhammad II Al Fatih ke dalam kota itu dengan langkah yang tenang dan bahagia. Dikutip dari buku Sejarah Umat Islam Prof Hamka (Buya Hamka) menuliskan, sesampai di hadapan gereja besar Hagia Sophia, Sultan turun dari kudanya dan sujud ke bumi.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Sultan Muhammad Al Fatih mengucapkan syukur kepada Allah dan diambilnya segenggam tanah, lalu disiramkan tanah itu ke kepalanya sendiri sebagai wujud merendahkan diri kepada Ilahi.

Ketika Sultan masuk ke dalam gereja Hagia Sophia yang bersejarah itu, terlihat beberapa orang yang sedang beribadah menengadah ke langit. Kebetulan pada saat itu hari sembahyang sedang memperingati orang suci mereka yaitu Santa Theodosie.

Di bawah pimpinan pendetanya, mereka bersembahyang dengan sangat khusyuk memohonkan perlindungan dan biarlah mati dalam keadaaan sembahyang.

Baginda Sultan Muhammad al Fatih yang melihat orang-orang yang sembahyang dengan khyusuk kemudian tertegun. Saat Sultan tertegun, terdengar olehnya bunyi orang sedang memukul-mukul bangunan gereja dan mengganggu kekhusyukuan orang yang sedang beribadah.

Rupanya, itu suara tentara Turki Utsmani sedang memukul sebuah tiang marmer gereja. Sultan pun marah dibuatnya. “Apa maksud kalian berbuat seperti ini?” tanya Sultan.

“Bukankah saya ini seorang Muslim. Bukankah semuanya ini berhala tempat kafir menyembah selain Allah!” jawab tentara itu.

Baca Juga:  Begini Perayaan Maulid Nabi di Mekkah pada Zaman Dahulu

Mendengar jawaban itu, wajah Sultan terlihat marah. Diambilnya palu dari tangan tentara itu dan dihayunkan ke kepala serdadu tersebut sambil berkata dengan marah. “Tidak boleh merusak tempat ibadah!,” kata Sultan.

Sikap Sultan yang demikian itu mengherankan orang-orang kristen yang sedang berdoa di dalam gereja Hagia Sophia tersebut. Mereka tidak menyangka Sultan berbuat baik dengan menghormati peribadatan mereka. Akhirnya mereka pun tidak ragu untuk mendekati Sultan.

Mereka terharu karena Sultan Mahmud ternyata tak seperti yang mereka bayangkan. Karena kejadian tersebut, bahkan ada di antara kalangan orang Kristen yang masuk Islam. Salah satunya adalah seorang pendeta yang dikenal dengan nama Baba Muhammad.

Saat itu pula Sultan juga mengatakan, bahwasanya gereja-gereja yang ada di Konstantinopel tetaplah menjadi gereja, kecuali beberapa buah yang akan dijadikan masjid salah satunya adalah Hagia Sophia sendiri.

Di hari yang sama saat waktu sudah menunjukkan waktu Ashar, Sultan Mahmud sholat di gereja itu yang secara resmi menjadi simbol dijadikannya masjid. Setelahnya, segala tanda-tanda bekas peribadatan agama sebelumnya, disingkirkan.

Kemudian, Sultan Muhammad juga mengeluarkan perintah, mengumumkan kebebasan dan jaminan keamanan kepada masyarakat di sana. Tentara kekhalifahan Islam pun dilarang mengganggu kebebasan beragama masyarakat Konstantinopel.

Sultan Muhammad juga memerintahkan agar syiar agama Kristen di jalankan sebagaimana biasanya. Dia lalu mengundang beberapa orang uskup di bekas Kerajaan Romawi dan menyampaikan bahwa dia ingin agar orang Kristen mengerjakan agamanya dengan sungguh-sungguh dan menghilangkan perselisihan sesama mereka.

Baca Juga:  Sejarah Singkat Terjadinya Perang Salib 5 (1217 M - 1221 M)

Maka, supaya umat Kristen berjalan dengan baik, sultan menganjurkan supaya uskup-uskup itu memilih sendiri di kalangan mereka, siapa yang layak menjadi Patriark (gelar uskup tertinggi).

Sultan menyatakan, bahwa dia tidak ingin mengintervensi atau memaksakan kehendaknya. Hanya saja, ia meminta pemilihan tersebut dilakukan secara cepat dan dia akan menanggung biaya pemilihan Patriark.

Awalnya, para uskup kaget seakan-akan tidak percaya dengan permintaan Sultan Muhammad tersebut. Sebab, negeri mereka pernah diserang dan diduduki pula oleh kawan seagamanya sendiri saat terjadi perang salib namun mereka tidak mau bersatu di bawah pimpinan Paus.

Para Uskup juga menyangka akan sama nasib mereka di bawah Sultan Muhammad II. Namun ternyata hal itu tidak terjadi, bahkan Sultan sangat bijak dalam mengambiil keputusannya.

Setelah permintaan Sultan itu, maka dipilihlah oleh para uskup itu Agnadius menjadi Patriark. Selesai pelantikan, mereka bersama bertemu dengan Sutlan di istana. Oleh Sultan, mereka disambut dengan serba kehormatan dan dijamu dengan sangat baik.

Setelah makan-makan dan minum, Sultan kemudian berkata, “Tuan adalah Patriark kaum Nasrani di negeri ini. Semoga Tuhan selalu memberikan perlindungan bagi tuan. Pandanglah selalu bahwa saya adalah sahabat tuan dan sahabat jamaah tuan. Segala hak-hak tuan yang dipusakai sejak dari nenek moyang tuan pakailah kembali,” kata Sultan.

Baca Juga:  Meski Dipenjara, Hadratusysyeikh Berulang Kali Khatamkan Qur'an dan Kitab Hadits

Setelah upacara selesai, Patriark memohon diri hendak pulang. Sultan pun berdiri dari duduknya dan bersama para pejabatnya, mengantarkan Patriark sampai ke pintu. Di halaman istana telah menunggu kuda kendaraan Patriark yang sudah disediakan.

Karena begitu terharunya, hingga terlontar dari mulutnya perkataan yang sebenarnya mesti dirahasiakan oleh Patriark itu.

“Kaisar-kaisar kami sendiri tidak pernah melakukan begini kepada kami!”

Maka keluarlah pernyataaan resmi dari Sultan bahwa Patriark aman dalam perlindungan Kerajaan. Dan kedudukan Patriark juga disamakan dengan para menteri yang lain dalam Dinasti Turki Utsmani yang bertugas mengurus rakyat Sultan yang beragama Nasrani, baik dalam urusan sipil atau dalam urusan agamanya.

Oleh karenanya saat itu, Patriark Konstantinopel mempunyai dua tugas. Pertama, memimpin golongannya sendiri, kedua menjadi menteri Kerajaan Turki Utsmani yang sama hak nya dengan menteri yang lain.

Lukman Hakim Hidayat