Gus Dur, Fordem, dan Oposisi terhadap Orde Baru

gus dur dan orde baru

Pecihitam.org – Pada awal tahun 1990-an ada dua peristiwa penting yang menandakan menguatnya otoritarianisme kekuasaan Presiden Suharto dan sektarianisme keagamaan. Dua peristiwa itu merupakan pembredelan Majalah Monitor dan pendirian Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang disponsori Pak Harto.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Majalah Monitor yang dipimpin Arswendo Atmowiloto dibredel setelah mempublikasikan sebuah survei tentang daftar tokoh yang paling populer di Indonesia. Pada hasil survei itu memunculkan nama Nabi Muhammad Saw nomor dua setelah Pak Harto.

Peristiwa itu memunculkan protes berat dari kalangan muslim yang menilai itu sebagai penistaan. Namun, masalahnya adalah pemerintah malah membubarkan majalah itu. Bagi Gus Dur, meskipun majalah itu membuat survei yang buruk dan memalukan, tapi tak lantas mudah dengan begitu saja dibubarkan. Pembredelan merupakan tindakan yang melanggar prinsip demokrasi.

Peristiwa kedua yang mengukuhkan sektarianisme adalah pendirian ICMI. Gus Dur mengkritik pendirian itu karena mengukuhkan Islam menjadi kelompok yang sangat diuntungkan oleh negara. Terlebih lagi itu hanya pencitraan Pak Harto.

Baca Juga:  Kisah Gus Dur Menyelamatkan Rumah Besar Indonesia

Melihat situasi politik dan sosial yang semakin otoriter dan sektarian itu Gus Dur bersama banyak intelektual lintas aliran mendirikan sebuah wadah bersama untuk memperjuangkan demokrasi, yakni Forum Demokrasi (Fordem).

Komposisi di dalamnya sangat beragam, ada intelektual muslim, katolik, protestan, hingga eksponen aktivis sosialis. Diantara mereka ada Marsilam Simanjuntak, Bondan Gunawan, Rahman Tolleng dan banyak sosok intelektual lainnya.

Dalam musyawarah pendirian Fordem itu oleh teman-temannya Gus Dur dipilih menjadi ketuanya. Selain karena Gus Dur memang memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni, juga karena Gus Dur adalah sosok yang paling aman dari intimidasi kekuasaan Orde Baru karena memiliki basis masa yang besar di Nahdlatul Ulama’ (NU) yang saat itu menjadi ketuanya.

Pada masa itu Gus Dur sempat dikritik oleh berbagai kalangan karena bekerjasama dengan tokoh-tokoh lintas aliran. Ada yang menyarankan agar Gus Dur menggunakan NU saja untuk beroposisi dengan kekuasaan.

Baca Juga:  Ketika Imam At-Thabari Di Tuduh Syiah dan Atheis Bagian 1

Namun, masukan itu disanggah Gus Dur bahwa justru dengan Fordem-lah yang memiliki basis yang beragam itulah malah menandakan bahwa perjuangan menegakkan demokrasi di Frodem sangatlah tulus bukan karena kepentingan politik Gus Dur demata.

Dalam kiprahnya, Fordem tetaplah berhati-hati dalam memberikan kritik terhadap kekuasaan. Kritik yang diberikan haruslah benar-benar murni demi memperjuangkan demokrasi dan kebebasan. Fordem berusaha jangan sampai tampak seperti sebuah organisasi yang diidentikkan dengan partai politik tertentu.

Kehati-hatian itu merupakan bentuk implikasi dari prinsip perjuangan Fordem yang menolak terjadinya sektarianisasi dalam politik seperti yang tampak dalam pendirian ICMI. Fordem tetap berusaha murni untuk kepentingan menjaga demookrasi dan kebebasan.

Pak Harto dan Orde Barunya sangat membenci Fordem. Orde Baru berulangkali membubarkan kegiatan diskusi yang dihelat oleh Fordem dengan alasan tidak memenuhi persyaratan. Namun, karena semakin dibenci, ternyata Fordem semakin populer.

Banyak tulisan yang terbit di koran terus-menerus mengulas Fordem. Terlebih lagi sosok Gus Dur yang menjadi ketuanya sangat populer di masyarakat. Apapun yang dikatakan Gus Dur selalu saja ada wartawan yang meliput dan menerbitkannya di media massa.

Baca Juga:  Kisah Persahabatan Gus Dur dengan Seorang Yahudi Baghdad

Pada masa itu, Gus Dur dan Fordem menjadi simbolisasi dari perjuangan demokratisasi dan oposisi terhadap otoritarianisme kekuasaan Pak Harto dan Orde Barunya.

Demikianlah kisah Gus Dur bersama teman-temannya lintas aliran dan agama mendirikan sebuah organisasi yang memperjuangkan demokrasi. Melalui perjuangan itulah Gus Dur terbukti sebagai seorang cendikiawan muslim yang sangat mendukung upaya-upaya demokratisasi di Indonesia. Wallahua’lam.