Pecihitam.org – Fase awal kekuasaan Presiden Suharto sangat mendiskreditkan golongan Islam. Misalnya, setelah Pak Harto mempropaganda kaum muslim untuk menumpas Partai Komunis Indonesia (PKI), ternyata Pak Harto tidak mengizinkan partai-partai Islam –yang pada zaman akhir kekuasaan Bung Karno dibubarkan- untuk berdiri kembali.
Kebijakan Pak Harto yang membuat jengkel golongan Islam tak hanya itu. Misalnya, Pak Harto memaksa partai-partai Islam untuk berfusi kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Baik Partai Nahdlatul Ulama’ (NU) maupun Partai Masyumi dipaksa untuk bergabung menjadi satu partai.
Adapun tujuan itu adalah untuk lebih mudah mengontrol kalangan Islam yang ditakuti Pak Harto. Selain itu, ketika partai-partai Islam sudah dapat dikendalikan, Golkar akan lebih mudah memenangkan pemilu.
Kebijakan lain Pak Harto yang membuat jengkel golongan Islam adalah pemaksaan kepada semua organisasi dengan asas tunggal Pancasila pada awal tahun 1980-an. Bagi organisasi yang menolak itu akan distigmatisasi sebagai anti pemerintah.
Berbagai kebijakan Pak Harto yang menjengkelkan umat Islam itu berubah sejak awal tahun 1990-an. Pada tahun-tahun itu Pak Harto kemudian merubah citranya menjadi seorang pemimpin yang relijius dengan melakukan ibadah haji.
Salah satu puncak kebijakan politis sekaligus pencitraan kepada umat Islam adalah ketika pada bulan Desember 1990 mensponsori pendirian dari organisasi Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI). Pak Harto tak hanya mendukung pendirian ICMI, namun juga memilihkan BJ. Habibie sebagai ketuanya.
Segala kebijakan Pak Harto yang seolah-olah berpihak kepada umat Islam itu disebabkan mulai lemahnya dukungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). ABRI yang mendukung penuh pada fase awal kekuasaan Pak Harto mulai sulit dikendalikan.
Di internal ABRI pecah dan banyak diantaranya tidak puas dengan apa yang dilakukan oleh Pak Harto. Hingga pada akhirnya Pak Harto tidak dapat lagi mengendalikan ABRI yang sebelum-sebelumnya menjadi penyokong utama kekuasaannya.
Kembali kepada persoalan ICMI. Gus Dur sewaktu ICMI didirikan pada tahun 1990 sedang menjabat sebagai ketua PBNU. Sebagai ketua ormas Islam terbesar di Indonesia, Gus Dur sering ditawari oleh berbagai pengurus ICMI untuk bergabung.
Greg Barton, penulis Biografi Gus Dur: The Autorized Biography of Abdurrahman Wahid (2016) menuturkan bahwa Gus Dur menolak ajakan untuk ikut bergabung dengan ICMI. Bagi Gus Dur, ICMI tak lain hanyalah pencitraan Pak Harto atas umat Islam.
Selian itu, menurut Gus Dur ICMI hanya akan mendorong terjadinya sektarianisasi dalam iklim sosial-keagamaan dan politik Indonesia. Terlebih lagi, lembaga ini jelas-jelas disponsori penuh oleh negara. Dengan demikian hal ini adalah sebuah diskriminasi di tengah keberagaman agama masyarakat Indonesia.
Gus Dur juga menyebut bahwa di dalam ICMI, golongen yang benar-benar intelektual Islam sejati hanyalah minoritas. Kebanyakan adalah kalangan muslim yang pragmatis menjadikan ICMI sebagai kendaraan untuk mendekat kedalam jantung kekuasaan Orde Baru.
Selain itu, menurut Gus Dur ICMI banyak diisi oleh kalangan Islam konservatif yang tak punya aspirasi keberagaman dan keindonesiaan. Banyak anggotanya adalah orang-orang yang dekat dengan lembaga Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) yang banyak mensponsori gerakan Wahabi dan Islam transnasional lainnya.
ICMI merupakan kombinasi yang sangat berbahaya untuk iklim keindonesiaan. Sebab, di dalamnya bercampur antara konservatisme Islam dan negara yang menjadi sponsornya. Terlebih lagi, kebijakan ini dibuat hanya sebagai pencitraan kekuasaan Pak Harto semata. Dengan berbagai alasan itu Gus Dur menolak bergabung dengan ICMI.
Demikianlah asal-usul berdirinya organisasi ICMI yang di belakangnya disponsori oleh kekuasaan Pak Harto untuk kepentingan pencitraan politik. Maka dari itu, Gus Dur mengambil posisi sebagai oposisi atas kebijakan yang melanggengkan konservatisme Islam. Wallahua’lam.