Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 105-107 – Kitab Ilmu ini, menjelaskan tentang penjelasan yang sama pada bab sebelumnya yaitu larangan keras berdusta dengan membawa nama Rasulullah saw, karena hal tersebut akan membuat pelakunya dimasukkan kedalam neraka.
Larangan ini sangat jelas dan terang bagi mereka yang selalu mengada-adakan kedustaan atau membuat hadis palsu dan menyandarkannya kepada Rasulullah saw. Namun ketiga hadis ini memiliki jalur periwayatan yang berbeda. Maka sangat keras ancaman yang diancamkan kepada mereka. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Ilmu. Halaman 388-391.
Hadits Shahih Al-Bukhari No. 105
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ قَالَ أَنَسٌ إِنَّهُ لَيَمْنَعُنِي أَنْ أُحَدِّثَكُمْ حَدِيثًا كَثِيرًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَمَّدَ عَلَيَّ كَذِبًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Ma’mar] berkata, telah menceritakan kepada kami [‘Abdul Warits] dari [‘Abdul ‘Aziz] berkata, [Anas] berkata, “Beliau melarangku untuk banyak menceritakan hadits kepada kalian karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa sengaja berdusta terhadapku (atas namaku), maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka.”
Keterangan Hadis: Kata حديث di sini adalah jenis hadits atau pembicaraan, maka kata tersebut disifati dengan katsrah (banyak).
Dalam hal ini Anas merasa khawatir sebagaimana yang dirasakan oleh Zubair, maka dia menjelaskan dengan lafazh اكثر (memperbanyak) karena lafazh inilah yang cocok Barangsiapa yang mencari sesuatu di tempat yang dijaga, maka dikhawatirkan ia akan masuk ke dalamnya. Dalam bal ini tidak memperbanyak meriwayatkan alau membicarakan (hadits) merupakan sikap hati-hati.
Meskipun demikian Anas tetap sebagai perawi yang banyak meriwayatkan hadits, karena di wafat paling akhir sehingga ia sangat dibutuhkan dan tidak mungkin untuk menyembunyikan hadits Rasulullah. Jika ia mau meriwayatkan semua hadits yang ada padanya, maka tumlahma akan lebih banyak lagi.
Dalam riwayat Itab dikatakan, bahwa ia mendengar Anas berkata, “Seandainya saya tidak takut salah, maka saya akan mengatakan kepadamu semua apa yang dikatakan oleh Rasulullah.” (HR. Ahmad) Diterangkan juga. bahwa Anas tidak meriwayatkan hadits kecuali setelah diteliti terlebih dahulu keabsahannya dan meninggalkan apa yang diragukan.
Sebagian orang mengatakan, bahwa Anas selalu meriwayatkan hadits dengan lafazh. tidak dengan maknama Hat itu dapat diperhatikan dari ungkapannya. “Seandainya saya tidak takut salah” meskipun masih harus diteliti kembali kebenaran pendapat mi sebagaimana yang diketahui dari Anas. yaitu diperbolehkan meriwayatkan hadits dengan makna seperti yang diriwayatkan oleh Al Khatib dari Anas secara jelas. Riwayat-riwayat tersebut dapat kita temukan, seperti dalam hadits tentang basmalah, memperbanyak air ketika wudhu dan memperbanyak makanan .
Kata كَذِبًا dalam hadits ini ditulis dalam bentuk nakirah (indefinit), sehingga mencakup semua jenis dusta.
Hadits Shahih Al-Bukhari No. 106
حَدَّثَنَا مَكِّيُّ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ أَبِي عُبَيْدٍ عَنْ سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَا لَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Makki bin Ibrahim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Yazid bin Abu ‘Ubaid] dari [Salamah] berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berkata tentangku yang tidak pernah aku katakan, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya di neraka.”
Keterangan Hadis: Dalam hadits ini disebutkan “perkataan atau ucapan”, karena itulah yang banyak terjadi. Disampmg itu ucapan juga termasuk dalam kategori perbuatan, karena keduanya sama dalam alasan dilarangnva perbuatan tersebut, dimana perbuatan termasuk dalam keumuman hadits Zubair dan Anas sebelumnya. Sehingga keduanya diungkapkan dengan kata الكذب (dusta) kepadanya, seperti hadits Abu Hurairah yang disebutkan setelah hadits Salamah Keduanya tidak mempunyai perbedaan, baik ia mengatakan “Rasulullah telah bersabda… atau Rasulullah telah melakukan. , padahal beliau tidak mengatakan atau melakukannya. Jika hal ini terjadi, maka termasuk dusta.
Lafazh hadits ini secara zhahir mengandung larangan untuk meriwayatkan hadits dengan maknanya, namun pendapat ini disanggah oleh pendapat yang membolehkannya. Mereka mengatakan, bahwa maksud larangan tersebut adalah larangan meriwayatkan hadits dengan lafazh yang dapat merubah hukum, meskipun kita mengetahui bahwa meriwayatkan hadits dengan lafazh adalah lebih utama daripada menwayatkannya dengan makna.
Hadits Shahih Al-Bukhari No. 107
حَدَّثَنَا مُوسَى قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَسَمَّوْا بِاسْمِي وَلَا تَكْتَنُوا بِكُنْيَتِي وَمَنْ رَآنِي فِي الْمَنَامِ فَقَدْ رَآنِي فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لَا يَتَمَثَّلُ فِي صُورَتِي وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Musa] telah menceritakan kepada kami [Abu ‘Awanah] dari [Abu Hushain] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah] ia berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berikanlah nama dengan namaku dan jangan dengan julukanku. Karena barangsiapa melihatku dalam mimpinya sungguh dia benar-benar telah melihatku, karena setan tidak sanggup menyerupai bentukku. Dan barangsiapa berdusta terhadapku, maka hendaklah ia persiapkan tempat duduknya dalam neraka.”
Keterangan Hadis: Pengarang juga menulis hadits ini dengan lengkap dalam masalah “adab”. Adapun Imam Muslim hanya menyebutkan bagian akhir hadits ini yang merupakan tujuan bab yang sedang kita bahas. Alasan penulis menyebutkan hadits ini secara lengkap adalah untuk mengingatkan bahwa berdusta atas nama Nabi baik dalam keadaan sadar atau tidur adalah sama hukumnya.
Jika ada yang bertanya, bahwa dusta adalah suatu kemaksiatan, kecuali dusta yang bertujuan untuk memperbaiki dan lainnya, dan kita mengetahui bahwa kemaksiatan akan mendapat ancaman neraka, maka apa perbedaan ancaman dusta terhadap Rasulullah dengan dusta terhadap selainnya’.’ Jawabannya ada dua:
Pertama, dusta terhadap (atas nama) Rasulullah yang dilakukan dengan sengaja, pelakunya dihukumi kafir menurut sebagian ulama, seperti Imam Al Juwaini yang dilemahkan oleh anaknya, yaitu Imam Al Haramain. Sedangkan Ibnu Munir berpendapat, bahwa orang yang berdusta atas nama Rasulullah untuk menghalalkan yang haram misalnya, maka hal yang haram itu tidak akan berubah menjadi halal, dan menghalalkan yang haram adalah kufur, dan sesuatu yang menyebabkan kekufuran adalah kuiur. Adapun iumhur ulama mengatakan, bahwa pelakunya tidak dihukumi katir kecuali ia meyakini kehalalan sesuatu yang haram tadi.
Kedua, dusta terhadap Rasulullah adalah termasuk perbuatan dosa besar, sedangkan dusta terhadap selamnya termasuk dosa kecil. Untuk itu ancaman keduanya tidaklah sama, demikian juga dengan lamanya berada dalam neraka sebagaimana y ang diisyaratkan dalam kata فَلْيَتَبَوَّأْ Bahkan secara zhahir pelakunya tidak akan keluar dari neraka. karena dia tidak mempunyai tempat selain neraka.
Hanya saja dalil yang qath’i mengatakan, bahwa yang kekal dalam neraka adalah khusus orang-orang kafir, maka Nabi membedakan antara dusta kepadanya dengan dusta kepada selamnya sebagaimana yang akan dijelaskan dalam masalah “Janaiz” dari hadits Al Mughirah, dimana Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya dusta kepadaku (atas namaku) tidaklah sama dengan dusta kepada selainku ” Dalam hal ini kami menjelaskan perbedaan taubat orang yang sengaja melakukan dusta terhadap beliau, apakah diterima atau tidak?
Catatan: Penulis telah menyusun hadits dalam bab ini dengan baik, dimana penulis telah menyebutkan terlebih dahulu hadits Ali ra yang menjadi tujuan utama bab ini. Kemudian kedua, ia mencantumkan hadits Zubair yang menunjukkan sikap para sahabat yang menjauhi segala macam bentuk dusta kepada Rasulullah. Sedangkan ketiga, hadits Anas yang menjelaskan keengganan para sahabat untuk banyak meriwayatkan hadits yang menyebabkan kesalahan. Hal itu bukan berarti mereka enggan untuk meriwayatkan hadits. karena mereka telah diperintahkan untuk menyampaikan apa yang mereka dapatkan dari Rasulullah.
Kemudian penulis mengakhiri bab ini dengan memaparkan hadits Abu Hurairah yang mengisyaratkan, bahwa dusta kepada Rasulullah dengan dakwaan telah mendengar dan beliau baik dalam keadaan sadar atau tidur adalah sama hukumnya, yaitu haram.
Imam Bukhari juga telah meriwayatkan hadits, “Barangsiapa dusta atas namaku” dan hadus Al Mughirah dalam bab “Janaiz”. Dan hadits Abdullah bin Amru bin Ash dalam kisah bani Israil, dan dari hadits Watsilah bin Al Asqa’ dalam manaqib Quraisy, namun dia tidak menyebutkan dengan jelas ancaman masuk neraka bagi para pelakunya.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020