Hadits Shahih Al-Bukhari No. 111 – Kitab Ilmu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 111 – Kitab Ilmu ini, menjelaskan tentang masa-masa Rasulullah saw bertambah parah sakitnya dan meminta para sahabat menulis sesuatu agar mereka tidak tersesat. Akan tetapi sebagian kelompok sahabat membuat kegaduhan Nabi saw langsung menyuruh mereka beranjak pergi dari sisinya. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Ilmu. Halaman 398-401.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ وَهْبٍ قَالَ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَمَّا اشْتَدَّ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعُهُ قَالَ ائْتُونِي بِكِتَابٍ أَكْتُبْ لَكُمْ كِتَابًا لَا تَضِلُّوا بَعْدَهُ قَالَ عُمَرُ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَلَبَهُ الْوَجَعُ وَعِنْدَنَا كِتَابُ اللَّهِ حَسْبُنَا فَاخْتَلَفُوا وَكَثُرَ اللَّغَطُ قَالَ قُومُوا عَنِّي وَلَا يَنْبَغِي عِنْدِي التَّنَازُعُ فَخَرَجَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقُولُ إِنَّ الرَّزِيَّةَ كُلَّ الرَّزِيَّةِ مَا حَالَ بَيْنَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبَيْنَ كِتَابِهِ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sulaiman] berkata, telah menceritakan kepadaku [Ibnu Wahhab] berkata, telah mengabarkan kepadaku [Yunus] dari [Ibnu Syihab] dari [‘Ubaidullah bin ‘Abdullah] dari [Ibnu ‘Abbas] berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertambah parah sakitnya, beliau bersabda: “Berikan aku surat biar aku tuliskan sesuatu untuk kalian sehingga kalian tidak akan sesat setelahku.” Umar berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam semakin berat sakitnya dan di sisi kami ada Kitabullah, yang cukup buat kami. Kemudian orang-orang berselisih dan timbul suara gaduh, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pergilah kalian menjauh dariku, tidak pantas terjadi perdebatan di hadapanku.” Maka Ibnu ‘Abbas keluar seraya berkata, “Ini adalah musibah, dan sungguh segala musibah tidak boleh terjadi di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Al Qur’an.”

Keterangan Hadis: الوجع (Penyakit), yaitu penyakit yang mengiringi Nabi berpulang ke pangkuan Ilahi. Imam Bukhari dalam kitab Al Maghazi dan Ismaili menyatakan, “Sesaat sebelum Nabi meninggal.” Imam Bukhari dalam hadits riwayat Said bin Jubair menyatakan, bahwa pada waktu itu adalah hari kamis, empat hari sebelum Nabi meninggal.

Baca Juga:  Puasa Syawal: Puasa 6 Hari yang Menyamai Setahun, Kok Bisa?

بِكِتَابٍ (kertas) alat-alat tulis. Pada hadis riwayat Imam Muslim disebutkan. “Ambillah papan dan tempat tintanya”

أَكْتُبْ (Saya menulis) Kata ini dalam bentuk majaz yang mengandung perintah untuk menulis. Dalam Musnud Ahmad diriwayatkan bahwa yang diperintahkan adalah menulis, dengan redaksi hadits “Nabi SAW memerintahkan kepadaku mengambil papan untuk menulis sebagai petunjuk agar umatnya tidak tersesat setelah beliau wafat.”

غَلَبَهُ الْوَجَع (Penyakit yang semakin parah). Nabi sudah tidak kuasa lagi untuk menulis, dan nampaknya Umar memahami situasi itu, ia hanya ingin mengulur-ulur waktu saja.

Al Qurthubi dan lainnya berpendapat, bahwa kata “Ambillah” adalah bentuk perintah, dan orang yang diperintah sepantasnya bersegera untuk melaksanakan perintah tersebut. Namun bagi Umar dan sahabat lainnya, hal itu bukanlah perintah yang wajib, perintah tersebut hanya semacam nasihat atau petunjuk kepada yang lebih baik.

Oleh sebab itu mereka tidak mau menyulitkan beliau dalam keadaan seperti itu, karena para sahabat mudah mengingat segala sesuatu terutama yang datang dari Nabi, apalagi mereka sudah hafal firman Allah yang menyebutkan مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَاب مِنْ شَيْء dan firman lainnya تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْء Dari sinilah kenapa umar mengatakan, “Cukuplah dengan Kitab Allah.”

Sedangkan kelompok lain berpendapat, bahwa yang paling utama adalah dengan menuliskan, sebagai pelaksanaan perintah dari Nabi sekaligus berdampak pada semakin jelasnya suatu perintah. Perintah untuk menuliskan dalam hadits tersebut bersifat ikhtiyar (kebebasan untuk memilih), karena setelah kejadian itu Nabi masih sempat bertahan hidup untuk beberapa hari, namun Beliau tidak mengulang perintah tersebut kepada para sahabat.

Bila saja perintah itu wajib, maka Nabi tentunya tidak akan membiarkan terjadinya perbedaan pendapat antara para sahabat. Selain itu Nabi tidak akan meninggalkan tugasnya sebagai penyampai risalah (tabligh), karena para sahabat tentunya akan langsung mengembalikan permasalahan yang masih dalam perdebatan diantara mereka kepada Nabi. Para sahabat tidak akan melaksanakan sebuah perintah bila perintah tersebut belum pasti.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 264-265 – Kitab Mandi

Catatan

Al Khaththabi mengatakan, “Umar berpendapat, jika masalah yang masih diperselisihkan itu ditulis, maka hilanglah keutamaan para ulama dan ijtihad pun tidak akan diperlukan lagi. Ibnu Al Jauzi mengomentari pendapat tersebut dengan mengatakan, bahwa apabila segala hal sudah tertulis, maka tidak bisa dikatakan bahwa ijtihad tidak diperlukan lagi, karena peristiwa dan kejadian di muka bumi sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya. Namun pada waktu itu Umar khawatir jika orang-orang munafik akan mengambil kesempatan untuk menghujat apa yang ditulis pada waktu beliau sakit. Pendapat lain yang mendukung statemen ini akan dicantumkan pada akhir pembahasan Al Maghazi.

وَلَا يَنْبَغِي عِنْدِي التَّنَازُع (Tidak pantas kalian berdebat dihadapanku). Ini menandakan, bahwa yang terbaik pada saat itu adalah bersegera melaksanakan perintah Nabi. Kalaupun yang menjadi pilihan Umar adalah benar, namun hal ini belum diketahui oleh Nabi.

Imam Qurthubi berpendapat, bahwa perdebatan diantara mereka pada saat itu sama halnya dengan perdebatan yang terjadi diantara sahabat terhadap sabda beliau, “Janganlah kalian shalat ashar sebelum tiba di bani Quraidhah.” Bagi yang merasa khawatir untuk kehabisan waktu sebelum tiba di bani Quraidhah, mereka langsung melaksanakan shalat dalam perjalanannya, sedang yang lain tetap bersiteguh memegang zhahir hadits. Semua yang dilakukan oleh kedua kelompok tersebut adalah hasil ijtihad dan maksud keduanya adalah baik.

فَخَرَجَ اِبْن عَبَّاس يَقُول (Maka keluarlah Ibnu Abbas dan berkata). Bila memperhatikan redaksi hadits, seakan-akan menunjukkan bahwa pada saat itu ibnu Abbas hadir di tempat kejadian, kemudian beliau keluar dari tempat kejadian sambil mengucapkan kata-kata sebagaimana dalam hadits di atas. Sebenarnya kejadian yang terjadi tidak demikan, akan tetapi sebenarnya perkataan Ibnu Abbas tersebut diucapkan pada saat beliau meriwayatkan hadits ini.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 523-525 – Kitab Waktu-waktu Shalat

الرَّزِيئَة (Bencana) atau musibah. Ditambahkan dalam hadits riwayat Al Ma’mar, “Bencana karena perdebatan dan kegaduhan yang terjadi diantara mereka.” Atau dengan adanya perbedaan diantara mereka, menyebabkan mereka meninggalkan perintah untuk menulis.

Dengan begitu, hadits ini merupakan dalil perintah untuk menulis hadits. Sedangkan perdebatan diantara sahabat, adalah penyebab tidak terlaksananya sebuah perbuatan baik. Hal ini sama halnya dengan kisah para sahabat yang berselisih untuk menentukan lailatul Qadar. Dan sinilah terjadinya ijtihad para sahabat, walaupun Nabi masih ada, pada saat timbul permasalahan tentang tidak diturunkannya wahyu kepada Nabi. Pembahasan selanjutnya akan dikembangkan dalam kitab Al Maghazi, insya Allah.

Catatan

Pertama, hadits Ali menyatakan bahwa beliau menuliskan hadits dari Nabi. Dimungkinkan Ali mulai menuliskan hadits setelah meninggalnya Nabi sebelum adanya larangan.

Kedua, hadits Abu Hurairah menyatakan perintah untuk menulis hadits setelah adanya larangan, maka hadis ini menjadi hadits Nasikh (yang menghapus atau membatalkan hadits yang melarang).

Ketiga, hadits Abdullah bin Amru, menyatakan pada sebagian sanadnya, bahwa Nabi memberi izin untuk menulis hadits, maka hadits ini sebagai dalil yang paling kuat dibolehkannya menulis hadits, mengingat hadits ini memberikan perintah untuk menuliskan hadits untuk Abi Syah. Perintah seperti ini sangat dimungkinkan, terutama bagi orang yang buta huruf atau buta.

Keempat, hadits Ibnu Abbas menunjukkan bahwa Nabi berkeinginan keras untuk menuliskan hadits untuk umatnya agar mereka tidak berselisih dan sesat.

M Resky S