Hadits Shahih Al-Bukhari No. 125 – Kitab Ilmu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 125 – Kitab Ilmu ini, Imam Bukhari memberi judul yaitu “Mengkhususkan sebagian ilmu kepada sebagian orang karena khawatir yag lainnya tidak dapat memahami” membahas Rasulullah SAW menjelaskan keilmuan Muadz bin Jabal, karena Nabi mengatakan hadits ini hanya kepadanya.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

Di dalamnya dijelaskan pula, seorang murid boleh meminta penjelasan mengenai hal-hal yang masih diragukan dan memperkenankan dia menyebarluaskan apa yang dia ketahui secara pribadi. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 1 Kitab Ilmu. Halaman 433-437.

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ قَتَادَةَ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمُعاذٌ رَدِيفُهُ عَلَى الرَّحْلِ قَالَ يَا مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ قَالَ يَا مُعَاذُ قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ ثَلَاثًا قَالَ مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُخْبِرُ بِهِ النَّاسَ فَيَسْتَبْشِرُوا قَالَ إِذًا يَتَّكِلُوا وَأَخْبَرَ بِهَا مُعَاذٌ عِنْدَ مَوْتِهِ تَأَثُّمًا

Terjemhahan: Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Mu’adz bin Hisyam] berkata, telah menceritakan kepadaku [Bapakku] dari [Qatadah] berkata, telah menceritakan kepada kami [Anas bin Malik] bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menunggang kendaraan sementara Mu’adz membonceng di belakangnya. Beliau lalu bersabda: “Wahai Mu’adz bin Jabal!” Mu’adz menjawab, “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.” Beliau memanggil kembali: “Wahai Mu’adz!” Mu’adz menjawab, “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.” Hal itu hingga terulang tiga kali, beliau lantas bersabda: “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasulullah, tulus dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan baginya neraka.” Mu’adz lalu bertanya, “Apakah boleh aku memberitahukan hal itu kepada orang, sehingga mereka bergembira dengannya?” Beliau menjawab: “Nanti mereka jadi malas (untuk beramal).” Mu’adz lalu menyampaikan hadits itu ketika dirinya akan meninggal karena takut dari dosa.”

Keterangan Hadis: رَدِيفُهُ atau berboncengan di belakang Nabi SAW, sedangkan kata الرَّحْلِ biasanya digunakan untuk seekor unta. Akan tetapi Muadz pada saat itu berboncengan di belakang Rasulullah di atas keledai, seperti akan diterangkan dalam pembahasan Jihad.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 150 – Kitab Wudhu

(قَالَ لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَسَعْدَيْكَ)لَبَّيْكَ  di sini artinya menjawab panggilan dan السَّعْد artinya bantuan, seakan-akan dia mengatakan “Siap ya, Rasulullah!” Namun keduanya adalah pujian yang mengandung makna penegasan atas kesiapan melayani dan melakukannya kapan saja. Ada pendapat yang mengatakan, bahwa Labbaik menurut etimologi tidak seperti itu. Ini akan kita bahas pada pembahasan Haji, insya Allah.

ثَلَاثًا maksudnya panggilan serta jawabannya dilakukan sebanyak tiga kali. Hal itu dinyatakan dengan jelas dalam riwayat Muslim dan diperkuat oleh hadits sebelumnya pada bab “”Siapa yang Mengulang Pembicaraan hingga Tiga Kali agar yang Mendengar Dapat Memahaminya”.

صِدْقًا (pengakuan). Ditambahkannya kata-kata ini agar syahadah orang munafik tidak termasuk di dalamnya. Perkataan beliau مِنْ قَلْبِهِ (dari hati sanubarinya) mungkin ada hubungannya dengan shidqu, yaitu dengan kata lain mengucapkan dengan lidah dan mengukuhkannya dalam hati. Mungkin juga hubungannya dengan yasyhad atau bersaksi dengan hatinya, hanya saja kemungkinan pertama lebih tepat.

Ath-Thibi mengatakan, bahwa perkataan beliau “Shidaan” menduduki posisi istiqamah karena pengakuan adalah kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan khabar dan diinterpretasikan kepada perbuatan yang diridhai seperti firman Allah, “Dan orang vang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya.” (Az-Zumar (39): 33) ataupun mewujudkan perbuatan yang sesuai dengan apa yang diucapkan.

Dengan keterangan ini Imam Bukhari bermaksud menghilangkan problem yang berkaitan dengan makna zhahir hadits, karena hadits tersebut secara zhahir menghendaki semua orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat tidak masuk neraka dikarenakan keumuman dan penegasan yang terdapat dalam hadits tersebut.

Akan tetapi ahli sunnah berpendapat, bahwa terdapat dalil yang bersifat qath’i yang menunjukkan adanya sekelompok orang-orang beriman yang diazab dalam neraka karena perbuatan maksiat yang mereka lakukan, kemudian dikeluarkan dengan syafaat. Dari sini diketahui, bahwa zhahir hadits bukanlah menjadi tujuan, seolah-olah Imam Bukhari ingin mengatakan, “Sesungguhnya jaminan tidak disentuh api neraka dikaitkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, tidak hanya dengan bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah.” Beliau berkata lagi, “Oleh karena maksud hadits bukan zhahimya, maka Nabi melarang Muadz untuk menyebarluaskan hadits ini.”

Para Ulama juga memberi jawaban lain tentang kasus ini, diantaranya kemutlakan hadits dikaitkan dengan orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan bertaubat kemudian meninggal dalam keadaan Islam. Kemudian, Nabi bersabda tentang ini sebelum kewajiban-kewajiban sebagai seorang mukmin diturunkan.

Baca Juga:  Periode Penulisan Hadis Dimulai Sejak Zaman Rasulullah atau Sahabat?

Dalam jawaban tersebut ada yang perlu diperhatikan, karena hadits seperti ini terdapat dan Abu Hurairah seperti yang diriwayatkan oleh Muslim, dan Abu Hurairah menjadi salah seorang sahabat setelah banyak kewajiban diturunkan. Hal seperti itu terdapat dalam hadits Abu Musa yang diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad Hasan, dan kedatangan Abu Musa pada tahun yang sama dengan Abu Hurairah.

Diantara jawaban para ulama, bahwasanya penafsiran dengan menggunakan zhahir tersebut keluar dari kebiasaan, karena yang biasa terjadi adalah orang yang menyakmi keesaan Allah akan taat pada perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Kemudian maksud dari diharamkannya dia atas api neraka, yaitu diharamkannya untuk abadi dalam neraka.

Ada yang mengatakan bahwa maksudnya adalah, neraka yang dipersiapkan bagi orang-orang kafir, bukan neraka yang diperuntukkan bagi orang mukmin yang melakukan maksiat. Lalu ada yang menjawab, maksud dari pengharaman dari api neraka adalah pengharaman dari pembakaran seluruh badan oleh neraka, karena api neraka tidak melahap bagian-bagian bekas sujud seorang mukmin, seperti yang ditetapkan dalam hadits syafaat bahwa ha! itu terjaga dari api neraka, begitu pula lidah yang mengucapkan kalimat tauhid. Wallahu a ‘lam.

فَيَسْتَبْشِرُوا Begitu pula dalam lafazh Abu Dzarr, فَهُمْ يَسْتَبْشِرُونَ? dan lafazh selebihnya mereka menghilangkan huruf “nun “.

إِذًا يَتَّكِلُوا Yaitu apabila engkau memberitahu mereka, maka mereka akan pasrah saja. Dalam lafazh Al Ushaili serta Al Kasymiham, يَنْكُلُوا ataupun mereka dengan sengaja meninggalkan ibadah seperti yang terlintas dalam pikirannya dari dzahir hadits.

Al Bazzar meriwayatkan dengan sanad hasan dari hadits Abu Said Al Khudri RA yang berkaitan dengan kasus ini, bahwasanya Nabi SAW mengizinkan Muadz menyebarluaskannya, kemudian dia bertemu dengan Umar dan dia berkata kepada Muadz, “Jangan dilakukan sekarang!” Kemudian dia masuk dan berkata, “Wahai Nabi Allah, sesungguh yang paling bijaksana pandangannya adalah engkau. Akan tetapi jika manusia mendengar hal itu. mereka akan memasrahkan diri.” Nabi bersabda. “Maka tolak saja haditsnya. “

Kasus ini masuk dalam kategori dipakainya pendapat Umar oleh Rasul. Hadits ini juga menjelaskan diperbolehkannya berijtihad di depan Nabi SAW. Sebagian ulama Mutakallimin dari Asyari menyimpulkan dari perkataan beliau يَتَّكِلُوا bahwa seorang hamba memiliki pilihan atas kelakuannya, walaupun Allah telah mengetahui sebelumnya apa yang akan dia pilih.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 380-381 – Kitab Shalat

عِنْدَ مَوْتِهِ (Ketika kematiannya) atau kematian Muadz. Yang aneh Al Karmani mengatakan, bahwa ada kemungkinan kata gantinya ditujukan kepada Rasulullah. Menurut pendapat saya, kata ganti (dhamir) tersebut ditujukan kepada Muadz, seperu yang diriwayatkan Ahmad dengan sanad shahih dari Jabir bin Abdullah Al Anshari. Dia berkata,

Beritahu aku siapa yang menyaksikan perkataan Muadz ketika akan meninggal ” Dia mengatakan, “Saya mendengar dari Rasulullah SAW sebuah hadits yang tidak dilarang bagi sava untuk menyampaikannya kepada kalian kecuali beliau takut kalian akan pasrah diri…” maka disebutkan hadits ini.

تَأَثُّمًا (Takut dosa) atau takut terjerumus ke dalam dosa. I lal ini telah diterangkan dalam hadits permulaan wahyu dalam perkataan Nabi,. يَتَحَنَّث (menjauhkan diri dari berbuat dosa).

Dosa yang dimaksud di atas adalah karena menyembunyikan pengetahuan (hadits). Perbuatan Muadz tersebut menunjukkan bahwa larangan menyebarkan hadits mi hanyalah sebagai sikap hati-hati. bukan pengharaman. Jika tidak, kenapa Muad? memberitahukan hadits ini pada akhir hayatnya. Atau larangan menyampaikan hadits terkait dengan sikap skeptis, inakanya Muadz memberitahukan hadits mi kepada orang yang dia percaya tidak akan bersikap begitu Jika demikian apabila kaitannya tidak ada, maka yang dikaitkanpun tidak berfungsi lagi. Pendapat pertama lebih mengenai sasaran, karena Muadz menunda menyampaikan hadits hingga dekat wafatnya.

Qadhi lyadh berpendapat. “Barangkali Muadz tidak memahami larangan yang ada dalam hadits tersebut, hingga dia hanya menunda keinginan penyebarluasan hadits kepada mereka.” Menurut sava, riwayat berikut ini secara tegas menunjukkan larangan, dan vang tepat adalah pendapat pertama.

Hadits ini menjelaskan diperbolehkannva berboncengan dan tawadhu’ (rendah hati) seperti Rasulullah SAW. karena beliau bersedia untuk duduk satu kendaraan dengan Muadz. Juga menjelaskan keilmuan Muadz bin Jabal, karena Nabi mengatakan hadits ini hanya kepadanya. Di dalamnya dijelaskan pula, seorang murid boleh meminta penjelasan mengenai hal-hal yang masih diragukan dan memperkenankan dia menyebarluaskan apa yang dia ketahui secara pribadi.

M Resky S