Hadits Shahih Al-Bukhari No. 134 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 134 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberi judul dengan “tidak berwudhu karena syak (ragu) hingga benar-benar yakin” hadis ini membahas tentang seorang lelaki yang mengadukan keraguannya kepada Rasulullah saw tentang kentut ketika salat. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 17-22.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا عَلِيٌّ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا الزُّهْرِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ ح وَعَنْ عَبَّادِ بْنِ تَمِيمٍ عَنْ عَمِّهِ أَنَّهُ شَكَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ الَّذِي يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ لَا يَنْفَتِلْ أَوْ لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Ali] berkata, telah menceritakan kepada kami [Sufyan] berkata, telah menceritakan kepada kami [Az Zuhri] dari [Sa’id bin Al Musayyab]. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami [‘Abbad bin Tamim] dari [Pamannya], bahwa ada seseorang yang mengadukan keraguannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa seakan-akan ia mendapatkan sesuatu dalam shalatnya. Beliau lalu bersabda: “Janganlah kamu pindah atau pergi hingga kamu mendengar suara atau mencium baunya.”

Keterangan Hadis: عَنْ عَبَّاد (Dan dari Abbad bin Tamim), maksudnya hadits ini diriwayatkan oleh dua orang; yakni Sa’id bin Musayyab dan Abbad bin Tamim. Dalam riwayat yang dinukil oleh Karimah terjadi kesalahan, dimana tidak tercantum kata sambung ‘dan ‘. Jelas ini merupakan kekeliruan, karena Sa’id bin Musayyab tidak pemah meriwayatkan hadits dari Abbad bin Tamim. Kemudian ada kemungkinan bahwa syaikh (guru) Sa’id bin Musayyab adalah paman Abbad, sehingga seakan-akan beliau (Imam Bukhari) berkata, “Keduanya meriwayatkan dari paman Abbad.” Ada pula kemungkinan syaikh Sa’id tidak disebutkan di tempat ini, dan hadits ini termasuk riwayat mursal Sa’id bin Musayyab (yakni beliau langsung menyandarkan kepada Nabi tanpa menyebutkan sahabat -Penerj.)

Kemungkinan yang pertama dipilih oleh penulis kitab Al Athraaf, sedangkan kemungkinan yang kedua diperkuat oleh riwayat Ma’mar terhadap hadits ini, dimana ia meriwayatkan dari Az-Zuhri dari Sa’id bin Musayyab dari Abu Sa’id Al Khudri. Hadits Ma’mar dinukil oleh Ibnu Majah, dan para perawinya adalah tsiqah (terpercaya), hanya saja ketika hadits ini ditanyakan kepada Imam Ahmad, beliau berkata, “hadits ini adalah hadits munkar.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 4 - Kitab Permulaan Wahyu

عَنْ عَمّه (Dari pamannya), maksudnya adalah Abdullah bin Zaid bin Ashim Al Mazini Al Anshari. Namanya disebutkan oleh Muslim dan selainnya dalam riwayat mereka terhadap hadits tersebut melalui jalur Ibnu Uyainah. Lalu para ulama berbeda pendapat, apakah ia paman Abbad dari pihak bapaknya atau dari pihak ibunya?

أَنَّهُ شَكَا (Bahwasanya ia mengadu ), yang mengadu di sini adalah perawi hadits (paman Abbad). Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Ibnu Khuzaimah melalui riwayat Abdul Jabbar bin Alla’ dari Sufyan (dan lafazh ini adalah versi beliau) dari pamanya yakni Abdullah bin Zaid. Ia berkata, “Aku pemah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang se­seorang yang … dan seterusnya.” Lalu dalam sebagian riwayat disebutkan dengan lafazh, “Telah diadukan … ” yakni dalam bentuk pasif. Demikian pula yang terdapat dalam riwayat Imam Muslim sebagaimana diterangkan oleh An-Nawawi. Kemudian Imam An-Nawawi berkata, “Dan tidak disebutkan siapa sebenamya yang mengadukan hal ini.” Beliau menambahkan, “Disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari bahwa yang mengadu adalah perawi hadits itu sendiri.”

يُخَيَّل maksudnya adalah dzan (menduga). Makna dzan di sini jauh lebih luas daripada pengertiannya yang terkenal, yakni adanya dua kemungkinan yang mana tidak ada satupun yang lebih kuat. Bahkan, maksud dzan (dugaan) dalam hadits ini adalah segala sesuatu yang menyelisihi keyakinan.

يَجِد الشَّيْء (Mendapatkan atau merasakan sesuatu) maksudnya adalah hadats yang keluar darinya. Pengertian ini dapat kita temukan dalam riwayat Al Isma’ili,

يُخَيَّل إِلَيْهِ فِي صَلَاته أَنَّهُ يَخْرُج مِنْهُ شَيْء (Dikhayalkan kepadanya saat shalat bahwa telah keluar darinya sesuatu). Di sini terdapat petunjuk untuk tidak menyebutkan langsung sesuatu yang tidak baik dengan namanya kecuali dalam situasi yang mengharuskan atau membutuhkan­nya.

فِي الصَّلَاة (Dalam shalat). Sebagian ulama madzhab Maliki berpegang dengan makna lahir lafazh ini, sehingga mereka mengkhusus­kan hukum ini bagi mereka yang sedang shalat saja dan mewajibkan wudhu bagi orang yang ragu di luar shalat.

Perbedaan ini mereka dasari dengan alasan bahwa seseorang dilarang untuk membatalkan ibadah, padahal larangan untuk membatalkan ibadah sangat tergantung dengan keabsahan ibadah itu sendiri. Maka, alasan yang mereka kemukakan itu tidaklah tepat. Di samping itu, sesuatu yang membatalkan wudhu di luar shalat juga dapat membatalkan wudhu di dalamnya, sebagaimana hal-hal lain yang membatalkan wudhu.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 559 – Kitab Waktu-waktu Shalat

أَوْ لَا يَنْصَرِف (jangan berbalik ataujangan membatalkan shalat), ini adalah keraguan dari perawi hadits. Ia ragu apakah Nabi SAW mengatakan jangan berpaling ataukah jangan berbalik. Nampaknya keraguan ini timbul dari salah seorang perawi yang bemama Ali, sebab perawi lainnya yang meriwayatkan dari Sufyan dengan tegas mengatakan, “Janganlah berbalik” tan pa ada keraguan.

أَوْ يَجِد (atau ia menemukan {merasakan}). Di sini beliau SAW menggunakan kata “menemukan” dan bukan mencium, agar mencakup pula seseorang yang menyentuh bagian tersebut lalu mencium tangannya. Akan tetapi pemyataan ini tidak boleh dijadikan dalil oleh mereka yang berpendapat bahwa menyentuh dubur tidak membatalkan wudhu, sebab bisa saja yang disentuh hanyalah daerah sekitamya dan bukan tempat keluamya secara langsung.

Hadits ini memberi keterangan sahnya shalat selama seseorang belum yakin kalau ia telah berhadats. Hadits ini tidak bermaksud untuk mengkhususkan keyakinan bagi kedua hal ini. Karena jika makna suatu teks dalil lebih luas daripada lafazhnya, maka yang menjadi pedoman hukum adalah maknanya, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Khaththabi.

Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini merupakan dasar kaidah yang mengatakan, bahwa hukum segala sesuatu sebagaimana asalnya sampai ada keyakinan yang menunjukkan sebaliknya; dan keraguan yang timbul tersebut tidak dapat mendatangkan mudharat (bahaya).”

Jumhur ulama berpendapat sebagaimana kandungan hadits ini. Diriwayatkan dari Malik, beliau berpendapat bahwa wudhu tetap batal bila seseorang ragu apakah telah keluar sesuatu darinya atau belum. Lalu diriwayatkan dari Imam Malik bahwa wudhu orang seperti itu batal jika berada di luar shalat dan tidak batal bila dalam shalat.

Perincian seperti ini dinukil pula dari Al Hasan Al Bashri. Namun pendapat pertama merupakan pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Malik seperti dikatakan oleh Al Khaththabi, yang diriwayatkan Ibnu Al Qasim darinya. Kemudian diriwayatkan pula oleh Ibnu Nafi’ dari Imam Malik, beliau berpendapat bahwa wudhu orang yang ragu tersebut tidak batal, sama seperti pendapat jumhur ulama.

Sedangkan Ibnu Wahab meriwayatkan bahwa Imam Malik berkata, “Yang lebih aku sukai jika ia berwudhu.” Adapun riwayat yang membedakan antara di dalam dan di luar shalat tidak terbukti berasal dari pendapat Imam Malik, tapi berasal dari para pengikutnya.

Baca Juga:  Hadits-hadits yang Menerangkan Keutamaan Hari Jum’at Bagi Umat Islam

Kemudian sebagian ulama memahami hadits ini untuk mereka yang memiliki sikap was-was. Alasan mereka adalah, bahwa pengaduan itu tidak mungkin ada kecuali adanya sebab tertentu. Sebagaimana diterangkan dalam hadits yang lebih umum, yaitu hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Apabila salah seorang di antara kamu merasakan dalam perutnya sesuatu lalu ia ragu apakah telah keluar darinya sesuatu atau belum, maka janganlah ia keluar dari masjid hingga mendengar bunyi atau menemukan (mencium) bau.” Sabda beliau SAW, “Janganlah ia keluar dari masjid“, maksudnya adalah shalat, sebagaimana ditegaskan oleh Abu Dawud dalam riwayatnya.

Al Iraqi berkata, “Pandangan yang dikemukakan oleh Imam Malik adalah pendapat yang lebih kuat, sebab beliau lebih menjaga shalat yang merupakan tujuan utama sehingga beliau tidak memperhitungkan keragu­raguan dalam membatalkan shalat tersebut. Sementara selain beliau lebih menjaga wudhu yang merupakan sarana, lalu mereka tidak memper­hitungkan keragu-raguan dalam hal hadats yang dapat membatalkan wudhu tersebut. Padahal, menjaga sesuatu yang menjadi tujuan utama adalah lebih diutamakan daripada menjaga sesuatu yang hanya berfungsi sebagai sarana.”

Saya (Ibnu Hajar) katakan, “Pandangan ini cukup kuat menurut logika, tetapi tidak sesuai dengan indikasi hadits, dimana seseorang diperintahkan untuk tidak berbalik (membatalkan shalat) hingga benar­benar yakin (keluar angin).”

Al Khaththabi berkata, “Hadits ini dijadikan dalil oleh mereka yang mewajibkan dijatuhkannya hukuman dera bagi seseorang yang tercium dari mulutnya bau khamer, sebab dalam hadits ini beliau SAW telah menjadikan bau itu sebagai sesuatu yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan hukum.” Akan tetapi ada kemungkinan untuk dibedakan antara dua perkara ini, sebab hadd (hukum pidana) dalam Islam harus  digugurkan bila ada syubhat (kesamaran) yang mengiringinya. Sementara masalah bau khamer adalah hal yang syubhat, berbeda dengan persoalan pertama (bau kentut) yang tidak mengandung syubhat.

M Resky S