Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 152 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memberi judul dengan “tidak boleh istinja dengan kotoran binatang” hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah saw sangat melarang beristinja’ menggunakan kotoran binatang. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 75-79.
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ قَالَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ قَالَ لَيْسَ أَبُو عُبَيْدَةَ ذَكَرَهُ وَلَكِنْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْأَسْوَدِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ سَمِعَ عَبْدَ اللَّهِ يَقُولُ أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْغَائِطَ فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ فَأَخَذْتُ رَوْثَةً فَأَتَيْتُهُ بِهَا فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ وَقَالَ هَذَا رِكْسٌ وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ يُوسُفَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Abu Nu’aim] berkata, telah menceritakan kepada kami [Zuhair] dari [Abu Ishaq] berkata -Abu ‘Ubaidah tidak menyebutkannya tetapi- [‘Abdurrahman bin Aswad] dari [Bapaknya] bahwa ia mendengar [‘Abdullah] berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pergi ke WC, lalu beliau memerintahkan aku membawakan tiga buah batu. Aku hanya mendapatkan dua batu, lalu aku mencari batu yang ketiga, namun aku tidak mendapatkannya hingga aku pun mengambil kotoran hewan yang sudah kering. Kemudian semua itu aku bahwa ke hadapan Nabi. Namun beliau hanya mengambil dua batu dan membuang kotoran hewan yang telah kering tersebut seraya bersabda: “Ini najis.” [Ibrahim bin Yusuf] berkata dari [Bapaknya] dari [Abu Ishaq] berkata, telah menceritakan kepadaku [‘Abdurrahman].”
Keterangan Hadis: آتِيَهُ بِثَلَاثَةِ أَحْجَارٍ (Membawakan untuknya tiga batu) ini merupakan pengamalan terhadap Iarangan pada hadits Salman dari nabi SAW, (Dan janganlah salah seorang di antara kamu beristinja’ dengan menggunakan batu yang jumlahnya kurang dari tiga). (HR. Muslim)
Demikianlah yang menjadi pendapat Imam Syafi’i, Imam Ahmad serta para pakar hadits, dimana mereka mensyaratkan jumlah batu yang dipakai untuk beristinja’ tidak kurang dari tiga, di samping harus tetap diperhatikan kebersihannya. Apabila menggunakan tiga batu belum juga bersih, maka ditambahkan lebih dari tiga batu hingga benar-benar bersih. Hendaknya batu yang digunakan jumlahnya ganjil, berdasarkan sabda beliau SAW, وَمَنْ اِسْتَجْمَرَ فَلْيُوتِرْ “Barangsiapa yang istinja’ dengan menggunakan batu hendaklah ia mengganjilkannya.” Namun hal ini tidaklah wajib berdasarkan riwayat yang dinukil oleh Abu Dawud dimana disebutkan tambahan, وَمَنْ لَا فَلَا حَرَج “Barangsiapa yang tidak meng-ganjilkannya maka tidak mengapa.” Dengan demikian, riwayat-riwayat dalam persoalan ini dapat dikompromikan satu sama lain.
Al Khaththabi berkata, “Andaikata maksud istinja’ itu semata-mata untuk membersihkan najis, niscaya hilanglah faidah disyaratkannya jumlah tertentu. Maka setelah teks hadits mensyaratkan jumlah tertentu dan maknanya mengisyaratkan maksud yang hendak dicapai adalah kebersihan, maka kedua ha! itu menjadi wajib. Sama halnya dengan iddah (masa menunggu wanita setelah dicerai), dimana jumlah masa haid disyaratkan meskipun sebenamya kosongnya rahim dari janin dapat diketahui dengan satu kali haid.
فَأَخَذْت رَوْثَة (Akhirnya aku mengambil kotoran binatang). Ibnu Khuzaimah menambahkan dalam riwayatnya, yaitu kotoran himar (keledai). Lalu At-Taimi menukil bahwa lafazh rauts (kotoran binatang) adalah khusus kotoran kuda, bighal (hewan basil perkawinan antara keledai yang kuda) dan himar (keledai).
وَأَلْقَى الرَّوْثَة (Dan membuang kotoran binatang tersebut). Lafazh ini dipergunakan oleh Ath-Thahawi sebagai dalil bahwa batu yang digunakan beristinja’ tidak disyaratkan berjumlah tiga buah. Beliau berkata, “Sebab jika yang demikian itu merupakan suatu syarat, maka beliau SAW akan minta dibawakan batu yang ketiga.” Tapi dengan sikapnya ini, beliau telah mengabaikan hadits yang dinukil oleh imam Ahmad dalam Musnad-nya dari jalur Abu Ishaq dari Al Qamah dari Ibnu Mas ‘ud, dimana disebutkan, “Maka beliau membuang kotoran binatang lalu bersabda, ‘Sesungguhnya ia adalah najis, bawakanlah untukku satu batu yang lain.”‘
Para perawi hadits ini tergolong tsiqah (terpercaya) lagi tsabit (teliti). Hadits yang diriwayatkan dari Ma’mar ini dinukil pula oleh AdDaruquthni melalui jalur Abu Syu’bah Al Wasithi, namun ia dikenal lemah dalam bidang periwayatan. Selanjutnya, yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Ishaq selain Ma’mar dan Abu Syu’bah, juga diriwayatkan oleh Ammar bin Raziq yang dikenal sebagai salah seorang perawi yang tsiqah (terpercaya) di antara para perawi yang menerima hadits dari Abu Ishaq.
Lalu ada yang mengatakan bahwa Abu Ishaq tidak mendengar hadits ini secara langsung dari Al Qamah, akan tetapi Al Karabisi justeru telah menegaskan bahwa hadits ini telah didengar langsung oleh Abu lshaq dari Al Qamah. Kalaupun hadits ini mursal (yakni Abu Ishaq tidak menyebutkan perawi antara ia dengan Al Qamah) tetap menjadi hujjah, sebab ulama yang tidak mempersyaratkan jumlah batu tidak boleh kurang daripada tiga (yakni golongan Hanafi- Penerj.) berpandangan bahwa hadits mursal dapat dijadikan sebagai hujjah (landasan dalam menetapkan hukum). Sebagaimana kami juga berhujjah dengan hadits mursal apabila ada faktor-faktor tertentu yang menguatkannya.
Di samping jawaban yang telah kami sebutkan di atas, sesungguhnya cara penetapan hukum yang ditempuh oleh Imam Ath-Thahawi tidak luput dari kritik. Sebab ada kemungkinan beliau SAW tidak lagi memerintahkan untuk dibawakan batu ketiga, karena beliau telah mencukupkan dengan perintah pertama kali yang mengharuskan untuk dibawakan tiga buah batu. Sehingga beliau SAW merasa tidak perlu lagi mengulangi perintah tersebut dengan perintah yang baru. Kemungkinan lain, beliau SAW mencukupkan jumlah batu yang ketiga dengan cara menggunakan kedua sisi salah satu dari dua batu tersebut, sebab maksud daripada jumlah tiga biji batu itu adalah agar disapukan ke tempat keluar najis sebanyak tiga kali, dan ini dianggap telah tercapai apabila satu batu telah disapukan sebanyak tiga kali. Dalil yang menunjukkan keterangan ini adalah jika seseorang beristinja’ dengan menggunakan satu sisi batu lalu datang orang lain beristinja’ dengan menggunakan sisi lain dari batu tersebut maka dianggap mencukupi keduanya, tanpa ada ulama yang menyelisihi hal itu.
Abu Hasan bin Qishar Al Maliki berkata, “Telah diriwayatkan bahwa beliau (Abdullah) kembali membawakan kepada Nabi SAW batu yang ketiga.” Namun riwayat ini tidak shahih. Andaikata hadits ini shahih, maka ia merupakan salah satu alasan cukup kuat bagi golongan yang mensyaratkan jumlah batu tidak boleh kurang dari tiga buah. Sebab dengan demikian, beliau SAW telah beristinja’ untuk dua tempat (kemaluan depan dan belakang) hanya menggunakan tiga batu. Artinya, beliau SAW menggunakan batu yang kurang dari tiga buah pada kedua tempat keluar najis tersebut (kemaluan depan dan dubur). Demikian perkataan Abu Hasan Al Qishar.
Pendapat yang dikatakan oleh Abu Hasan Al Qishar ini masih dapat dipertanyakan, sebab hadits yang menyatakan adanya penambahan batu yang ketiga merupakan riwayat yang shahih seperti telah kami sebutkan. Seakan-akan Abu Hasan hanya meneliti silsilah periwayatan hadits ini yang dinukil oleh Ad-Daruquthni. Di samping itu, ada kemungkinan bahwa beliau SAW saat itu hanya buang hajat melalui satu jalan saja.
Kalaupun benar bahwa beliau SAW telah buang hajat melalui dua jalan (buang air besar dan kencing), tetap ada kemungkinan bahwa beliau SAW mencukupkan dengan menyapukan kemaluan bagian depannya ke tanah lalu menggunakan ketiga batu yang ada untuk menyapu tempat keluar najis bagian belakang. Atau dapat pula beliau telah menggunakan dua sisi dari masing-masing ketiga batu tersebut.
Adapun dalil yang mereka kemukakan untuk menyatakan bahwa tidak ada persyaratan yang tidak membolehkan beristinja’ kurang dari tiga batu, dimana mereka menganalogikan hal ini dengan menyapu kepala saat wudhu, adalah suatu pendapat yang memiliki pijakan pemikiran yang rusak. Sebab analogi seperti itu menyalahi nash (teks dalil) yang sangat tegas, sebagaimana telah kami sebutkan pada hadits Abu Hurairah dan Salman.
وَقَالَ إِبْرَاهِيم بْن يُوسُف عَنْ أَبِيهِ (Ibrahim bin Yusuf berkata dari bapaknya) yakni Yusuf bin Ishaq bin Abu Ishaq As-Subai’i dari Abu Ishaq, yakni kakek Ibrahim bin Yusuf. Beliau berkata, “Telah menceritakan kepadaku Abdurrahman, yakni lbnu Al Aswad bin Yazid.” Sama seperti silsilah yang disebutkan pada permulaan hadits.
Maksud Imam Bukhari menyebutkan catatan tambahan ini adalah untuk membantah mereka yang mengatakan bahwa Abu Ishaq melakukan tadlis (penyamaran riwayat) terhadap hadits ini. Anggapan seperti ini telah dinukil dari Sulaiman Asy-Syadzakuni, dimana dia berkata, “Tidak didengar dalam perkara tadlis (penyamaran riwayat) yang lebih tersembunyi daripada periwayatan hadits ini.”
Lalu Al Isma’ili mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan Abu Ishaq telah mendengar hadits ini langsung dari Abdurrahman, dimana Yahya Al Qaththan telah meriwayatkan hadits tersebut melalui Zuhair, yaitu “Al Qaththan tidak mau meriwayatkan hadits Zuhair yang ia terima dari Abu Ishaq kecuali hadits-hadits yang didengarkan secara langsung oleh Abu Ishaq dari guru-gurunya.” Seakan-akan Al Isma’ili mengetahui hal itu dari hasil penelitiannya yang mendalam terhadap sikap Al Qaththan dalam meriwayatkan hadits, atau bisa juga karena pemyataan langsung dari Al Qaththan sendiri. Maka dengan alasan ini beliau (Al lsma’ili) menafikan adanya tadlis dalam periwayatan hadits yang dimaksud.
Sebagian ulama ada pula yang sangsi terhadap keshahihan hadits ini dengan alasan bahwa hadits tersebut adalah hadits mudhtharib, artinya jalur-jalur periwayatan hadits ini memberikan versi yang berbeda-beda. Sementara Ad-Daruquthni menyebutkan bahwa perbedaan itu sendiri terjadi pada Abu Ishaq sebagaimana dinukil dalam kitab Ilal, dan saya telah membahasnya secara panjang lebar pada mukaddimah Asy-Syarh Al Kabir.
Akan tetapi jalur periwayatan Zuhair (yakni hadits yang disebutkan dalam bab ini) menurut Imam Bukhari jauh lebih akurat dibandingkan dengan jalur periwayatan lainnya, sebab jalur periwayatan Zuhair dari Abu lshaq telah diperkuat oleh riwayat Ibrahim bin Yusuf yang menerima hadits itu dari bapaknya (Yusuf bin Abu Ishaq) dari kakeknya (Abu Ishaq). Lalu riwayat Zuhair dan Ibrahim bin Yusuflebih diperkuat lagi oleh riwayat yang dinukil melalui Syuraik Al Qadhi serta Zakaria bin Abu Yahya dan lainnya.
Yang meriwayatkan hadits ini dari Abdurrahman di samping Abu Ishaq adalah Laits bin Abu Sulaim, seperti dinukil oleh lbnu Abi Syaibah. Sementara riwayat Laits bin Abu Sulaim dapat dijadikan sebagai pendukung bagi riwayat lain.
Bukti lain yang mendukung keakuratan jalur periwayatan Zuhair adalah keterangan dimana Abu Ishaq menyebutkan dua jalur kontroversi itu sekaligus, yakni selain menyebutkan riwayat Abdurrahman bin Al Aswad beliau mengutip pula riwayat melalui jalur Abu Ubaidah. Namun kemudian beliau (Zuhair) lebih memilih riwayat melalui jalur Abdurrahman. Hal ini berbeda dengan riwayat Isra’il dari Abu Ishaq dari Abu Ubaidah, dimana riwayat Abdurrahman tidak disebutkan sama sekali. Kenyataan ini membuktikan bahwa Zuhair mengetahui kedua jalur periwayatan yang ada, namun beliau lebih menguatkan riwayat Abu Ishaq dari Abdurrahman, wallahu a ‘lam.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020