Hadits Shahih Al-Bukhari No. 168 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 168 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Apabila anjing minum dalam bejana”. Hadis ini menjelaskan tentang kisah seorang lelaki yang masuk syurga karena memberi menium seekor anjing yang kelaparan. Hadis berikunya menjelaskan tentang kebiasaan anjing masuk kedalam masjid dan membuang kotoran didalamnya. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 143-147.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ سَمِعْتُ أَبِي عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا رَأَى كَلْبًا يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَأَخَذَ الرَّجُلُ خُفَّهُ فَجَعَلَ يَغْرِفُ لَهُ بِهِ حَتَّى أَرْوَاهُ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَأَدْخَلَهُ الْجَنَّةَ وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ شَبِيبٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ كَانَتْ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Ishaq] telah mengabarkan kepada kami [‘Abdush Shamad] telah menceritakan kepada kami [‘Abdurrahman bin ‘Abdullah bin Dinar] aku mendengar [Bapakku] dari [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa ada seorang laki-laki melihat seekor anjing menjilat-jilat tanah karena kehausan, lalu orang itu mengambil sepatunya dan mengisinya air untuk kemudian diminumkan kepada anjing tersebut hingga kenyang. Allah lalu berterima kasih kepadanya dan memasukkannya ke dalam surga.” [Ahmad bin Syabib] berkata, telah menceritakan kepada kami [Bapakku] dari [Yunus] dari [Ibnu Syihab] berkata, telah menceritakan kepadaku [Hamzah bin ‘Abdullah] dari [Bapaknya], bahwa pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ada beberapa anjing yang kencing dan membuang kotoran di dalam masjid, namun para sahabat tidak menyiramnya dengan sesuatu.”

Keterangan Hadis: أَنَّ رَجُلًا (Bahwa seorang laki-laki). Tidak disebutkan nama laki-laki yang dimaksud, yang jelas ia berasal dari bani Isra’il sebagaimana akan diterangkan pada pembahasan berikut.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 194 – Kitab Wudhu

يَأْكُل الثَّرَى (Memakan pasir), maksudnya menjilati tanah yang agak basah.

فَجَعَلَ يَغْرِفُ لَهُ بِهِ (Lalu digunakannya menimba air). Lafazh ini dijadikan sebagai dalil oleh Imam Bukhari bahwa air bekas jilatan anjing adalah suci, karena secara lahir orang tersebut memberi minum anjing di sepatunya. Namun pendapat ini dikritik, karena argumentasi demikian dibangun di atas dasar yang mengatakan bahwa syariat umat sebelum Muhammad termasuk syariat bagi umatnya, padahal keabsahan asas ini masih diperselisihkan. Andaikata asas ini diterima sebagai salah satu sumber dalam menetapkan hukum, maka ruang lingkupnya berada pada hal-hal yang belum dihapuskan oleh syariat Muhammad.

Meskipun kita menerima bahwa hukum tersebut belum dihapus, maka tetap saja belum dapat dijadikan sebagai dalil yang kuat. Sebab masih ada kemungkinan Iaki-Iaki itu memberi minum anjing dengan menumpahkan air di suatu wadah, atau kemungkinan Iain ia mencuci sepatunya setelah memberi minum anjing itu dan ia tidak langsung memakainya.

فَشَكَرَ اللَّه لَهُ (Maka Allah mensyukuri orang itu), yakni Allah memujinya lalu memberi pahala atas perbuatannya itu dengan cara menerima amalannya lalu memasukkannya ke dalam surga. Pembahasan selanjutnya mengenai hadits ini akan diterangkan pada bah “Keutamaan Memberi Minum” dalam kitab Asy-Syurbu (minuman), insya Allah.

كَانَتْ الْكِلَاب (Biasanya anjing-anjing) Dalam riwayat Abu Nu’aim dan Al Baihaqi melalui jalur periwayatan Ahmad bin Syabib terdapat tambahan, تَبُول (kencing). Demikian pula disebutkan oleh Al Ashili dalam riwayat Ibrahim bin Ma’qil dari Imam Bukhari. Lalu diriwayatkan juga oleh Abu Dawud dan Isma’ili melalui jalur periwayatan Abdullah bin Wahab dari Yunus bin Yazid (guru Syabib bin Sa’id).

Berdasarkan riwayat-riwayat ini tidak ditemukan suatu hujjah (alasan) untuk menyatakan bahwa anjing adalah suci, sebab ulama sepakat bahwa kencing anjing sadalah najis. Demikian perkataan Ibnu Munir. Namun perkataan beliau dapat dijawab dengan mengatakan, “Adanya pandangan yang menyatakan anjing termasuk hewan yang dimakan, dan kencing hewan yang dimakan dagingnya hukumnya suci dapat membatalkan kesepakatan yang beliau sebutkan.”

Baca Juga:  Hadits Turunnya Nabi Isa di Akhir Zaman, di Atas Menara Putih

Terlebih lagi telah ada pendapat dari sejumlah ulama yang menyatakan bahwa kencing semua hewan hukum­nya suci, kecuali air kencing manusia. Di antara mereka yang ber­pendapat seperti ini adalah lbnu Wahab sebagaimana yang dinukil oleh Al Isma’ili dan lainnya seperti akan dibahas lebih lanjut pada bah “Membersihkan Kencing”.

Al Mundziri berkata, “Maksudnya anjing-anjing itu kencing di luar masjid dan di tempat tertentu lalu masuk dan berjalan melewati masjid, sebab saat itu masjid tidak memiliki pintu yang tertutup.” Beliau mengatakan pula, “Sangat jauh kemungkinannya jika anjing dibiarkan begitu saJa di dalam masjid dan menghinakannya dengan kencing di dalamnya.” Tetapi pendapat ini dibantah pula dengan mengatakan jika anjing dianggap suci, niscaya perbuatan seperti itu tidaklah terlarang sebagaimana kucing.

Adapun yang lebih tepat, bahwa yang demikian itu terjadi pada awal-awal Islam, sebab hukum asal sesuatu adalah mubah. Kemudian datang perintah untuk memuliakan masjid dan mensucikannya, sekaligus membuat pintu-pintu tertutup.

Pandangan ini disinyalir oleh keterangan tambahan yang terdapat pada riwayat Al Isma’ili yang beliau nukil dari jalur lbnu Wahab sehubungan dengan hadits di atas dari lbnu Umar, “Umar pernah berkata dengan suara yang lantang, ‘Jauhilah oleh kamu perkataan yang sia-sia dalam masjid.”‘ Lalu Ibnu Umar berkata, “Dahulu aku biasa tidur di masjid pada masa Rasulullah sementara anjing­anjing … dst.” Di sini Ibnu Umar mengisyaratkan bahwa peristiwa masuknya anjing ke dalam masjid terjadi pada masa-masa awal dibangunnya masjid, setelah itu diperintahkan untuk memuliakan masjid meskipun hanya sekedar perkataan yang sia-sia. Maka, dengan keterangan ini tertolaklah pandangan yang menjadikan hadits ini sebagai dalil yang menyatakan anjing adalah suci.

فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ (Namun mereka tidak memerciki tempat itu(dengan air) sedikitpun), mengindikasikan tidak dilakukannya pencucian. Lafazh ini telah dijadikan alasan oleh lbnu Baththal untuk menyatakan sucinya air sisa jilatan anjing, sebab kebiasaan anjing adalah mencari tempat bekas makanan. Padahal tak ada rumah bagi para sahabat saat itu selain masjid, sehingga tidak tertutup kemungkinan jika air liur anjing ini mengenai bagian-bagian tertentu di dalam masjid.

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 315-316 – Kitab Haid

Kemudian pandangan lbnu Baththal ini dibantah dengan mengatakan bahwa sucinya masjid dari najis merupakan perkara yang telah diyakini, sementara apa yang beliau sebutkan hanyalah perkara yang diragukan. Padahal, sesuatu yang telah diyakini tidak dapat dihilangkan oleh perkara yang masih diragukan. Kemudian indikasi hadits ini tidak pula kontradiksi dengan hadits yang memerintahkan untuk mencuci bejana yang berisi air bekas jilatan anjing.

Abu Dawud dalam kitabnya As-Sunan menggunakan lafazh hadits ini sebagai keterangan, bahwa tanah yang terkena najis dapat kembali suci bila najis tersebut telah mengering. Yakni bahwasanya perkataan dalam hadits itu “Namun mereka tidak memerciki tempat itu sedikitpun“, lebih tegas lagi menunjukkan bahwa tempat itu tidak disiram air.

Andaikata mengeringnya najis tersebut tidak berarti tempat itu telah suci, niscaya para sahabat tidak akan membiarkan tempat yang terkena najis tanpa menyiramnya. Namun, cukup jelas bagi kita akan kelemahan yang terdapat dalam riwayat ini.

Catatan
Telah diriwayatkan oleh Ibnu At-Tin dari Ad-Dawudi (salah seorang pensyarah Shahih Bukhari), bahwasanya beliau mengganti lafazh يَرُشُّونَ (memerciki) dengan يَرْتَقِبُونَ (mengawasi), lalu beliau menafsirkannya dengan makna tidak takut. Namun tentu saja tafsiran ini cukup jauh dari makna yang seharusnya, sebab kata mengawasi di sini diungkapkan dengan lafazh يَرْتَقِبُ dimana lafazh ini sinonim dengan kata ينتظر yakni menunggu. Adapun meniadakan rasa takut dengan sebab tidak adanya pengawasan atau perhatian terhadap hal tersebut, merupakan penafsiran sesuatu dengan sebagian daripada konsekuensinya, wallahu a’lam.

M Resky S