Hadits Shahih Al-Bukhari No. 169 – Kitab Wudhu

Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 169 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “Apabila anjing minum dalam bejana”. Hadis ini menjelaskan tentang Adi bin Hatim yang bertanya kepada Rasulullah saw perihal berburu menggunakan anjing buruan. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 147-149.

Pecihitam.org, dapat Istiqomah melahirkan artikel-artikel keislaman dengan adanya jaringan penulis dan tim editor yang bisa menulis secara rutin. Kamu dapat berpartisipasi dalam Literasi Dakwah Islam ini dengan ikut menyebarkan artikel ini ke kanal-kanal sosial media kamu atau bahkan kamu bisa ikut Berdonasi.

DONASI SEKARANG

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ ابْنِ أَبِي السَّفَرِ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ الْمُعَلَّمَ فَقَتَلَ فَكُلْ وَإِذَا أَكَلَ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّمَا أَمْسَكَهُ عَلَى نَفْسِهِ قُلْتُ أُرْسِلُ كَلْبِي فَأَجِدُ مَعَهُ كَلْبًا آخَرَ قَالَ فَلَا تَأْكُلْ فَإِنَّمَا سَمَّيْتَ عَلَى كَلْبِكَ وَلَمْ تُسَمِّ عَلَى كَلْبٍ آخَرَ

Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [Hafsh bin ‘Umar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Syu’bah] dari [Ibnu Abu As Safar] dari [Asy Sya’bi] dari [‘Adi bin Hatim] berkata, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu menjawab: “Jika kamu melepas anjing buruanmu yang telah terlatih lalu ia mendapatkan hasil buruan, maka makanlah hasil buruannya. Jika anjing itu memakannya maka kamu jangan memakannya, sebab ia menangkap untuk dirinya sendiri.” Aku lalu bertanya lagi, “Aku melepas anjing buruanku, lalu aku mendapati anjinglain bersama dengan anjingku?” Beliau menjawab: “Jangan kamu makan, karena kamu membaca basmalah untuk anjingmu dan tidak untuk anjing yang lain.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 413 – Kitab Shalat

Keterangan Hadis: سَأَلْت (Aku pernah bertanya), maksudnya mengenai hukum binatang hasil buruan anjing. Sengaja kalimat pertanyaan itu tidak disebutkan karena mencukupkan dengan indikasi jawaban. Imam Bukhari mencantumkan lafazh pertanyaan yang dimaksud secara tekstual dalam hadits yang diriwayatkan rnelalui silsilah periwayatan yang lain pada bab “berburu”, sebagaimana pembahasan lebih mendetail tentang hadits ini akan disebutkan pula di tempat tersebut.

Adapun maksud Imam Bukhari menyebutkan hadits dalam pembahasan ini adalah untuk menguatkan pandangannya akan sucinya air bekas jilatan anjing. Adapun kesesuaian hadits ini dengan judul bab terdapat pada perkataan beliau (Imam Bukhari) pada bagian awal bab ini, yakni pemyataannya, “Dan air sisa jilatan anjing.”

Indikasi hadits ini yang mendukung apa yang dikatakan oleh Imam Bukhari adalah, bahwa Nabi SAW telah mengizinkan kepada Adi untuk memakan buruan yang ditangkap oleh anjing tanpa ada keterangan untuk mencuci bagian yang tersentuh oleh mulut anjing. Atas dasar inilah sehingga Imam Malik berkata, “Bagaimana mungkin binatang buruan yang ditangkap anjing boleh dimakan jikalau air liumya adalah najis?”

Baca Juga:  Imam Nawawi Tidak Pernah Menikah, Bagaimana dengan Maksud Hadis "An-Nikahu Sunnati?

Pertanyaan ini dijawab oleh Al Isma’ili dengan menyatakan, bahwa hadits ini hanyalah memberi keterangan bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh anjing pemburu dianggap sebagai penyembelihan terhadap buruan tersebut, namun tidak ada keterangan apakah anjing itu najis atau tidak. Yang menguatkan pendapat ini, bahwa beliau SAW tidak memerintahkan pula untuk mencuci darah yang keluar karena gigitan anjing tersebut, namun beliau menyerahkan hal itu kepada ilmu yang telah diketahui oleh Adi, yakni adanya kewajiban untuk mencuci darah. Maka tidak tertutup kemungkinan pula beliau tidak memerintahkan mencuci bagian yang tersentuh mulut anjing, karena hal itu telah diketahui oleh Adi.

Ibnu Munir berkata, “Dalam madzhab Syafi’i disebutkan bahwa jika pisau dicuci dengan air yang najis lalu digunakan menyembelih hewan, maka sembelihan tersebut menjadi najis. Sementara gigi anjing menurut mereka adalah najis. Lalu mereka (ulama madzhab Syafi’i) telah sepakat dengan kami bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh anjing buruan merupakan sembelihan secara syar’i, dimana ia tidak menjadikan binatang sembelihan sebagai najis.”

Baca Juga:  Hadits Shahih Al-Bukhari No. 236 – Kitab Wudhu

Perkataan Ibnu Munir dijawab pula bahwa adanya kesepakatan yang menyatakan sembelihan tidak menjadi najis bila digigit oleh anjing, tidaklah berkonsekuensi adanya kesepakatan bahwa sembelihan tersebut tidak tercemar oleh najis. Oleh sebab itu, kontradiksi yang menurut mereka terdapat pada madzhab Syafi’i tidaklah sebagaimana yang mereka katakan. Di samping dalam persoalan ini terdapat pula perbedaan pendapat, tapi pendapat yang masyhur adalah wajibnya mencuci tempat yang digigit oleh anjing tersebut. Namun, di sini bukanlah tempat untuk memaparkan persoalan ini.

M Resky S