Pecihitam.org – Hadits Shahih Al-Bukhari No. 179 – Kitab Wudhu ini, Imam Bukhari memulai hadis ini dengan judul “mengusap kepala secara keseluruhan”. Hadis ini menjelaskan tentang seorang lelaki yang meminta kepada Abdullah bin Zaid untuk mempraktekkan tatacara wudhu sesuai tuntunan Rasulullah saw. Keterangan hadist dikutip dan diterjemahkan dari Kitab Fathul Bari Jilid 2 Kitab Wudhu. Halaman 177-193.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى الْمَازِنِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ وَهُوَ جَدُّ عَمْرِو بْنِ يَحْيَى أَتَسْتَطِيعُ أَنْ تُرِيَنِي كَيْفَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ زَيْدٍ نَعَمْ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ فَغَسَلَ مَرَّتَيْنِ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلَاثًا ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِي بَدَأَ مِنْهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ
Terjemahan: Telah menceritakan kepada kami [‘Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami [Malik] dari [‘Amru bin Yahya Al Mazini] dari [Bapaknya] bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada [‘Abdullah bin Zaid] -dia adalah kakek ‘Amru bin Yahya-, “Bisakah engkau perlihatkan kepadaku bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berwudlu?” ‘Abdullah bin Zaid lalu menjawab, “Tentu.” Abdullah lalu minta diambilkan air wudlu, lalu ia menuangkan air pada kedua tangannya dan membasuhnya dua kali, lalu berkumur dan mengeluarkan air dari dalam hidung sebanyak kali, kemudian membasuh mukanya tiga kali, kemudian membasuh kedua tangan dua kali dua kali sampai ke siku, kemudian mengusap kepalanya dengan tangan, dimulai dari bagian depan dan menariknya hingga sampai pada bagian tengkuk, lalu menariknya kembali ke tempat semula. Setelah itu membasuh kedua kakinya.”
Keterangan Hadis: (Mengusap kepala secara keseluruhan) Demikianlah yang disebutkan oleh mayoritas perawi, namun dalam riwayat Al Mustamli tidak disertakan lafazh, “Secara keseluruhan.”
عَنْ أَبِيهِ (Dari bapaknya) yakni bapak Utsman bin Yahya bin Ammarah, yaitu anak dari Abu Hasan yang bemama Tamim bin Abdu Amru. Kakek beliau yang bemama Abu Hasan termasuk seorang sahabat, demikian pula halnya dengan Umarah sebagaimana ditegaskan oleh Ibnu Abdil Barr. Namun Abu Nu’aim berkata, “Pemyataan Ibnu Abdil Barr ini masih perlu dibuktikan lebih lanjut.” Para perawi hadits di atas adalah ulama Madinah kecuali Abdullah bin Yusuf, namun beliau pernah juga tinggal di Madinah.
أَنَّ رَجُلًا (Bahwasanya seorang laki-laki), beliau adalah Amru bin Abu Hasan sebagaimana yang disebutkan oleh penulis (Imam Bukhari) dalam hadits yang akan beliau sebutkan melalui jalur Wuhaib dari Amru bin Y ahya. Dari sini dapat dipahami bahwa perkataan Imam Bukhari, “Dan beliau adalah kakek Amru bin Yahya” bukanlah kakek dalam artian yang sebenamya, sebab yang dimaksud adalah paman dari bapak Amru bin Y ahya. Adapun sebab dinamakan kakek dari Amru bin Y ahya adalah karena kedudukannya yang sama dengan kakeknya.
Untuk itu, nampak jelas kekeliruan sebagian orang yang beranggapan bahwa yang dimaksud Imam Bukhari dengan perkataannya, “Dan beliau adalah kakek Amru bin Yahya” adalah Abdullah bin Zaid. Karena Abdullah bin Zaid tidak termasuk kakek Amru bin Y ahya, baik dalam arti sesungguhnya maupun makna majaz.
Adapun perkataan penulis kitab Al Kamal serta orang-orang yang sependapat dengannya mengenai biografi Amru bin Yahya, dimana mereka mengatakan bahwa ia termasuk salah seorang putra dari anak perempuan Abdullah bin Zaid, jelas merupakan suatu kesalahan. Pendapat ini mereka simpulkan dari riwayat di atas. Sementara telah disebutkan oleh lbnu Sa’ad bahwa ibu Amru bin Yahya adalah Hamidah binti Muhammad bin Iyas bin Al Bukair. Namun dia mengatakan bahwa ibu Amru bin Yahya adalah Ummu Nu’man binti Abu Hayyah, wallahu a’lam.
Kemudian para perawi dalam kitab Al Muwaththa’ berbeda pendapat dalam menentukan siapa orang yang bertanya kepada Rasulullah dalam konteks riwayat di atas, sebagian besar mereka tidak menyebutkan namanya secara jelas.
Ma’nun bin Isa berkata dalam riwayatnya dari Amru bin Yahya dari bapaknya, “Sesungguhnya ia mendengar Abu Hasan -dan beliau adalah kakek Amru bin Yahyaberkata kepada Abdullah bin Zaid (salah seorang sahabat), lalu Ma’nun menyebutkan hadits sebagaimana di atas.”
Muhammad bin Hasan AsySyaibani berkata dari Malik, ‘Telah menceritakan kepada kami Amru dari bapaknya (Yahya), bahwasanya ia mendengar kakeknya Abu Hasan bertanya kepada Abdullah bin Zaid. “‘ Demikian pula yang disebutkan oleh Sahnun dalam kitab Al Mudawwanah.
Imam Syafi’i dalam kitab Al Umm berkata, ‘Telah diriwayatkan dari Malik dari Amru dari bapaknya bahwa ia berkata kepada Abdullah bin Zaid.” Sama seperti ini, riwayat Al Isma’ili dari Abu Khalifah dari Al Qa’nabi dari Malik dari Amru dari bapaknya, ia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Zaid …. “
Cara yang ditempuh untuk memadukan antara riwayat-riwayat yang saling berbeda ini, adalah dengan mengatakan, “Hadir di hadapan Abdullah bin Zaid saat itu Abu Hasan Al Anshari dan anaknya yang bemama Amru bin Y ahya serta anak dari Amru, yakni Y ahya bin Ammarah bin Abu Hasan. Lalu mereka bertanya kepada Abdullah bin Zaid mengenai sifat wudhu Nabi SAW, dimana yang menjadi juru bicara mereka pada saat itu adalah Amru bin Abu Hasan. Untuk itu apabila dalam riwayat dikatakan bahwa yang bertanya adalah Amru bin Hasan, maka ini dalam artian yang sesungguhnya.”
Keterangan ini diperkuat oleh riwayat Sulaiman bin Bilal yang disebutkan oleh penulis (Imam Bukhari) dalam bab “Berwudhu dari AtTaur,” dimana beliau berkata, “Telah menceritakan kepadaku Amru bin Yahya dan bapaknya, ia berkata, ‘Telah menjadi kebiasaan pamanku – yakni Arnru bin Abu Hasan- memperbanyak berwudhu, maka beliau berkata kepada Abdullah bin Zaid, beritahukan kepadaku …. ‘” Lalu beliau menyebutkan hadits di atas.
Adapun jika disebutkan dalam riwayat bahwa yang bertanya adalah Abu Hasan, maka ini hanya sekedar kiasan, karena beliau adalah yang paling tua serta hadir pula di tempat tersebut. Sedangkan jika disebutkan dalam riwayat bahwa yang bertanya adalah Yahya bin Ammarah, maka ini juga kiasan, karena beliau yang menukil riwayat ini hadir pada saat pertanyaan diajukan.
Telah disebutkan dalam riwayat Imam Muslim dari Muhammad bin Shabah dari Khalid Al Wasithi dari Amru bin Yahya dari bapaknya dari Abdullah bin Zaid, dikatakan kepadanya, “Berwudhulah untuk (mengajari) kami.” Di sini tidak disebutkan siapa orang yang bertanya.
Lalu dalam riwayat Al lsma’ili dari jalur Wahb bin Baqiyah dari Khalid Al Wasithi disebutkan, “Kami berkata kepadanya … ” Riwayat-riwayat ini memperkuat kesimpulan yang telah kami sebutkan terdahulu, yakni sesungguhnya mereka bertiga telah sepakat untuk bertanya kepada Abdullah bin Zaid, hanya saja yang bertindak sebagai juru bicara di antara mereka saat itu adalah Amru bin Abu Hasan.
Hal ini semakin diperjelas oleh riwayat Ad-Darawardi dari Amru bin Yahya dari bapaknya dari pamannya dari Arnru bin Abu Hasan, ia berkata, “Aku seorang yang seringkali berwudhu, maka aku pun berkata kepada Abdullah bin Zaid … ” beliau pun menyebutkan hadits seperti di atas. Hadits Ad-Darawardi ini dinukil oleh Abu Nu’aim dalam kitab Al Mustakhraj, wallahu a ‘lam.
أَتَسْتَطِيعُ (Apakah engkau mampu). Ini merupakan keterangan tentang keharusan bagi seorang pelajar untuk berlaku santun di hadapan gurunya. Seakan-akan orang yang bertanya ini menginginkan dari Abdullah bin Zaid untuk mempraktekkan wudhu secara Jangsung agar lebih berkesan dan mudah dipahami. Adapun sebab yang mendorong beliau untuk bertanya adalah karena terbetik dalam pikirannya kemungkinan Abdullah bin Zaid sudah lupa karena dipisahkan waktu yang cukup lama.
فَدَعَا بِمَاءٍ (Maka beliau minta dibawakan air). Dalam riwayat yang dinukil melalui jalur Wahab pada bab berikut disebutkan, “Maka beliau minta dibawakan sebuah bejana kecil yang berisi air …. ” Ad-Darawardi berkata, “Yang dimaksud dengan taur (bejana kecil) adalah sejenis tempayan.”
Sementara Al Jauhari mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bejana yang dipakai untuk minum. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah bejana yang agak lebar. Lalu sebagian mengatakan bahwa taur (bejana kecil) adalah sejenis dengan At-Thisth (bejana yang agak lebar). Dikatakan pula bahwa yang dimaksud dengan taur (bejana kecil) adalah semacam periuk yang terbuat dari kuningan atau batu.
Dalam riwayat Abdul Aziz bin Abu Salamah yang disebutkan oleh penulis (Imam Bukhari) pada bab “Mandi di Mikhdhab (bejana yang digunakan untuk mencuci pakaian, Penerj.)” di bagian awalnya disebutkan, “Rasulullah mendatangi kami lalu kami mengeluarkan untuknya AtTaur (bejana kecil) yang terbuat dari kuningan.”
فَأَفْرَغَ (lalu menuangkan). Dalam riwayat Musa dari Wuhaib disebutkan, “Lalu beliau memiringkan bejana tersebut untuk menuangkan air ke tangannya.”
فَغَسَلَ يَده مَرَّتَيْنِ (Seraya mencuci tangannya sebanyak dua kali) demikian lafazh yang dinukil dari imam Malik, yaitu menyebut tangan dengan lafazh tunggal. Sementara dalam riwayat Wuhaib dan Sulaiman bin Bilal seperti yang dikutip oleh Imam Bukhari sendiri, begitu juga riwayat Ad-Darawardi seperti dikutip oleh Abu Nu’aim menggunakan lafazh ganda, yakni, “kedua tangannya.” Untuk itu, lafazh tunggal yang ada pada riwayat Imam Malik ini dipahami bahwa yang dimaksud adalah Jenisnya.
Persoalan lain, dalam riwayat Imam Malik disebutkan membasuh tersebut dilakukan sebanyak dua kali, sementara pada riwayat selain beliau disebutkan sebanyak tiga kali. Begitu pula dengan yang diriwayatkan dari Khalid bin Abdullah sebagaimana dikutip oleh Imam Muslim. Mereka yang meriwayatkan dengan lafazh tiga kali tergolong sebagai pakar hadits, oleh sebab itu riwayat mereka harus lebih dikedepankan dibandingkan dengan lafazh yang hanya diriwayatkan oleh satu orang meski ia tergolong pakar pula (hafizh).
Telah disebutkan oleh Imam Muslim dari jalur periwayatan Bahz, dari Wuhaib bahwa ia mendengar hadits ini dua kali dari Amru bin Yahya. Keterangan ini semakin memantapkan riwayat beliau daripada riwayat Imam Malik. Tidak ada kemungkinan jika peristiwa ini terjadi dua kali, sebab sumber riwayat ini hanya satu dan umumnya suatu kejadian tidaklah terulang.
Dalam hadits ini terdapat keterangan untuk mencuci tangan sebelum memasukkannya ke dalam bejana meskipun tidak karena bangun tidur, sebagaimana telah diterangkan dalam hadits Utsman. Adapun yang dimaksud dengan kedua tangan di sini adalah telapak tangan.
ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ (Kemudian berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung). Dalam riwayat Al Kasymihani disebutkan, مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ (Kemudian berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung). Mengeluarkan air dari hidung berkonsekuensi memasukkan air ke dalamnya, tapi memasukkan air ke dalam hidung tidak berkonsekuensi mengeluarkannya dari hidung. Ialu dalam riwayat Wuhaib terdapat tambahan keterangan bahwa hal itu dilakukan dengan tiga kali cidukan.
Hadits ini dijadikan sebagai dalil disukainya menyatukan antara berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung sekaligus pada setiap cidukan. Dalam riwayat Khalid bin Abdullah berikut ini disebutkan, مَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفّ وَاحِد فَعَلَ ذَلِكَ ثَلَاثًا (Beliau berkumur- kumur dan memasukkan air ke dalam hidung dari satu telapak tangan (satu kali cidukan), beliau melakukan hal itu sebanyak tiga kali). Riwayat Khalid ini sangat tegas menyatakan bahwa berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung dilakukan dengan satu kali cidukan. Berbeda dengan riwayat Wuhaib yang masih mengandung kemungkinan pemisahan antara berkumur-kumur dengan memasukkan air ke dalam hidung, yaitu satu cidukan untuk berkumur-kumur sedang satu cidukan lagi untuk dimasukkan ke dalam hidung, sebagaimana telah disinyalir oleh Ibnu Daqiq Al Id.
Kemudian dalam riwayat Sulaiman bin Bilal yang dikutip oleh Imam Bukhari pada bab berwudhu dari bejana kecil disebutkan, فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثَلَاث مَرَّات مِنْ غَرْفَة وَاحِدَة (Maka beliau berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung sebanyak tiga kali dengan satu kali cidukan). Lalu riwayat ini pun dijadikan sebagai dalil untuk menyatukan antara berkumur-kumur dan mengeluarkan air dari hidung dengan satu kali cidukan. Akan tetapi, riwayat ini masih perlu diteliti berdasarkan apa yang telah kami jelaskan yaitu kesatuan sumber riwayat, sehingga riwayat yang menyatakan bahwa perbuatan itu dilakukan sebanyak tiga kali hams lebih didahulukan.
Dalam riwayat Imam Muslim dari Khalid disebutkan, ثُمَّ أَدْخَلَ يَده فَاسْتَخْرَجَهَا فَمَضْمَضَ (Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam bejana setelah itu dikeluarkannya lalu beliau berkumur-kumur). Riwayat Imam Muslim ini dijadikan sebagai dalil bahwa berkumur-kumur lebih didahulukan daripada memasukkan air ke dalam hidung, namun persoalan ini perlu pembahasan lebih mendalam.
ثُمَّ غَسَلَ وَجْهه ثَلَاثًا (Kemudian beliau membasuh wajahnya tiga kali) Tidak ada perbedaan riwayat mengenai hal ini. Lalu menjadi konsekuensi mereka yang menjadikan hadits ini sebagai dalil wajibnya mengusap seluruh kepala untuk mewajibkan wudhu secara berurutan, sebab dalam hadits ini disebutkan kata sambung ثُمَّ (kemudian) dalam setiap kali perpindahan dari satu anggota wudhu kepada anggota yang lain. Karena, mengusap atau menyapu seluruh kepala dan membasuh anggota wudhu secara berurutan yang dijelaskan secara global (mujmal) dalam ayat telah diterangkan oleh Sunnah dalam bentuk perbuatan Rasulullah.
ثُمَّ غَسَلَ يَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ (Kemudian membasuh kedua lengannya dua kali-dua kali). Demikianlah riwayat ini dinukil dengan pengulangan lafazh, مَرَّتَيْنِ ( dua kali), akan tetapi dalam riwayat Imam Muslim dari jalur periwayatan Habban bin Wasi’ dari Abdullah bin Zaid disebutkan bahwa beliau melihat Nabi SAW berwudhu. Dalam riwayat itu disebutkan, “Lalu beliau membasuh lengan kanannya tiga kali dan lengan kirinya tiga kali.” Hadits ini harus dipahami sebagai kejadian yang lain, sebab sumber keduanya berbeda.
إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ (Hingga kedua siku), demikian lafazh yang dinukil oleh sebagian besar penulis naskah Shahih Bukhari. Sedangkan dalam naskah Al Mustamli dan Al Hamawi disebutkan dengan lafazh tunggal, yakni مِرْفَق (siku) dan maksudnya adalah jenis.
Lalu para ulama berbeda pendapat mengenai apakah kedua siku masuk pula dalam bagian yang harus dibasuh atau tidak? Mayoritas mereka mengatakan “Ya”, sementara Zufar menyatakan sebaliknya. Pendapat yang berbeda dengan mayoritas juga dinukil oleh sebagian ulama dari Imam Malik.
Sebagian pendukung pendapat golongan mayoritas memperkuat pendapat mereka dengan mengatakan bahwa makna huruf إلى (sampai) pada ayat tentang wudhu diartikan dengan makna مَعَ (bersama) sebagaimana halnya pada firman Allah SWT, وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالهمْ إِلَى أَمْوَالكُمْ Artinya, “Dan janganlah kamu memakan harta mereka (anak yatim) bersama harta kamu.” (Qs. An-Nisaa’ ( 4): 2) Akan tetapi pendapat ini dibantah bahwa makna seperti itu menyelisihi makna lahir (zhahir) huruf إلى Namun bantahan ini dapat kami jawab dengan mengatakan bahwa ada faktor yang mengindikasikan bahwa makna huruf إلى pada firman Allah SWT إِلَى الْمَرَافِق adalah “bersama”, bukan “sampai” atau “sebatas” meskipun kedua makna ini adalah makna lahir (zhahir) huruf إِلَى
Adapun faktor yang dimaksud adalah, apa yang disebutkan setelah huruf إِلَى masih merupakan jenis dari apa yang disebutkan sebelumnya. Ibnu Al Qishar berkata, “Tangan dalam bahasa Arab mencakup hingga ketiak berdasarkan hadits Ammar bahwa beliau bertayammum hingga ketiaknya. Sementara beliau (Ammar) seorang yang ‘ sangat memahami bahasa Arab. Maka ketika turun firman Allah SWT, إِلَى الْمَرَافِق (sampai ke siku-siku kamu), siku mesti dibasuh bersama dengan Jengan karena ia masuk dalam cakupan lafazh tangan.”
Demikian perkataan lbnu Al Qishar. Atas dasar ini, maka sesungguhnya huruf إِلَى dalam ayat wudhu adalah batasan bagi sesuatu yang tidak dibasuh, bukan batasan yang mesti dibasuh. Namun untuk menyatakan bahwa kesimpulan ini merupakan makna lahiriyah ayat, masih perlu pembahasan tersendiri, wallahu a ‘lam.
Zamakhsyari berkata, “Huruf إِلَى hanya memberi makna batasan secara mutlak. Adapun mengenai apakah batasan itu masuk dalam bagian yang disebutkan ataukah tidak, merupakan perkara yang tergantung pada keterangan yang lain. Maka firman Allah SWT, ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَام إِلَى اللَّيْل (dan sempurnakanlah puasa-puasa kamu hingga malam) merupakan dalil tidak masuknya puasa pada malam hari atau merupakan Jarangan melakukan puasa wishal (yakni menyambung puasa hingga malam). Sedangkan perkataan seseorang, حَفِظْت الْقُرْآن مِنْ أَوَّله إِلَى آخِره (aku menghafal Al Qur’ an dari awal hingga akhir) memberi indikasi bahwa batasan masuk dalam bagian yang dimaksud, sebab konteksnya adalah menyatakan hafalan Al Qur’an secara keseluruhan.”
Lalu firman Allah SWT, إِلَى الْمَرَافِق (Sampai siku-siku) tidak ditemukan indikasi yang menyatakan apakah batasan itu ( dalam hal ini adalah siku) masuk dalam bagian yang disebutkan sebelumnya (dalam ha] ini adalah lengan) ataukah tidak. Beliau menambahkan, “Maka para ulama mengambil pandangan yang Jebih berhati-hati, sementara Zufar mengambil pendapat yang sudah diyakini.”
Mungkin saja perbuatan beliau SAW dijadikan dalil yang menunjukkan bahwa kedua siku masuk dalam bagian yang harus dibasuh bersama lengan. Dalam riwayat Ad-Daruquthni dengan silsilah periwayatan yang baik (hasan) dari hadits Utsman sehubungan dengan sifat wudhu disebutkan, فَغَسَلَ يَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ حَتَّى مَسَّ أَطْرَاف الْعَضُدَيْنِ (Beliau membasuh kedua lengannya sampai siku hingga beliau menyentuh bagian ujung pangkal lengan ).
Dalam kaitan ini, diriwayatkan pula dari Jabir RA, كَانَ رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا تَوَضَّأَ أَدَارَ الْمَاء عَلَى مِرْفَقَيْهِ (Biasanya Rasulullah SAW apabila berwudhu, beliau membasahi kedua sikunya dengan air). Akan tetapi silsilah periwayatan hadits ini lemah.
Dalam riwayat Imam Bazzar dan Imam Thabrani, diriwayatkan dari hadits Wa’il bin Hujr sehubungan dengan sifat wudhu Nabi SAW, وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ حَتَّى جَاوَزَ الْمِرْفَق (Beliau membasuh kedua lengannya hingga melewati siku). Sementara dalam riwayat Imam Thahawi dan Thabrani dari hadits Tsa’labah bin lbad dari bapaknya dari Nabi SAW, ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ حَتَّى يَسِيل الْمَاء عَلَى مِرْفَقَيْهِ (Kemudian beliau membasuh kedua I engannya hingga air mengalir di kedua sikunya). Riwayat-riwayat ini saling menguatkan satu sama lain.
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Lafazh إِلَى dalam ayat wudhu ada kemungkinan bermakna batasan (sehingga makna ayat, basuhlah lenganlengan kamu sebatas siku-siku kamu. Artinya, siku tidak masuk bagian yang mesti dibasuh-penerj.) dan ada pula kemungkinan bermakna bersama (sehingga makna ayat, basuhlah lengan-Iengan kamu bersama sikusiku kamu. Artinya, siku masuk bagian yang mesti dibasuh -Penerj.) Lalu hadits tersebut telah menerangkan bahwa lafazh إِلَى dalam ayat di atas bermakna مع (bersama ). “
Sementara Imam Syafi’i telah berkata dalam kitab Al Umm, “Aku tidak mengetahui adanya orang yang menyelisihi pandangan tentang wajibnya membasuh kedua siku dalam berwudhu.”
Dari sini, maka sesungguhnya pendapat Zufar tertolak oleh ijma’ ulama. Demikian pula halnya dengan orang-orang sesudahnya yang berpendapat seperti beliau di kalangan pengikut madzhab Azh- Zhahiriyah.
Sementara riwayat yang menyatakan bahwa siku tidak masuk bagian yang harus dibasuh, tidak dapat dipastikan berasal dari Imam Malik secara tegas, akan tetapi sesungguhnya hal itu hanya diriwayatkan melalui Asyhab dalam bentuk perkataan yang mengandung kemungkinan untuk diartikan demikian. Adapun yang dimaksud dengan siku adalah tulang yang agak menonjol diujung lengan bagian atas.
ثُمَّ مَسَحَ رَأْسه (Kemudian beliau menyapu kepalanya) dalam riwayat Ibnu Ath-Thiba’ diberi tambahan “secara keseluruhan”, sebagaimana disebutkan terdahulu dari riwayat Ibnu Khuzaimah. Dalam riwayat Khalid bin Abdullah diberi tambahan huruf ba’ sehingga lafazh hadits menurut versi beliau berbunyi, وَمَسَح بِرَأْسِهِ sementara pada riwayat selain beliau hanya disebutkan وَمَسَح رَأْسِهِ (beliau membasuh kepalanya).
Imam Qurthubi berkata, “Huruf ba’ maksudnya adalah untuk ta ‘diyah (membantu kata kerja dalam memberi pengaruh pada obyek). Ia boleh disebutkan dalam kalimat dan boleh pula tidak disebutkan (karena tidak memberi pengaruh pada makna,-Penerj.) seperti dikatakan (aku mengusap kepala anak yatim) dan dikatakan pula (aku mengusap kepala anak yatim). Namun ada pula yang mengatakan bahwa huruf ba’ pada firman Allah SWT, وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ memberi makna tersendiri, yaitu bahwasanya lafazh membasuh dalam bahasa Arab mengharuskan adanya sesuatu yang dipakai membasuh. Sedangkan lafazh menyapu atau mengusap tidak berkonsekuensi adanya sesuatu yang dipakai untuk mengusap. Oleh karena itu jika dikatakan وَامْسَحُوا رُءُوسِكُمْ maka boleh menyapu kepala tangan tanpa air.
Imam Syafi’i berkata, “Firman Allah SWT, وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ (dan sapulah kepala-kepala kamu) dapat bermakna menyapu seluruh kepala dan dapat pula bermakna menyapu sebagiannya. Namun Sunnah menjelaskan bahwa membasuh sebagian kepala sudah dianggap mencukupi.
Perbedaan ayat di atas dengan firman Allah SWT فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ (dan sapulah wajah-wajah kamu) dalam tayammum, adalah bahwa di sini diharuskan menyapu seluruh wajah saat tayammum dan tidak diperkenankan hanya menyapu sebagiannya, karena tayammum hanya sebagai pengganti membasuh muka. Sementara menyapu kepala adalah perbuatan asasi dan bukan sebagai pengganti. Dari sini dapat dipahami perbedaan makna huruf ha’ pada kedua firman Allah SWT tersebut.
Keterangan ini tidak dapat dikritik dengan mengatakan bahwa kedua sepatu tidak mesti disapu secara keseluruhan padahal perbuatan ini merupakan ganti daripada membasuh kedua kaki, karena dalam hal ini telah ada ijma’ yang menyatakan adanya keringanan dalam mengusap sepatu.
Apabila dikatakan, “Barangkali Nabi SAW sengaja mencukupkan dengan mengusap ubun-ubunnya karena safar (bepergian), dimana safar adalah saat yang banyak diberi keringanan. Maka beliau SAW mengusap bagian atas sorbannya setelah mengusap ubun-ubunnya, sebagaimana yang dapat dipahami dari makna hadits riwayat Imam Muslim dari Mughiran bin Syu’bah.”
Kami katakan, “Telah diriwayatkan, bahwa beliau SAW pernah menyapu bagian depan kepalanya (ubun-ubun) tanpa meneruskannya dengan menyapu sorban dan tidak dalam keadaan safar.” Riwayat yang dimaksud adalah hadits yang dinukil oleh Imam Syafi’i dari Atha’, bahwa Rasulullah berwudhu lalu melepas sorban dari kepalanya kemudian menyapu bagian depan kepala. Meskipun dalam meriwayatkan hadits ini tabi’in -dalam hal ini Atha’- tidak menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkannya sehingga dikategorikan sebagai hadits mursal, namun kedudukannya diperkuat oleh jalur periwayatan lain yang bersambung Iangsung kepada Nabi SAW (maushul).
Riwayat tersebut adalah hadits yang dinukil oleh Abu Dawud dari Anas, dan dalam sanadnya terdapat Abu Ma’qil, seorang perawi yang tidak dikenal kepribadiannya. Kedua riwayat ini saling menguatkan satu sama lain, sehingga diperoleh kekuatan yang Iayak dijadikan sebagai dalil.
Riwayat ini pula yang dijadikan sebagai contoh oleh Imam Syafi’i ketika menyebutkan syarat hadits mursal yang dapat diterima. Beliau mengatakan, “Hendaklah hadits mursal tersebut didukung oleh hadits mursal yang lain, atau diriwayatkan pula dari jalur lain yang bersambung sampai kepada Nabi SAW (maushul).”
Dari sini terjawab kritikan yang ditujukan kepada perkataan Imam Syafi’i di atas, yakni mereka yang mengatakan, “Jika demikian, maka yang menjadi hujjah (dalil) adalah hadits yang silsilah periwayatannya bersambung kepada Nabi SAW (maushul), sehingga hadits yang mursal itu tidak berfungsi.” Jawaban kritikan ini telah saya tegaskan dalam tulisan saya dalam kitab Ulumul Hadits, karangan Ibnu Shalah.
Sehubungan dengan persoalan ini, telah diriwayatkan pula dari Utsman mengenai sifat wudhu Nabi SAW dimana dikatakan, وَمَسَحَ مُقَدَّم رَأْسه (Lalu beliau menyapu hagian depan kepalanya). Hadits ini diriwayat-kan oleh Sa’id bin Manshur. Namun dalam silsilah periwayatannya terdapat Khalid bin Yazid bin Abu Malik, salah seorang perawi yang diperselisihkan keakuratan riwayatnya.
Sementara itu telah terbukti dalam riwayat bahwa Ibnu Umar pemah mencukupkan dengan menyapu sebagian kepala saat berwudhu, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Mundzir dan selain beliau. Lalu tidak ada riwayat shahih dinukil dari para sahabat Nabi SAW yang mengingkari perbuatan Ibnu Umar tersebut, seperti dikatakan oleh Ibnu Hazm. Riwayat-riwayat mengenai perbuatan sahabat ini termasuk di antara hal-hal yang menguatkan hadits mursal yang telah disebutkan.
بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسه (Beliau memulai dari bagian depan kepalanya), secara lahiriah, lafazh ini termasuk hadits dan bukan kalimat yang disisipkan oleh Imam Malik. Oleh karena itu, Jafazh ini menjadi bantahan terhadap mereka yang mengatakan bahwa termasuk sunah memulai menyapu dari bagian belakang kepala atas dasar makna lahir (zhahir) hadits, “Dia (Abdullah bin Zaid -penerj.) menyapu kepalanya yang ke arah depan dan yang ke arah belakang.” Untuk alasan yang mereka kemukakan ini dapat dijawab, “Kata sambung yang digunakan dalam teks hadits tersebut adalah huruf waw (yang diartikan dengan “dan” atau “lalu” -penerj.), sementara kata sambung dengan menggunakan huruf waw tidak memberi makna berurutan (tertib ).”
Akan disebutkan oleh penulis (Imam Bukhari) sebuah riwayat dari Sulaiman bin Bilal, dimana dikatakan, “Beliau (Abdullah bin Zaid) menyapukan kedua tangannya ke arah belakang lalu ke arah depan.” Dengan demikian makna lahir (zhahir) riwayat yang mereka sebutkan tidak dapat dijadikan hujjah, karena menarik tangan ke depan dan ke belakang adalah perkara yang relatif. Sementara dalam hadits tidak dijelaskan mana yang dimaksud dengan arah depan dan arah belakang. Padahal sumber penukilan kedua riwayat tersebut adalah sama. Oleh karena itu, keduanya memiliki makna yang sama pula.
Lalu dalam riwayat Imam Malik dijelaskan bahwa beliau SAW mulai menyapu bagian depan kepala. Dengan demikian lafazh hadits yang berbunyi, اقبل (menarik ke depan) harus dipahami sebagai salah satu bentuk gaya bahasa yang menamakan suatu perbuatan dengan permulaan perbuatan itu sendiri. Sehingga makna hadits tersebut menurut pemahaman ini adalah, “Beliau mulai bagian depan kepalanya.” Namun ada pandangan yang mengartikan lain.
Hikmah mengarahkan tangan ke bagian depan dan bagian belakang adalah untuk meratakan sapuan ke seluruh kepala Maka atas dasar ini, perbuatan tersebut berlaku khusus bagi mereka yang memiliki rambut. Akan tetapi, pandangan yang masyhur dari mereka yang mewajibkan menyapu seluruh kepala bagi mereka yang memiliki rambut adalah wajib hukumnya. Sedangkan bagi mereka yang tidak memiliki rambut hukumnya sunah. Dari sini menjadi jelas kelemahan pendapat yang menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk mengharuskan menyapu seluruh kepala, wallahu a ‘lam.
ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ (Kemudian beliau membasuh kedua kakinya). Dalam riwayat Wuhaib yang akan disebutkan diberi tambahan, إِلَى الْكَعْبَيْنِ (hingga kedua mata kaki). Pembahasan masalah ini sama seperti pembahasan membasuh lengan hingga ke siku. Menurut pendapat yang masyhur bahwa mata kaki adalah tulang menonjol di pergelangan kaki. Namun diriwayatkan oleh Muhammad bin Al Hasan dari Abu Hanifah, bahwa mata kaki adalah tulang agak menonjol di punggung kaki yang bersentuhan dengan tali sandal. Lalu diriwayatkan pula oleh Ibnu Qasim dari Imam Malik pendapat seperti itu. Namun pendapat pertama adalah pendapat yang shahih dan masyhur di kalangan ahli bahasa.
Dalil paling jelas yang mendukung pendapat pertama adalah hadits shahih dari An-Nu’man bin Basyir sehubungan dengan sifat shaf (barisan) dalam shalat, yang mana beliau mengatakan, “Aku melihat setiap orang di antara kami mendekatkan mata kakinya dengan mata kaki sahabatnya.” Lalu dikatakan bahwa Muhammad (mungkin yang di maksud adalah Imam Bukhari -penerj) berpendapat, sesungguhnya dalil yang menguatkan pendapat pertama adalah hadits tentang seorang yang memotong kedua sepatunya hingga mata kaki apabila tidak menemukan sandal pada waktu ihram.
Pelajaran yang dapat diambil
1. Menuangkan air saat memulai wudhu pada kedua tangan sekaligus.
2. Boleh membasuh sebagian anggota wudhu satu kali, dua kali, atau tiga kali.
3. Keterangan kedatangan imam ke sebagian rumah rakyatnya lalu mereka menawarkan apa yang mereka duga menjadi maksud kedatangan imam tersebut.
4. Boleh minta bantuan untuk menghadirkan air tanpa ada unsur kebencian.
5. Mengajar dengan perbuatan (praktek).
6. Menciduk air yang sedikit dengan tangan tidak menjadikan air tersebut musta ‘mal berdasarkan lafazh hadits yang diriwayatkan oleh Wuhaib, “Kemudian beliau memasukkan tangannya lalu membasuh mukanya … “
Adapun persyaratan niat saat menciduk air, tidak ditemukan dalam hadits ini keterangan yang menyetujui maupun yang menolaknya. Lalu Abu Awanah dalam kitab Shahih-nya berdalil dengan hadits ini mengenai bolehnya bersuci dengan air musta ‘mal, karena niat tidak disebutkan dalam hadits tersebut. Sementara beliau telah memasukkan air ke dalam bejana setelah membasuh muka, dimana saat itu merupakan waktu membasuh tangan. Kemudian Imam Al Ghazali berkata, “Sekedar memasukkan tangan untuk menciduk air tidaklah menjadikan air tersebut mus ta ‘mal, karena air yang musta ‘mal terjadi pada air yang sudah diciduk.” Demikian pula pendapat yang ditegaskan oleh Imam Al Baghawi.
Imam Bukhari telah menjadikan hadits ini sebagai dalil untuk membasuh kepala secara keseluruhan. Sementara kami telah menjelaskan bahwa hadits ini mengindikasikan makna tersebut, namun hanya sampai pada tingkat disukai dan bukan wajib. Sebagaimana beliau berdalil pula dengan hadits ini untuk menyatakan tidak perlu mengulang mengusap kepala dan mengumpulkan antara berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung, seperti yang akan dibahas dalam bab tersendiri. Terakhir beliau menjadikan hadits ini sebagai dalil yang membolehkan bersuci dari bejana yang terbuat dari tembaga dan lainnya.
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 663-664 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 662 – Kitab Adzan - 30/08/2020
- Hadits Shahih Al-Bukhari No. 661 – Kitab Adzan - 30/08/2020